"Pak, minta duit, Pak..."
Langkah Pak Jarot yang memasuki dapur terhenti. Ia melotot. "Kamu apa-apaan sih, Ni? Minta duit segala. Gayanya begitu lagi. Kayak fakir miskin aja!"
"Saya kan fakir, Pak," jawab Arni dengan wajah memelas.
"Fakir apa? Kamu kan baru gajian minggu kemarin!"
"Fakir missed call. Gak bisa nelpon," Arni mengacungkan hape miliknya. Hape gaul model terbaru. "Gaji yang kemarin kan ditabung buat beli berlian."
"Berlian?" Pak Jarot tambah mendelik.
Dengan lugu, Arni menjawab,"Iya, buat mas kawin saya. Keren kan, Pak?"
"Emang kamu sudah mau nikah? Kan belum punya pacar?"
"Iya sih, Pak. Semua masih dalam konfirmasi," Arni tertunduk. Ia meneruskan mengelap termos. "Ini makanya saya butuh pulsa biar dapat kepastiannya, Pak."
Pak Jarot geleng-geleng kepala. Gaya pembantunya ini memang beda, high class. Tapi, demi membantu orang dapat jodoh, Pak Jarot mengeluarkan dompetnya.
"Kamu butuh berapa?"
"Seadanya, Pak."
Pak Jarot tersenyum lega. Ia menarik selembar dua puluh ribuan.
"Maksudnya, seadanya isi dompet bapak..."
Pak Jarot mendehem keras. Kumis baplangnya bergerak-gerak.
Arni paham situasi. "Boleh deh, Pak. Dua puluh ribu gak apa-apa."
Belum lagi lembar dua puluh ribuan itu berpindah tangan, terdengar deheman keras dari ruang tengah. Pak Jarot mendadak panik. Lekas ditariknya tangannya. Ia lantas pergi.
Amblas sudah harapan Arni. Ah, cinta kandas di pulsa! gerutu Arni.
Di rumah itu, deheman Bu Jarot lebih berkuasa daripada kumis baplang suaminya. Dan Pak Jarot sendiri tidak mau nanti dituduh terlibat affair dengan pembantunya. Bisa-bisa seperti Bill Clinton dan Monica Lewinski.
Buat Arni sendiri, monika mo kagak sih terserah. Yang penting bisa nelpon...
Di ruang tengah, Bu Jarot mendehem berkali-kali. Tenggorokannya terasa gatal. Terlalu banyak ngemil kacang kulit. Padahal sinetron lagi seru-serunya.
"ATI...!!!" teriaknya. "Air minum, Ti!"
Nama lengkap Arni memang Arniati binti Sami'un. Tapi ia lebih suka, karena lebih keren, dipanggil "Arni".
Namun Bu Jarot, yang sangat sadar hierarki sosial, tetap memanggilnya "Ati". Biar lebih terasa feel-nya, katanya. Feel sebagai pembantu, maksudnya.
Arni yang belum kelar mengelap termos tergopoh-gopoh menghampiri majikannya yang satu ini.
Bukannya senang, Bu Jarot malah senewen. "Segelas aja, Ti! Ga setermos!"
Arni kaget. Ia baru sadar ia masih memegang termos yang sedang dilapnya. Ia cengengesan. "Iya ya, Bu,hehe..."
"Pake ketawa lagi!" sembur Bu Jarot. "Nyindir ya? Mentang-mentang aku gembrot, kamu kira aku minum kayak gajah?!"
Arni langsung mingkem, manyun. Sengsara bener jadi fakir missed call, ia membatin. Masih mending jadi fakir miskin, dipiara negara.
Bagian hatinya yang lain bersuara,"Tapi kalo fakir missed call kayak gue kan disayang Kang Undang..."
Terbersit lintasan nama salah satu target calon pacarnya itu, Arni jadi ceria. Senyumnya terkembang. Rentetan omelan yang diluncurkan Bu Jarot serasa nyanyian burung-burung di taman bunga.
