Jika disebutkan nama-nama suku yang terkenal di Indonesia pastilah suku minangkabau
menjadi salah satu yang menempati urutan teratas, memang sedemikian terkenalnya suku
minangkabau ini baik melalui adat istiadatnya, sistem sosialnya atau bahkan tokoh-tokoh
penting dari minangkabau yang ikut dalam membangun negeri Indonesia ini. Penyebutan
minangkabau sebagai sebuah etnik yang mendiami wilayah pesisir Barat Sumatera banyak
digunakan masyarakat saat ini baik dari luar suku minangkabau atau oleh suku minangkabau
itu sendiri, penyebutan ini tidak dapat dikatakan salah namun masih keliru karena penyebutan
ini lebih menjurus pada nama wilayah yang kita kenal sekarang sebagai sumatra barat.
Minangkabau sendiri merupakan sebuah sistem sosio-kultural yang digunakan oleh
masyarakatnya, asal muasal penyebutan minangkabau memiliki beberapa versi yang tersebar
di masyarakat, yang pertama bersumber dari mitologi atau tambo suku minangkabau yang
menjelaskan bahwa minangkabau berasal dari kata Manang (menang) Kabau (kerbau) yakni
peristiwa adu kerbau antara orang minang dengan orang jawa, lebih tepatnya antara kerajaan
pagaruyung dengan kerajaan majapahit yang pada akhirnya dimenangkan oleh orang
minangkabau, sumber kedua berasal dari seorang ahli yang bernama Van Der Tuek yang
menyebutkan bahwa minangkabau berasal dari kata Phinang Kabau yang bermakna sebuah
wilayah yang pertama kali ditempati oleh suku minangkabau sebelum menyebar ke daerah
lainnya (Etmi Hardi:2020). Terlepas dari asal-usul penyebutan nama tersebut minangkabau
sudah ada sejak abad 14 M dan telah lebih dahulu dikenal jauh sebelum negara Indonesia
terbentuk atau bahkan nama Sumatera Barat ada, beberapa topik mengenai minangkabau
seperti asal-usul suku minangkabau, sistem kekerabatan, sistem sosial dan kesenian
minangkabau sangat menarik untuk dibahas bersama, pada kesempatan kali ini saya akan
membahas mengenai asal-usul manusia minangkabau dari perspektif tambo minangkabau.
Menurut Tambo
Tambo adalah sebuah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah yang berkaitan dengan
asal-usul nenek moyang di bumi minangkabau. Seperti yang dikisahkan dalam tambo berikut:
"Pada mulanya (sabar mulo) hanya ada Nur Muhammad, yang dengan itu Allah
menciptakan alam semesta dan manusia pertama. Dalam kesatuan universal dan transendental
ini maka muncullah Alam Minangkabau, salah satu dari tiga alam (dunia); dua yang lainnya
adalah "Benua Ruhum" (Romawi) dan Cina, Alam Minangkabau bermula katika nenek
moyang pertama mendarat di puncak Gunung Merapi yang masih dikelilingi air bah. Sejarah
Minangkabau dengan demikian sudah dimulai ketika Gunung Merapi masih sebesar "telorItik", sebelum air bah menyusut, sebelum permukaan bumi mulai tampak membentang luas,
sebelum keturunan berkembang biak. Begitulah ketika air bah menyusut dengan nenek
moyang turun ke lereng Gunung Merapi, dimana pemukiman pertama dibangun. Keturunan
mulai berkembang biak dan menyebar (ke nagari-nagari di Luhak Nan Tigo" (Sango Tt. Basa
Batuah, 1954).
belum dapat dipastikan kebenaran mengenai isi tambo tersebut, namun demikian masihlah
orang-orang suku minangkabau menganggap bahwa tambo tersebut dapat dipakai, sebab
merupakan hasil pemikiran para cadiak pandai yang dulu-dulu. selain tambo tersebut terdapat
versi cerita dari tambo lain yang mungkin lebih terperinci sehingga dapat diterima dan
dipahami masyarakat masa kini, kurang lebih isi tambo tersebut sebagai berikut:
Dikisahkan bahwa dahulu di zaman nabi Nuh terjadi banjir bah yang amat dahsyat hingga
dikatakan sebagai sebuah kiamat kecil, nabi Nuh membangun sebuah kapal yang sangat besar
hingga dapat menampung para pengikutnya serta berbagai jenis hewan yang
berpasang-pasangan. Kapal tersebut berlayar sangat lama hingga mendarat di sebuah gunung
bernama gunung ararat di tanah syam, para pengikut tersebut kemudian turun gunung untuk
mencari tempat bermukim, ada yang pergi ke India, China terus ke Jepang, ada yang ke Asia
Tengah terus ke Barat Eropa, lalu ada yang sampai di Kaukasus lalu pergi ke suatu tanah yang
nantinya bernama Indonesia ini.
