Aku lihat sesosok tubuh muda di atas rel. Berkelebat file detik-detik sebelum ia meregang nyawa. Ah, pilunya!
Uchi. Dulunya ia gadis manis berdada padat. Kini kedua bongkahan itu tak lagi liat merangsang. Namun terbelah bersama belahan tubuhnya yang lain.
Aku turun dari kereta. Orang-orang riuh berkerumun menikmati tontonan gratis dan menjadikannya bahan rumpian keluarga.
"Pak, awas kereta!"
Aku tersenyum dengar jeritan-jeritan ramai. Buat apa takut mati...
Toh, hatiku juga sudah mati sejak puluhan tahun lalu Uchi meninggalkanku kawin dengan pengacara tenar beristri dua dan empat selingkuhan. Ya, aku tembus waktu demi temui reinkarnasinya. Takdirnya sudah jelas.
Kini aku yang harus menentukan takdirku sendiri. Toh, waktuku sudah habis.Â
Aku buang barang bawaan yang lumayan berat yang mengikutiku bertahun-tahun: foto dan surat-surat cintaku dengan Uchi.Â
Ringan sudah. Aku siap, Tuhan.
Derak kereta cepat itu menyambutku. Bunyinya seperti seruling indah malaikat-malaikat kecil yang mengelilingiku, menarik tanganku mengetuk pintu langit ketujuh.Â
Ya, aku akan laporkan observasiku sekaligus protes kepada Tuhan kenapa Ia ciptakan waktu dan wanita. Keduanya sama-sama menyiksa bila dinanti.