Pada scene tersebut, dalam slow motion, Bu Jarot terus nyerocos sambil menuding-nuding Arni sementara Arni tertunduk tersenyum tersipu-sipu. Dalam khayalannya, ia sedang mendengarkan rayuan mesra Kang Undang.
"Abdi bogoh ka anjeun..."
Padahal sebenarnya Bu Jarot sedang memakinya,"Dasar ganjen!"
***
"TIDAK!" tolak Arni. Ia meronta sekuat tenaga.
"Arni, aku sayang kamu..." Syamsul terus mendekat.
"TIDAK!" jerit Arni kian keras.
"Dengar dulu, Arni, aku tulus..."
Arni tertegun. "Lho, kamu bukannya Syamsul?"
"Ya, aku Syamsul. Dan aku tulus..."
"Syamsul apa Tulus?!" potong Arni. "Konsisten dong!"
"Whatever deh!" Syamsul kesal.
"CUT!" suara keras setengah membentak terdengar.
"Ini sinetron, Guys!" bentak sang sutradara berkepala botak. "Bukan ngobrol. Yang serius dong!"
"Ya, Pak," angguk Syamsul dan Arni berbarengan. Lesu.
"Ulang ya. Yang serius!" ancam Si Botak."Camera action!"
"TIDAK!" jerit Arni tambah keras.
"Hoi! Lu apain tuh anak gue!" Mendadak muncul babe Arni bersenjatakan golok. Golok made in Cibatu yang tajam berkilat diacung-acungkannya.
"Pak...Sabar!" Syamsul menahan.
"Name gue Mi'un. Bukan Sabar. Sok kenal lu!" Bang Mi'un mencengkeram kerah kaos Syamsul. "Dasar anak bejat!"
"Be, Arni kan lagi maen pelem!" Arni menangis meratap.
"Kagak pake. Pulang!" Bang Mi'un menyeret anak perawan semata wayangnya pulang. Tidak ada yang mencegatnya. Tongkrongan Bang Mi'un dengan gelang bahar hitam, gesper hijau besar dan celana pangsinya sungguh mengesankan sebagai seorang jawara tangguh.
Padahal, andai mereka tahu, Bang Mi'un hanyalah kuli penyadap tuak aren.Â
"Tuak aren" adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk nira aren yang kemudian akan diolah menjadi cuka. Pohon-pohon aren yang disadap pun milik orang lain, bukan milik Bang Mi'un. Karena profesinya itu, sejak ia ditinggal mati istrinya sepuluh tahun lalu, Bang Mi'un dijuluki DUREN. Bukan Duda Keren. Tapi duda (bau) aren.
"Ancur! Kacau!" Si Botak ngamuk-ngamuk. Tak sengaja ia menyepak kamera.
"Tambah mati gue! Hih!" Si Botak terperangah melihat kamera senilai jutaan rupiah terbanting sia-sia ke tanah.
Arni sendiri terisak-isak dalam seretan ayahnya. Gagal lagi usahanya untuk terlepas dari status fakir missed call.
Â
Gagal lagi ah...gagal lagi...
Isakan Arni berirama seperti melodi lagu tarling Pantura, Mabok Bae.
* * *
"Babe, gimane sih?! Arni kan bosen jadi pembantu terus!" protes Arni. "Sekalinye jadi artis, eh, babe kendiri yang ngalangin!"
Bang Mi'un mengacungkan goloknya,"Ati, haram tuh perawan maen pelem. Dipegang-pegang bukan muhrim. Kagak sudi gue!"
"Yee..babe kege-eran deh. Emang babe yang dipegang-pegang? Kan Arni yang ngerasain!"
"Ya Allah, justru entu nyang gue gak suka. Udah, Ti, elo jadi pembantu aje. Biar gaji dikit tapi halal!" titah Bang Mi'un terucap sudah. Harga mati sudah dipatok.