Orang-orang yang tinggal di tanah itu mulanya tidak tahu cara membangun rumah dan
berladang, hingga datang orang dari tanah India yang disebut sebagai “orang hindu” mereka
mengajarkan bagaimana cara berladang dan bersawah. Mulai dari sanalah mereka mulai
mencari tanah untuk dibangun perumahan di atas bukit yang disebut sebagai “taratak”, sawah,
padang untuk menggembala ternak serta untuk perkuburan. karena wilayah yang tidak
mencukupi itu sebagian memilih untuk pindah mencari tempat yang baru untuk dihuni, orang
yang memimpin rombongan tersebut pindah diberi gelar “orang tua”. Tanah yang mereka
tempati diberi batas-batas wilayah dengan batu yang kemudian disebut sebagai pasupadan
(batu batas) tanah tersebut disebut “dusun”, semakin banyak taratak dan dusun lain terbentuk
yang tiap-tiapnya diberi sampadannya, biasanya punggung-punggung bukit dan aliran air
dijadikan sampadannya tanah tersebut. Maka mulailah mereka saling tolong-menolong antar
kaum dan yang berlalikan darah dalam membuat sawah, yang pandai menukang dan kuat
tenaganya mengangkut kayu serta bahan bangunan saling membantu untuk membangun
rumah, sehingga tiada dari mereka yang tidak memiliki rumah. Saat rumah telah didirikan
maka dipanggillah orang tua-tua dan tetua adat dan dijadikanlah rumah tersebut menjadirumah adat, tempat melangsungkan pekerjaan adat sehingga tidak boleh dijual. Saat dusun
tersebut telah berkembang dan teratur maka bernamalah “Koto”.
Bagian selanjutnya sedikit banyak berkenaan dengan apa yang dikisahkan oleh tambo
sebelumnya, yaitu mengenai pembentukan luhak. Dikisahkan terdapat tiga anak raja dari
tanah hindu yang bepergian mencari wilayah jajahan, anak yang pertama bernama Sri
maharaja Dapeng pergi ke wilayah sebelah timur yakni benua china dan jepang, yang kedua
bernama Sri maharaja Alif bepergian ke sebelah barat yakni benua Rum, dan yang terakhir
bernama Sri maharaja diraja(ta) yang bepergian ke arah matahari terbit. Sri maharaja diraja
inilah yang akan tiba nanti di tanah minangkabau.
Sri maharaja diraja ditemani lima istrinya dan para pengikutnya yang sebagian dari mereka
bergelar ceti-ceti pandai, dikisahkan dalam sebuah tambo bahwa berbagai macam perangai
dan sikap yang dimiliki istri-istri Sri maharaja diraja itu. Seorang disebut sebagai “anak raja”
karena madeso, pemilih orangnya terutama dalam hal makanan, amat sopan santun
kelakuannya bahkan pada Sri maharaja sekalipun, seorang disebut sebagai “Harimau Campo”
bagak dan pemarah sikapnya bahkan pada Sri maharaja sekalipun, seoran disebut sebagai
“Kambing Hutan” sebab suka ber ulam-ulam daun kayu dan makan daun sirih, seorang
disebut sebagai “Kucing Siam” sebab suka berjemur di panasan dan suka dekat-dekat pada Sri
maharaja, dan seorang lagi disebut sebagai “Anjing Yang Mualim” sebab suka menyalak
(berkehendak) ini itu dan suka merengut bahkan pada Sri maharaja sekalipun.
