Pukul dua siang!
Kini aku berdiri bersama beberapa penumpang di gerbong ini. Seorang perwira TNI, mahasiswi berkacamata dan sepasang kekasih.Â
Aku tidak sendirian, gumamku.Â
Tapi, ya Tuhan, sepasang kekasih itu cuek betul.Â
Si lelaki dengan santai melingkarkan tangan di pinggang si cewek, dan mengecup mesra pipinya. Si gadis menggeliat manja dan menitipkan rambut panjang kebule-buleannya di bahu sang kekasih. Persis adegan film Holywood.
"Iih, nakal!" jerit tertahan si cewek. Tangan sang kekasih yang mengarah dada mangganya ditepis halus.
"Malu ah," bisik mesra si gadis di dekat telinga sang kekasih. Pelukan mereka meregang.Â
Wajah lelaki yang sejak tadi terhalang rambut kekasihnya tampak tersenyum lebar, menampakkan gigi gingsul yang putih.
Aku turut tersenyum. Di zamanku tak mungkin kami seleluasa itu.Â
Sayang tak sempat kunikmati lama pemandangan indah itu.Â
Perhatianku keburu terampas oleh seorang gadis hitam manis berambut panjang di ujung gerbong.Â
Ia duduk diam, pandangannya menerawang. Matanya kosong. Sekosong isi kepalanya ketika aku terobos benaknya. Namun ada lipatan-lipatan neuron otaknya yang membuatku tahu siapa dia.Â
Hm...Uchi. Apa gerangan yang membuatmu bersedih?
Ada suatu file di neuron otaknya. Di sepenggal malam sunyi. Durasi sekian jam.Â
Uchi terisak pelan. Derai airmata membulir dalam gelap mata cantiknya. Wajah Ambon manise titipan ibunya sebetulnya cukup menarik. Entah mengapa ia belum dapat jodoh juga.Â
Sebagai penumpang kereta, sebetulnya cukup banyak lelaki yang mengajaknya berkenalan. Tapi hanya iseng. Seiseng jemari mereka yang merambah bongkahan padat auratnya di tengah kesesakan sarden kereta.
Mau buat apa ia, bergerak pun tak kuasa. Lidahnya terlalu geram untuk menjerit. Hanya geram dan sedih tertahan dalam gerayangan jahanam. Meski kadang ia merinduinya juga, serindu perawan usia tigapuluhan akan madu lelaki.
Ah, ada file manis juga ternyata!
"Turun di mana, Mbak?" Lelaki tampan dan simpatik itu bertanya dengan tatapan hangatnya. Senyumnya mengembang. Dagunya belah dua.
"Juanda," Uchi tersipu malu.
Yan, namanya. Dokter muda yang hari itu terpaksa naik kereta karena mobilnya rusak. Keterpaksaan yang jadi kebiasaan. Pertemuan demi pertemuan.
Yan menatap lembut gadis manis berambut panjang di depannya.Â
Gadis itu kembali tersipu malu. Masih membekas hangat ciuman pertama dalam hidupnya. Dari seorang lelaki yang mengaku mencintainya.
"Dik, buka dong..."
Hah? Begitu cepatkah? Baru ciuman? Si Manis menatap ragu.Â
Tapi Yan menatap lurus ke arahnya, serius. "Iya, buka, tolong ya..."
Dibukanya kemeja yang kuyup keringat, membelakangi Si Manis. Lantas rebahan di ranjang.
Ooh, batin Si Manis, dia mau itu! Ya sudah, demi malam pertama!Â
Bergegas dibukanya kaus ketat dan branya. Dada montok padat menyeruak perlahan.Â
Ini saja dulu, gumamnya. Jantungnya berdegup kencang. Adrenalinnya menggila.
"Bang, aku siap....."
"Ya udah, cepat buka jendela kamar itu. Gerah."
Si Manis terperangah, ia menoleh. Jendela kamar hotel melati ini memang tepat di belakangnya. Oh, shit!
Malam merangkak. Rasanya semenit lebih dari seribu detik.Â
Si Manis mendengus. Diambilnya selimut menyarungi tubuh sintalnya. Biarlah malam ini beku sedingin es...
Entah berapa jam atau berapa menit kemudian, sebuah tangan berbulu lebat menjalar hangat di bahu telanjangnya.Â
"Honey, maaf ya, kelamaan. Ya atau tidak?"
"Meoong..."
Seekor kucing mungil mencari kehangatan induknya di taman seberang kamar.
Malam itu, Si Manis dapat pelajaran tambahan dari si dokter cerdas. Tentang anatomi tubuh manusia dan alat reproduksinya.
Dokter Yan menggeleng sekuat tenaga. "Tidak, Dik, tidak. Maaf!"
Di depannya tertunduk gadis manis dan segar. Ia menatap Dokter Yan penuh harap, "Dokter, tolong saya, dokter..."
"Maaf, Dik, saya tidak sanggup. Saya sudah beristri. Punya anak pula," tukas Dokter Yan pendek.Â
Ia mengangguk menegaskan perkataannya barusan.Â
Si gadis manis mendengus lantas pergi seraya tak lupa membanting pintu kamar praktik. "Dasar laki-laki pengecut!"
Pasien di ruang tunggu geger. Saling tengok dan celinguk.Â
Suster Ani bergegas masuk. "Ada apa, Dok?"
"Ah, biasa. Tidak ada apa-apa. Tolong panggilkan pasien yang lain!" Dokter Yan berusaha tersenyum. Namun, bagi Suster Ani, senyum itu terasa dipaksakan.