Ati alias Arni merengut. Ia berlari masuk kamar. Ditumpahkannya segala kesedihan di bantal demek. Padahal baru kemarin ia bersuka cita diajak Inah, pembantu seberang rumah Bu Jarot, untuk ikut syuting sinetron.
Kebetulan kru tim sinetron favorit Arni sedang melakukan pengambilan gambar untuk beberapa scene atau adegan di kampung mereka. Dan sang sutradara butuh beberapa figuran yang akan berperan sebagai pembantu rumah tangga. Termasuk Syamsul, tukang kebon di rumah Pak Dewa. Jadi cocoklah. Dijamin Arni dkk akan sangat menjiwai peran.
Yah, meski cuma jadi figuran yang kebagian ngomong beberapa baris dialog saja. Meski cuma dapat dua lembar seratus ribuan. Tapi Arni senang. Ia sudah membayangkan bisa beli pulsa dan bertelepon ria dengan Kang Undang, Bang Jeki, Mas Alan...
Mas Alan?
Kok gue bisa lupa ya sama jejaka Solo item manis itu?
Arni terhenyak. Ia lupa sedihnya. Ia ambil buku diary-nya yang lebih mirip buku catatan tukang kredit panci. Ia buka-buka sebentar dan mulai mengingat-ingat.
Ya Allah, udah sebulan gue ga ketemuan sama Mas Alan, desisnya. Arni berdesis panjang mirip ular sendok ketemu mangsa. Mas Alan, ape kabarnye ye?
Mas Alan, yang nama lengkapnya Sutarlan, termasuk target inceran Arni nomor satu untuk dijadikan calon suami. Kendati profesinya sebagai Office Boy (OB) tidak berbeda jauh dengan strata gebetan-gebetan Arni yang lain, perilaku Mas Alan yang lugu dan lemah lembut khas Solo dengan perawakan hitam manis sungguh suatu hal berbeda yang menarik hati Arni.
Bukankah cinta itu tidak mengenal perbedaan? Bukankah perbedaan itu adalah kembang-kembang hubungan asmara? Arni hafal betul kata-kata mutiara tentang cinta itu yang dicomotnya dari sebuah majalah remaja.
Arni teringat nostalgia kencan pertamanya dengan Mas Alan.
Sore itu di taman umum di bawah jembatan layang. Angin sepoi-sepoi geboy. Arni dan Mas Alan duduk berhimpit. Bukan karena pingin lebih mesra tapi memang bangku taman begitu sempit. Mereka berdua sama-sama gugup.
"Kulit kamu putih," bisik Mas Alan dengan jurus pembukanya. Arni sumringah. Tangannya sibuk mengelus-elus kulit lengannya yang terbuka leluasa. Sore itu Arni berdandan spesial untuk Mas Alan: tanktop pink dan blue jeans ketat.
"Ah, masak," Arni grogi. Kian grogi, karena diam-diam tangan Mas Alan mulai merayap seperti ulet keket menaiki batang pohon sirih.
"Betul. Kulit kamu putiih banget!" Alan tampak serius. Matanya lekat meneliti kulit Arni.
Boleh diakui, sebagai pembantu rumah tangga, penampilan Arni yang putih dan sekel cemekel memancing iri Bu Jarot, sang majikan. Tidak heran jika Bu Jarot selalu cemburu jika suaminya dekat-dekat dengan si pembantu muda.
"Ah, masak sih," Arni makin tersipu malu. "Nggak kok!" ujarnya merendah. Tangannya basah berkeringat, bergetar dalam genggaman Mas Alan. Entah berapa skala Richter kekuatannya. Yang jelas, rambatannya terasa hingga ke jantung Arni.
