Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa Adat atau Desa Administratif, Kontestasi Politik Revisi Perda Nagari

20 November 2018   15:29 Diperbarui: 21 November 2018   07:34 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelombang desentraliasi paska orde baru menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Pergeseran tersebut tidak otomotis memperkuat kapasitas legal desa (khususnya desa adat) secara utuh. Pemulihan Desa-desa adat pada masa desentralisasi tidak sepenuhnya terjadi. Pergeseran kekuasaan ke daerah memposisikan desa, yang awalnya perpanjangan tangan pemerintah pusat menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah. Walaupun sebagian daerah menggunakan momentum desentraliasi untuk mencoba memulihkan desa-desa adat, seperti di Sumatera Barat dan Aceh, namun hanya sebatas perubahan nama desa menjadi nama-nama lokal, seperti nagari, mukim dan lain-lain. Perubahan ini tidak menyelesaiakn persoalan mendasar desa adat, yaitu otonomi pengelolaan asset desa (termasuk SDA desa) dan pemerintahan desa berakar adat.

Pada garis yang lain, pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat juga lahir seiring dengan desentralisasi. Pengakuan ini adalah model pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat, yang komunitasnya tidak mesti terintegrasi dengan desa. Misalnya, Pengakuan komunitas Badui di kabupaten Lebak. Pemda Lebak melahirkan aturan daerah yang mengatur khusus masyarakat adat badui sebagai komunitas masyarakat hukum (Andiko and Firmansyah, 2014)  

Secara umum, model pengakuan hukum masyarakat adat yang beragam melahirkan ketidakpastian hukum. Masyarakat adat menghadapi pilihan-pilihan model pengakuan dan tumpang tindih mekanisme perlindungan hak. Perlindungan hak masyarakat adat menjadi sektoral dibawah otoritas-otoritas pemerintah yang berbeda-beda. Baik itu pengakuan masyarakat adat kedalam desa maupun pengakuan komunitas masyarakat adat dilaksanakan melalui otoritas Pemerintah Daerah yang seiring dengan arus desentralisasi.[3]  Dalam konteks ini, dinamika politik daerah menjadi penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat dan perlindungan hak.

UU Desa 2014 mempunyai arti penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat kedalam desa, karena : Pertama, populasi masyarakat adat dan sumber dayanya pada umumnya berada di wilayah pedesaan. Perubahan kebijakan negara terhadap desa dan wilayah pedesaan berimplikasi pada pengurangan kapasitas otonomi masyarakat adat, baik terhadap sumber daya maupun pemerintahan. Kedua, UU Desa 2014 memberikan saluran pengakuan masyarakat adat melalui konsep desa adat, yang berbasis asas pengakuan yang menggantikan asas residualitas yang sentralistik.

Selanjutnya, dengan segala peluang itu, persoalan normatif muncul dalam pengaturan UU Desa 2014 terkait dengan aturan pilihan status desa. Masyarakat desa dibuka peluang untuk mengajukan status desanya melalui melaknisme inisiatif desa, namun tetap, secara formil, Pemerintah Daerah adalah otoritas penentu penetapan status desa tersebut melalui aturan daerah. Oleh sebab itu, politik daerah dan dinamikanya menjadi faktor penting implementasi UU Desa 2014 dalam menentukan nasib desa dan masyarakat adat kedepan.

3. Nagari dan Pilihan Model-Model Desa

UU Desa 2014 mengatur dua model desa, yaitu model desa adat dan model desa biasa (desa administratif). Desa adat merupakan status desa khusus yang membedakaannya dengan desa administratif karena pelaksanaan hak asal usul. Hak asal usul desa adat meliputi  pertama, pelaksanaan kehidupan masyarakat desa berdasarkan adat, kedua, pengelolaan wilayah adat (asset desa) dan dan ketiga, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pembedaan status desa adat dengan desa administratif ini menentukan kualitas otonomi desa. Pada model desa adat, otonomi desa memungkinkan untuk mengurus warga dan wilayah yang berakar pada hak adat (hak ulayat), sekaligus otonomi sebagai unit pemerintahan dalam struktur negara. Sedangkan, pada model desa administratif, otonomi desa sebatas pada urusan pemerintahan dan otonomi warga desa untuk mengurus diri sendiri dalam skala lokal desa. Artinya, pembeda dari dua model desa tersebut adalah kewenangan mengurus wilayah (hak ulayat).

Pada model desa administratif, penentuan batas wilayah desa ditentukan berdasarkan kapasitas desa untuk mengurus warganya berdasarkan kepentingan demografis, sehingga penentuan batas desa berdasarkan tingkat populasi dan kapasitas untuk melaksanakan pemerintahan desa. Sedangkan, penentuan batas wilayah desa adat berdasarkan hak untuk mengurus dan mengelola wilayah adat sebagai bentuk pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam (hak ulayat). Dalam konteks desa adat, maka agenda pengakuan masyarakat adat dan otonomi desa adat mesti menjawab dua persoalan pokok tentang status desa adat yang bersifat khusus itu, yaitu; pertama, Penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa dan kedua, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pertama, penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa. Penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa adalah konsekuensi integrasi desa dengan masyarakat adat. Integrasi ini menentukan batas pelaksanaan kewenangan desa adat dan pelaksanaan hukum adat dalam unit adminsitrasi. Artinya, kepastian batas wilayah adat menjadi dasar penentuan wilayah desa adat dan kewenangan-kewenangan asli yang melekat didalamnya.

Sampai saat ini, wilayah adat dengan wilayah administrasi desa dan bahkan dengan adminsitrasi kabupaten masih tumpang tindih. Setidaknya, tiga bentuk tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah adminsitrasi yang ditemukan, yaitu; pertama, wilayah adat lebih besar dibandingkan wilayah administratif desa, sehingga dalam satu wilayah adat terdapat desa administratif didalamnya. Kedua, wilayah adat lebih kecil dibandingkan wilayah desa, sehingga di dalam satu wilayah desa terdapat wilayah-wilayah adat, dan ketiga, wilayah adat melampaui batas wilayah administrasi kabupaten.[4] Pada konteks tumpang tindih wilayah adat dengan admnistrasi desa, cara yang mesti dilakukan adalah penggabungan atau pemecahan desa mengikuti wilayah adat dalam proses awal penetepan status desa adat melalui aturan daerah. Sedangkan pada situasi ketiga, persoalan menjadi lebih kompleks akibat penetapan administrasi kabupaten ditetapkan melalui undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun