Ia mengangguk menegaskan perkataannya barusan.Â
Si gadis manis mendengus lantas pergi seraya tak lupa membanting pintu kamar praktik. "Dasar laki-laki pengecut!"
Pasien di ruang tunggu geger. Saling tengok dan celinguk.Â
Suster Ani bergegas masuk. "Ada apa, Dok?"
"Ah, biasa. Tidak ada apa-apa. Tolong panggilkan pasien yang lain!" Dokter Yan berusaha tersenyum. Namun, bagi Suster Ani, senyum itu terasa dipaksakan.
"Yan Ramses! Apa sumpah wajib para dokter?" Sang profesor berambut sepenuhnya uban bertanya menyelidik. Matanya menatap tajam di balik kacamata tebal.
"Bagaimana isinya?"
Yan Ramses, mahasiswa terbaik di angkatannya itu, menjawab lancar.Â
Sang profesor tua tersenyum puas. Ia kemudian berceloteh panjang lebar di depan kelas di tengah angin sepoi-sepoi yang menerabas jendela-jendela besar peninggalan kolonial Belanda di kampus ternama itu.
"Demikian maksud saya. Jangan gunakan keahlian medis kalian untuk hal-hal komersial yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Masih ingat Sumpah Hippocrates di awal tadi? Setiap manusia punya hak hidup bahkan sejak ia masih berupa janin dalam kandungan. Gereja Katholik bahkan lebih keras lagi menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pertemuan sperma dan ovum pada saat berhubungan badan."