"Iya juga sih. Kulit kamu ada bercaknya," ujar Mas Alan setelah memandang lengan Arni lebih dekat.Â
Sslurp! Lenyaplah sensasi kegembiraan yang sedang dinikmati Arni. Ia memandang kecewa berganti-ganti antara Mas Alan dan bercak coklat yang ada di lengannya agak sedikit ke bawah.
"Tapi jangan kuatir. Itu tidak masalah," Mas Alan menenangkan.
Senyum Arni kembali terbit. Ia senang Mas Alan mau menerima keadaannya. Nobody's perfect, begitu bunyi salah satu kata mutiara yang dihafal Arni.
"Aku punya solusinya," lanjut Mas Alan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. "Ini dia. Obat pemutih kulit cap Duo Putro Rajo. Berkhasiat menghilangkan bercak-bercak di kulit dan 1001 masalah kulit lainnya. Untuk Dik Arni, bisa cicil tiga kali. Lebih bagus lagi kalo Dik Arni mau jadi downline aku," jelas Mas Alan yang mendadak jadi bersemangat menggebu-gebu. "Gimana?"
Ternyata pekerjaan sampingan Mas Alan adalah agen Multi Level Marketing (MLM). Jadilah kencan pertama mereka ajang presentasi produk dagangan Mas Alan.Â
Tapi Mas Alan cukup royal. Dibandingkan Bang Jeki, si sopir mikrolet. Saat itu mereka janjian via telepon untuk kencan pertama.
"Halo, Bang Jeki ya? Ini Arni," sapa Arni dengan suara dimanja-manjakan.
Terdengar riuh bising kendaraan. Sepertinya Bang Jeki sedang ngetem di terminal.
"Ya, siapa nih?" jawab Bang Jeki tegas dengan logat Bataknya. Nama lengkapnya Zakiruddin Harahap.
"Arni, Bang..." ujar Arni masih dengan suara manja dan super lembut.
"HAH? SIAPA?"
"Arni...!! A-R-N-I...ARNI!"
"ALNI?!"
"A-R-N-I...ERR...ROMEO!"
Terdengar dengus kesal. "BAH! MANA PULA ROMEO SUARANYA CEWEK?!"
Aargh!
Tapi akhirnya mereka jadi juga ketemuan. Di rumah makan Padang. Karena Arni menolak setengah mati diajak masuk ke lapo di sebelah terminal.
"Ah, mentel kali kau. Ya, sudahlah!" cetus Bang Jeki kesal ketika diajak masuk ke rumah makan Padang. Ini juga kompromi, batin Arni dalam hati, kan mereka masih bertetangga provinsi.Â
Sebetulnya Arni pingin makan botok teri di rumah makan Sunda. Tapi Sunda kan jauh dari Sumatera, pikirnya, nanti Bang Jeki bermasalah lagi. Yah, Arni mengalah demi cinta...
Cinta? Rasanya tidak juga. Selama kencan dengan Bang Jeki rasanya urat leher Arni tegang terus. Ia harus teriak-teriak ketika ngobrol dengan Bang Jeki. Gara-gara terbiasa hidup di terminal yang bising, Bang Jeki agak kurang pendengarannya.
Alhasil, saat mereka nonton di bioskop, para penonton yang lain pada protes. Mereka bilang Bang Jeki "mengganggu ketenangan".
"Apa pula ini?! Aku kan cuma berbisik, Ar!" Bang Jeki membela diri.
Nah, kalau mau dibilang cinta sejati, ya, cinta sejati Arni sebetulnya tertambat pada kumis tipis Kang Undang. Sang tukang kredit dari Garut. Ia yang paling ganteng dari ketiga pria yang menghiasi hati Arni. Orangnya juga sabar dan sopan. Royal pula.
Tiap bulan Arni dikasih sangu uang pulsa dan uang bedak. Kencan pertama mereka pun di sebuah kafe kopi waralaba internasional. Meski selanjutnya kembali ke warteg dan rumah makan Sunda. Namun kencan pertama itu sangat mengesankan sekaligus memalukan buat Arni.