Berlayarlah mereka beberapa waktu, saat tiba di Pulau Andalas, Pulau Perca tergores oleh
karang hingga ruak perahu mereka, maka ber mufakatlah Sri maharaja dan para pengikut ceti
pandai yang ada di kapal itu hingga bertitahlah yang berdaulat sebagai berikut: "Apabila baik
perahu ini kembali semula, maka barang siapa yang mengepalai pekerjaan itu akan kuambil
jadi menantuku." Setelah baik kembali perahunya di lanjutkanlah pelayaran hingga tiba di
tepian dan mendaratlah mereka di sana untuk mencari perkampungan, suatu hari setelah lama
mencari Sri maharaja dan rombongannya melihat api di punggung Marapi yang menjadi
pertanda adanya sebuah perkampungan dan benarlah adanya. Sri maharaja beserta
rombongannya bergaul dengan orang-orang yang ada di sana, mereka disenangi sebab pandai
dalam memberikan petunjuk-petunjuk yang mengarah pada kebaikan sehingga aman dan
teraturlah dusun tersebut. Menurut cerita dusun tersebut berada di Pariangan.
Di dusun tersebut terdapat tiga sumur yang disebut juga “luhak” sebagai tempat pengambilan
air minum dan tempat mandi. Sebuah terletak di tempat yang datar dinamakan luhak Tanah
Datar, sebuah lagi dinamakan luhak Agam karena banyak tumbuhan Agam yang tumbuh di
dekatnya dan satu lagi yang airnya jernih terletak di bawah batu-batuan,ketiga sumur tersebutbersumber pada satu tempat yang dinamakan Labuhan sitambago. Ketiga nama sumur
tersebut yang menjadi nama Luhak yang ada di nagari itu.
Tak berapa lama lahirlah lima orang anak dari masing-masing istri Sri Maharaja, anak
tersebut yang nantinya akan dinikahkan setelah akil baligh dengan ceti pandai yang telah
memperbaiki perahu rusak dahulu sebagaimana janji yang ada pada titah raja. Semakin
banyaknya orang pada wilayah tersebut membuat Sri Maharaja, ceti pandai dan orang orang
setempat bermufakat hendak mencari tempat untuk pindah serta mendirikan taratak baru yang
nantinya akan menjadi dusun, dusun-dusun itu berkembang menjadi kota dan menjadi Nagari.
pembagiannya sebagai berikut ini:
1. Anak dari istri sebagai “harimau campo” beserta orang-orang yang bersumur di luhak
Agam turun kebalik Gunung Merapi, mencari dusun dan tempat tinggal. Mereka
bergaul dengan orang-orang ada di situ, tempat tersebut dinamakan luhak Agam.
2. Kemudian anak dari istri sebagai “ kambing hutan” beserta suaminya dan lima puluh
orang pengikutnya berpindah arah ke Hilir ke balik gunung Sago di antara lima puluh
orang tersebut, lima diantaranya pergi ke Bengkinang membuat Nagari bernama
“Limo Koto”. Daerah yang ditempati dari sisa lima puluh orang tersebut dinamakan
luhak Lima Puluah, sebab mereka berjumlah lima puluh orang pada mulanya.
3. Yang ketiga anak dari istri “ sebagai anjing yang Mualim” beserta suami dan
pengikutnya turun ke selatan, ke daerah yang dinamakan Kubang tigo baleh sebab ada
13 Dusun dan Koto di dalamnya.
4. Yang yang ke-4 anak si “kucing siam” beserta suami dan pengikutnya pindah ke
Tanjuang lasi.
5. Yang terakhir adalah anak si “ Anak Rajo” yang tetap tinggal di tempat tersebut dan
dinamakan luhak Tanah Datar, luhak tersebut yang akan mengatur dusun dan kota di
sebelah selatan Gunung Merapi, luhak tanah datar inilah yang disebut sebagai luhak
nan tuo.
Kisah dari tambo di atas saya pahami sebuah buku yang berjudul Tambo Minangkabau karya
Ahmad DT Batuah dan Ahmad DT Mandjoindo. Dari kedua tambo tersebut adalah sama
maksud yang ingin disampaikannya mengenai asal usul nenek moyang suku minangkabau,
berbeda kisah menurut tambo, berbeda pula kisah menurut sejarah. jika sejarah mencari asal
usul dari nenek moyang suku minangkabau menurut ras dan penyebarannya hingga sampai ke
wilayah sekarang ini, lengkap dengan tahun terjadinya peristiwa tersebut. Tidak dengan
tambo, meskipun tidak memiliki tahun dalam menyampaikan setiap peristiwa yang terjadi di
dalamnya namun tambo merupakan tulisan yang amat sakral dan penting bagi masyarakatminangkabau, sehingga tidak sembarang orang dapat membacanya. Tambo-tambo tersebut
disimpan oleh tetua adat di tiap-tiap nagarinya, sehingga hanya kerabat dekatnya sajalah yang
dapat membaca tambo-tambo tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H