"Ya Allah, justru entu nyang gue gak suka. Udah, Ti, elo jadi pembantu aje. Biar gaji dikit tapi halal!" titah Bang Mi'un terucap sudah. Harga mati sudah dipatok.
Ati alias Arni merengut. Ia berlari masuk kamar. Ditumpahkannya segala kesedihan di bantal demek. Padahal baru kemarin ia bersuka cita diajak Inah, pembantu seberang rumah Bu Jarot, untuk ikut syuting sinetron.
Kebetulan kru tim sinetron favorit Arni sedang melakukan pengambilan gambar untuk beberapa scene atau adegan di kampung mereka. Dan sang sutradara butuh beberapa figuran yang akan berperan sebagai pembantu rumah tangga. Termasuk Syamsul, tukang kebon di rumah Pak Dewa. Jadi cocoklah. Dijamin Arni dkk akan sangat menjiwai peran.
Yah, meski cuma jadi figuran yang kebagian ngomong beberapa baris dialog saja. Meski cuma dapat dua lembar seratus ribuan. Tapi Arni senang. Ia sudah membayangkan bisa beli pulsa dan bertelepon ria dengan Kang Undang, Bang Jeki, Mas Alan...
Mas Alan?
Kok gue bisa lupa ya sama jejaka Solo item manis itu?
Arni terhenyak. Ia lupa sedihnya. Ia ambil buku diary-nya yang lebih mirip buku catatan tukang kredit panci. Ia buka-buka sebentar dan mulai mengingat-ingat.
Ya Allah, udah sebulan gue ga ketemuan sama Mas Alan, desisnya. Arni berdesis panjang mirip ular sendok ketemu mangsa. Mas Alan, ape kabarnye ye?
Mas Alan, yang nama lengkapnya Sutarlan, termasuk target inceran Arni nomor satu untuk dijadikan calon suami. Kendati profesinya sebagai Office Boy (OB) tidak berbeda jauh dengan strata gebetan-gebetan Arni yang lain, perilaku Mas Alan yang lugu dan lemah lembut khas Solo dengan perawakan hitam manis sungguh suatu hal berbeda yang menarik hati Arni.
Bukankah cinta itu tidak mengenal perbedaan? Bukankah perbedaan itu adalah kembang-kembang hubungan asmara? Arni hafal betul kata-kata mutiara tentang cinta itu yang dicomotnya dari sebuah majalah remaja.
Arni teringat nostalgia kencan pertamanya dengan Mas Alan.