"Yan Ramses! Apa sumpah wajib para dokter?" Sang profesor berambut sepenuhnya uban bertanya menyelidik. Matanya menatap tajam di balik kacamata tebal.
"Bagaimana isinya?"
Yan Ramses, mahasiswa terbaik di angkatannya itu, menjawab lancar.Â
Sang profesor tua tersenyum puas. Ia kemudian berceloteh panjang lebar di depan kelas di tengah angin sepoi-sepoi yang menerabas jendela-jendela besar peninggalan kolonial Belanda di kampus ternama itu.
"Demikian maksud saya. Jangan gunakan keahlian medis kalian untuk hal-hal komersial yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Masih ingat Sumpah Hippocrates di awal tadi? Setiap manusia punya hak hidup bahkan sejak ia masih berupa janin dalam kandungan. Gereja Katholik bahkan lebih keras lagi menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pertemuan sperma dan ovum pada saat berhubungan badan."
Dokter Yan tercenung.Â
Setiap manusia punya hak hidup bahkan sejak ia masih berupa janin dalam kandungan; jangan gunakan keahlian kalian untuk hal-hal komersial yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Dasar gadis sialan! Kenapa dia bikin aku pening begini?Â
Gila! Di saat harga barang melonjak akibat resesi ekonomi. Saat istri bawel menuntut uang belanja lebih untuk gonta-ganti mobil baru demi persaingan dengan teman-teman arisan sosialitanya!
Migrennya meradang.Â
Saat stress atau kelelahan, tamu bangsat ini kerap datang tanpa diundang.Â
Bahkan sering ia merasa disorientasi, tidak tahu di mana berada atau menjadi pelupa.Â
Terutama sejak setahun terakhir.Â
Ketika Nina yang dulu manis kini menjelma menjadi monster mengerikan di tahun ketiga perkawinan mereka. Tuntutannya sering keterlaluan bahkan untuk seorang dokter yang bekerja di tiga rumah sakit sekaligus dan buka praktek pribadi pada malam harinya seperti dirinya.
Tak ayal ia kerap menghibur diri di tempat-tempat hiburan malam atau panti pijat.Â
Menikmati gelegak alkohol yang membuatnya tetap merasa jantan meski Nina kerap meremehkannya karena ia hanya mahasiswa miskin dari pelosok Sibolga sana yang beruntung bisa kuliah hingga spesialis karena sokongan beasiswa universitas dan kucuran dana mertuanya.
Remasan jemari wanita pemijat plus-plus bisa mengantarnya ke alam lain yang membuatnya perkasa melampiaskan dendam terhadap wanita, kaum istrinya. Sekaligus menebus kerinduan akan sosok molek istrinya dulu yang kini sudah seperti gajah di Way Kambas sana di provinsi kelahiran Nina.
"Bang, ya atau tidak?!"
Yan menggeleng. Uchi meledak dalam tangis. Dalam frame lain, Nina mencibir pongah.
"Baik, kita cerai. Tidak ada harta gono-gini. Modal kamu menikahiku juga cuma kolor dan batangmu!"Â
Nina pergi. Yan pun pergi. Puluhan pil penenang menemaninya sakaratul mautnya. Entah apa pertanyaan pertama sang malaikat di kuburnya. Tak ada Nina yang membisikkan jawaban untuknya.
Ah, Uchi, dukamu begitu dalam. Hingga aku dapat menjalar liar dari benakmu ke sumsum tragedimu. Andai kau tahu apa yang aku ketahui...
Kereta terus berjalan.Â
Uchi masih tepekur diam di bangku seraya menatap kosong. Tubuhnya masih saja padat menggoda. Masih saja tangan-tangan nakal tak sah menikmatinya. Tapi kini Uchi menikmatinya.
Ah, Uchi, jangan pernah kau merasa kotor, Sayang. Buang pikiran itu!
Hingga suatu ketika aku lengah memerhatikannya.Â
Bangku Uchi kosong. Kereta yang terus berjalan tanpa henti mendadak mogok.Â
Aku lihat sesosok tubuh muda di atas rel. Berkelebat file detik-detik sebelum ia meregang nyawa. Ah, pilunya!
Uchi. Dulunya ia gadis manis berdada padat. Kini kedua bongkahan itu tak lagi liat merangsang. Namun terbelah bersama belahan tubuhnya yang lain.
Aku turun dari kereta. Orang-orang riuh berkerumun menikmati tontonan gratis dan menjadikannya bahan rumpian keluarga.
"Pak, awas kereta!"
Aku tersenyum dengar jeritan-jeritan ramai. Buat apa takut mati...
Toh, hatiku juga sudah mati sejak puluhan tahun lalu Uchi meninggalkanku kawin dengan pengacara tenar beristri dua dan empat selingkuhan. Ya, aku tembus waktu demi temui reinkarnasinya. Takdirnya sudah jelas.
Kini aku yang harus menentukan takdirku sendiri. Toh, waktuku sudah habis.Â
Aku buang barang bawaan yang lumayan berat yang mengikutiku bertahun-tahun: foto dan surat-surat cintaku dengan Uchi.Â
Ringan sudah. Aku siap, Tuhan.
Derak kereta cepat itu menyambutku. Bunyinya seperti seruling indah malaikat-malaikat kecil yang mengelilingiku, menarik tanganku mengetuk pintu langit ketujuh.Â
Ya, aku akan laporkan observasiku sekaligus protes kepada Tuhan kenapa Ia ciptakan waktu dan wanita. Keduanya sama-sama menyiksa bila dinanti.
Jakarta, medio Februari 2021
Baca Juga Fiksiana lainnya di bulan Februari ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H