Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa Adat atau Desa Administratif, Kontestasi Politik Revisi Perda Nagari

20 November 2018   15:29 Diperbarui: 21 November 2018   07:34 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 [1] Penggunaan istilah Nagari dalam sistem desa di sumatera barat tidak diringi dengan re-organisasi nagari sebagai  unit pemerintahan sekaligus unit sosial masyarakat adat secara tuntas. Dualisme nagari sebagai unit pemerintahan dengan unit sosial masyarakat adat tetap terjadi dengan tiga indikator, yaitu : pertama, dualisme kelembagaan adat dengan pemerintah nagari tetap berlangsung, terutama dalam hal pengurusan sumber daya alam (hak ulayat), kedua, penggabungan desa kedalam unit nagari paska pemberlakukan Perda Nagari tahun 2000 tidak diiringi dengan penggabungan wilayah adat. Batas nagari tetap menjadi problem yang belum tuntas diselesaikan yang berakibat pada konflik batas nagari antar nagari dan konflik nagari dengan negara dan atau pemilik konsesi sumber daya alam. dan Ketiga, terjadinya pemekaran nagari-nagari pemerintahan yang disponsori oleh Pemerintah Kabupaten yang tidak diiringi dengan pemekaran nagari secara adat. Akibatnya, nagari tetap berwatak desa seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru.

[2] Hukum Indonesia mengenal dua jalur pengakuan masyarakat adat, yaitu melalui pengakuan desa adat dan pengakuan langsung atas komunitas-komunitas adat. Dalam pembahasan lebih lanjut dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan jalur-jalur hukum pengakuan hukum tersebut dan relasinya dengan masyarakat adat

[3] Peraturan Menteri Agraria No.9/1999 tentang Pedoman pengakuan hak ulayat masyarakat adat sebagai aturan pertama penyerahan kewenangan pengakuan masyarakat adat ke pemerintah daerah yang diikuti oleh perundang-undangan lain yang bersifat sektoral termasuk UU Desa dan Mahkamah Konstitusi memperkuat kewenangan pemerintah daerah tersebut melalui Putusan MK No.35/2012 tentang hutan adat.

[4] Situasi tumpang tindih batas wilayah adat dengan wilayah desa disampikan oleh Muhammad Arman dari AMAN dalam workshop tantangan masyarakat adat dalam implementasi putusan MK 35 dan UU Desa yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation pada tanggal 3-4 Februari 2015. Selain itu, tumpang tindih pada point ketiga, yaitu antara wilayah adat dengan wilayah administrasi kabupaten juga ditemukan penulis nagari guguk malalo kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.

[5] Sejarah nagari tidah sepenuhnya dapat dilacak secara dokumen. Sejarah nagari tersebut lebih banyak ditemukan melalui pengetahuan oral masyarakat.

[6] KAN adalah forum ketua adat dari suku-suku nagari yang dimasa orde baru menjadi lembaga representasi masyarakat adat untuk menghindari kehancuran nagari akibat pembelahan nagari menjadi desa-desa administratif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun