Inisiatif integrasi ini sebenarnya telah di coba oleh Sumatera Barat jauh sebelum UU Desa 2014 lahir melalui aksi kolektif "Baliak ka Nagari" (Benda-Beckmann, 2014). Â Desa-desa yang dulu dipecah pada masa Orde Baru disatukan kembali ke dalam wilayah nagari. Penggabungan desa-desa ke dalam wilayah nagari tidak sepenuhnya berjalan lancar. Kasus nagari guguk malalo kabupaten tanah datar adalah contoh kasus. Kasus ini mengungkap hambatan penggabungan wilayah adat dengan wilayah desa tersebut. Berdasarkan sejarah,[5]Â Nagari guguk malalo adalah hasil pembelahan dari nagari malalo di masa kolonial belanda. Pemerintahan kolonial belanda membagi nagari malalo menjadi tiga jurai, yaitu jurai guguk, jurai padang laweh dan jurai tanjung sawah. Alasan pembelahan nagari pada masa itu adalah untuk efektivitas pelaksanaan pemerintahan adat di wilayah nagari malalo yang luas.Â
Pembelahan pemerintahan adat ini tidak diikuti dengan pembelahan wilayah adat nagari (ulayat nagari), akibatnya wilayah nagari tidak merujuk pada jurai, namun pada wilayah lama malalo. Setelah kemerdekaan Indonesia, tiga jurai dilebur menjadi dua nagari pemerintahan, yaitu nagari guguk malalo yang berasal dari jurai guguk dan nagari padang laweh malalo yang berasal dari jurai padang laweh dan tanjung sawah. Penggabungan ini tetap bertahan sampai pemberlakukan UU orde baru yang membagi-bagi dua nagari ini menjadi desa-desa kecil. Di masa reformasi, dua nagari ini dikembalikan kembali ke bentuk nagari awal sebelum pemberlakukan UU desa orde baru.
Masalah Kedua adalah wilayah adat nagari malalo melintasi batas administrasi kabupaten dan kawasan hutan. Wilayah adat nagari malalo dibelah oleh batas administrasi kabupaten Tanah datar dan Kabupaten Padang Pariaman dan juga kawasan hutan lindung. Secara historis, kampung asam pulau, yaitu pemukiman masyarakat malalo di kabupaten padang pariaman berasal dari perluasan wilayah pemukiman dan pertanian nagari asal. Perluasan tersebut melintasi gugus perbukitan bukit barisan di sisi barat nagari. Sejak penetapan kawasan hutan lindung pasa masa colonial belanda, akses menuju wilayah pemukiman baru tersebut  dibatasi, namun interaksi sosial tetap terjaga dan kampung asam pulau masih tunduk dalam adat nagari malalo.
Kedua, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli. UU Desa 2014 menyebutkan bahwa pelaksanaan desa adat sebangun dengan struktur asli (adat) yang dikenal pada desa adat masing-masing. Struktur asli adalah organisasi asli masyarakat adat yang akan diadopsi menjadi model organisasi desa adat. Perdebatan struktur asli telah terjadi seiring "Baliak Ka Nagari" pada awal 1998 di Sumatera Barat. Pada masa itu, perdebatan struktur asli nagari berkutat pada model nagari ideal, apakah pada model nagari pra-kolonial, colonial, orde lama, atau orde baru. Dengan Perda 9/2000 tentang Nagari, Perdebatan model nagari ini akhirnya diputuskan untuk kembali pada model nagari dengan batas teritori sebelum UU Desa orde baru.
Model nagari ini masih bersifat ambivalen karena mengatur KAN[6] sebagai reperesentasi adat namun tidak masuk dalam struktur pemerintah nagari. Posisi KAN sebagai representasi adat adalah semacam lembaga "semi-formal" dengan fungsi penyelesaian sengketa adat, namun fungsi lain sebagai otoritas adat dalam mengelola asset nagari, termasuk tanah ulayat nagari diserahkan kepada Pemerintah Nagari yang baru. Pemerintah Nagari kesulitan mengklaim ulayat nagari karena berhadapan dengan KAN sebagai lembaga yang dianggap sebagai otoritas adat. Persaingan antara Pemerintah Nagari dengan KAN dalam mengelola ulayat nagari terjadi, begitu juga kompromi diantara keduanya (Benda Beckmann, 2014).Model Pemerintah Nagari mengadopsi format desa modern dengan membelah kekuasaan eksekutif di tangan pemerintahan nagari dan legislatif di tangan Badan Musyawarah Nagari. Badan musyawarah nagari memuat tiga unsur klasik kepemimpinan minangkabau, yaitu adat, agama dan cendikiawan yang ditambah dengan kelompok fungsional baru ORLA dan ORBA, yaitu wanita-wanita adat dan kaum muda (Benda Beckmann, 2014). Â
Merujuk pada situasi lapangan di nagari malalo, model organisasional nagari selalu berinteraksi terus menerus dengan negara. Â Menemukan kembali struktur asli adat menjadi sulit, apakah nagari sebelum belanda ?, apakah berdasarkan jurai ? atau nagari sekarang yang terbagi atas dua nagari ? Situasi ini menunjukan bahwa struktur nagari "asli" berinteraksi dengan negara dan membentuk model baru yang hybrid. Artinya, memilah nagari (desa) antara adat dengan administratif secara biner tidak memungkinkan lagi.