"Akang sudah pingin nikah, Neng," ujar Kang Undang waktu itu. Usianya memang sudah lewat 30-an. Sambil menyeruput ice blended-nya, Arni mesem-mesem.Â
"Gimana, Neng?" lanjut Kang Undang dengan tatapan menyelidik.
"Enak..."
Kang Undang nyengir. "Nikah mah emang enak atuh, Neng. Neng mau kan?"
Arni menatap Kang Undang. "Tapi krimnya tambah ya!"
"Kok pake krim, Neng? Kan Neng masih perawan?"
Giliran Arni yang bengong. Ia ternganga dengan krim belepotan di bibir.
"Neng udah gak perawan?" tanya Kang Undang hati-hati. "Mm...maap.."
Kang Undang tampak kecewa. Ia meneguk capuccino-nya sekali tandas.
Arni bingung. "Kang, apa hubungannya krim sama perawan? Kan Neng cuma mau tambah krim lagi?" kata Arni sambil memperlihatkan gelasnya.
Kang Undang melongo. Ada senyum lega sekaligus mangkel di wajahnya. Ternyata sedari tadi Arni hanya sibuk dengan ice blended-nya.
Tapi, dasar orang sabar, Kang Undang masih setia menemani dan mentraktir Arni selama berbulan-bulan setelah itu. Hanya dua setengah bulan belakangan tiada kabar darinya baik SMS, Whatsapp atau telepon.Â
Padahal Arni sudah menabung berbulan-bulan uang gajinya untuk membeli mas kawin. Ia ingin berlian sebagai mas kawinnya. Dan ia tak ingin merepotkan Kang Undang yang sudah sangat baik kepadanya.
Tapi, aah, sekarang Arni bukan saja fakir cinta, tapi juga fakir missed call, bahkan fakir pulsa...
Kembali Arni sesenggukan hingga ia tertidur kelelahan. Dalam mimpinya, ia bertemu Kang Undang. Mereka berkejar-kejaran di padang rumput luas sambil menari dan sesekali main petak umpet di balik pohon seperti di film-film Bollywood.
***
Inah adalah tempat curhat sejati dan yang paling nyaman buat Arni.
"Yo wis, sing sabar to, Ni," hibur Inah. Nama lengkapnya Wolly Sutinah. Itu nama asli Mak Wok, aktris film ngetop tahun 70-an, yang juga ibunda Aminah Cenderakasih (pemeran ibunda Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan).
Konon orang tua Inah fans berat Mak Wok. Entah karena pengaruh kharisma nama 'Wolly' atau tidak, Inah juga sangat pintar membuat kue wolu, eh, maaf, bolu.
"Gue capek sabar terus-terusan, Nah," rintih Arni. Ia sesenggukan memeluk lututnya. Wajahnya sembab berurai air mata.
"Sabar kok capek, Ni," lanjut Inah sambil menyisiri rambut Arni yang mayang bergelombang. "Sabar itu ndak ada batasnya. Hidup juga sing sederhana. Wong Jowo bilang 'ngono yo ngono yo ojo ngono'..."
"Apaan tuh?"
"Maksudnya kalo kamu sedih yo jangan kelewat sedih. Kalo seneng yo jangan kebablasan...Roda kan muter tho, Ni," Inah berpetuah bijak.
Arni manggut-manggut merasa tercerahkan. Kadang Arni curiga jangan-jangan Inah itu sarjana yang menyamar jadi pembantu seperti di sinetron-sinetron yang ditontonnya tanpa absen.
Mendadak wajah Arni yang sejenak cerah kembali mendung.
"Tapi, Nah, kalo rodanya kayak ban mikrolet Bang Jeki yang sering ngetem, gimana?"
Inah pun kehabisan kata.
Jagakarsa, 4 Oktober 2020
Â
Â
 Baca Juga:
1. kisah-para-janda
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H