Sore itu di taman umum di bawah jembatan layang. Angin sepoi-sepoi geboy. Arni dan Mas Alan duduk berhimpit. Bukan karena pingin lebih mesra tapi memang bangku taman begitu sempit. Mereka berdua sama-sama gugup.
"Kulit kamu putih," bisik Mas Alan dengan jurus pembukanya. Arni sumringah. Tangannya sibuk mengelus-elus kulit lengannya yang terbuka leluasa. Sore itu Arni berdandan spesial untuk Mas Alan: tanktop pink dan blue jeans ketat.
"Ah, masak," Arni grogi. Kian grogi, karena diam-diam tangan Mas Alan mulai merayap seperti ulet keket menaiki batang pohon sirih.
"Betul. Kulit kamu putiih banget!" Alan tampak serius. Matanya lekat meneliti kulit Arni.
Boleh diakui, sebagai pembantu rumah tangga, penampilan Arni yang putih dan sekel cemekel memancing iri Bu Jarot, sang majikan. Tidak heran jika Bu Jarot selalu cemburu jika suaminya dekat-dekat dengan si pembantu muda.
"Ah, masak sih," Arni makin tersipu malu. "Nggak kok!" ujarnya merendah. Tangannya basah berkeringat, bergetar dalam genggaman Mas Alan. Entah berapa skala Richter kekuatannya. Yang jelas, rambatannya terasa hingga ke jantung Arni.
"Iya juga sih. Kulit kamu ada bercaknya," ujar Mas Alan setelah memandang lengan Arni lebih dekat.Â
Sslurp! Lenyaplah sensasi kegembiraan yang sedang dinikmati Arni. Ia memandang kecewa berganti-ganti antara Mas Alan dan bercak coklat yang ada di lengannya agak sedikit ke bawah.
"Tapi jangan kuatir. Itu tidak masalah," Mas Alan menenangkan.
Senyum Arni kembali terbit. Ia senang Mas Alan mau menerima keadaannya. Nobody's perfect, begitu bunyi salah satu kata mutiara yang dihafal Arni.
"Aku punya solusinya," lanjut Mas Alan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. "Ini dia. Obat pemutih kulit cap Duo Putro Rajo. Berkhasiat menghilangkan bercak-bercak di kulit dan 1001 masalah kulit lainnya. Untuk Dik Arni, bisa cicil tiga kali. Lebih bagus lagi kalo Dik Arni mau jadi downline aku," jelas Mas Alan yang mendadak jadi bersemangat menggebu-gebu. "Gimana?"