Dalam konteks wilayah adat, ingatan kolektif nagari malalo sebagai kesatuan masyarakat adat diikat dalam batas wilayah adat malalo. Wilayah adat ini masih utuh akibat kuatnya adat mengatur tanah di level suku (sub-clan). Kepala-kepala suku menjadi penjaga adat dalam pengurusan tanah dan wilayah. Namun pada tingkat ulayat nagari sebagai asset nagari, situasi ketidakpastian muncul akibat kaburnya batas wilayah adat dengan batas administrasi serta kawasan hutan, dan lembaga pengelola yang belum jelas. Secara internal, ketidakjelasan lembaga pengelola ulayat nagari memicu ketegangan antara pemerintah nagari dengan KAN, dan juga antara dua nagari dalam wilayah adat malalo. Secara eksternal, klaim hutan negara memicu konflik antara nagari malalo dengan otoritas yang lebih tinggi, yaitu Pemerintah daerah dan pusat.
4. Kontestasi Politik Daerah
Pada sebuah diskusi terfokus yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 4 april 2016, Gubernur Sumatera Barat menyatakan bahwa pembelahan nagari berguna untuk menambah dana desa untuk sumatera barat. Â Gubernur membandingkan Sumatera barat dengan Aceh dalam hal perolehan dana desa, dimana Aceh mendapatkan dana desa yang lebih besar dibanding Sumatera Barat akibat banyaknya jumlah desa. Pernyataan ini memperlihatkan kecenderungan arus balik nagari untuk kembali lagi pada model desa orde baru. Beberapa kecenderungan politik ini dapat dalam dua hal :
Pertama, Maraknya pembelahan nagari untuk memperoleh anggaran pemerintah pusat sebenarnya telah terjadi sejak sistem pembiayaan pemerintah pada 2005. Dengan sistem ini, agenda "Baliak Ka Nagari" menjadi tidak menarik lagi (Vel and Bedner, 2016). Kecenderungan pembelahan nagari beriringan dengan karakter hibridasi nagari yang memungkinkan pembelahan nagari tanpa harus membelah KAN sebagai "lembaga adat" dan pembelahan wilayah adat untuk mengikuti batas nagari yang baru. Model ini memungkinkan dalam UU Desa 2014 dengan membentuk "lembaga adat" sebagai penanda peran adat dalam pemerintahan desa, sehingga nagari tidak harus berstatus desa adat penuh (Vel and Bedner, 2016).
Kedua, rancangan perda nagari baru provinsi Sumatera Barat untuk meresepon UU Desa 2014 mengalami kebuntuan. Rancangan perda nagari baru ini cenderung ke model desa adat dengan melebur KAN kedalam struktur Nagari. Rancangan Perda ini merubah format KAN sebagai "lembaga adat" semi-formal menjadi legislatif nagari yang diisi tidak hanya pemangku adat, namun juga unsur kepemimpinan klasik minangkabau lainnya dan kelompok fungsional nagari. Rancangan Perda Nagari ini juga menyebutkan bahwa nagari adalah pemerintahan desa yang merujuk pada wilayah adat. Perdebatan muncul sejak rancangan perda ini diajukan pemerintah provinsi. Uniknya, kelompok adat di LKAAM menolak perubahan format KAN tersebut karena perubahan format KAN menghilangkan sifat eksklusif pemangku adat dalam struktur hybrid nagari. Perubahan format KAN berarti menghilangkan otoritas lembaga adat terhadap aset nagari, khususnya ulayat nagari. Paralel dengan itu, kelompok birokrat dan politisi berpengaruh menginginkan dualisme kelembagaan tetap berjalan. Model baru nagari dalam Rancangan Perda ini menghilangkan kemungkinan pembelahan nagari tanpa membelah wilayah adat dan struktur nagari.