Mohon tunggu...
Aini Nurlatipa
Aini Nurlatipa Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa S1 Sastra Indonesia Universitas Andalas

menulis itu... Menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Minagkabau Menurut Tambo

23 April 2024   12:35 Diperbarui: 23 April 2024   12:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika disebutkan nama-nama suku yang terkenal di Indonesia pastilah suku minangkabau

menjadi salah satu yang menempati urutan teratas, memang sedemikian terkenalnya suku

minangkabau ini baik melalui adat istiadatnya, sistem sosialnya atau bahkan tokoh-tokoh

penting dari minangkabau yang ikut dalam membangun negeri Indonesia ini. Penyebutan

minangkabau sebagai sebuah etnik yang mendiami wilayah pesisir Barat Sumatera banyak

digunakan masyarakat saat ini baik dari luar suku minangkabau atau oleh suku minangkabau

itu sendiri, penyebutan ini tidak dapat dikatakan salah namun masih keliru karena penyebutan

ini lebih menjurus pada nama wilayah yang kita kenal sekarang sebagai sumatra barat.

Minangkabau sendiri merupakan sebuah sistem sosio-kultural yang digunakan oleh

masyarakatnya, asal muasal penyebutan minangkabau memiliki beberapa versi yang tersebar

di masyarakat, yang pertama bersumber dari mitologi atau tambo suku minangkabau yang

menjelaskan bahwa minangkabau berasal dari kata Manang (menang) Kabau (kerbau) yakni

peristiwa adu kerbau antara orang minang dengan orang jawa, lebih tepatnya antara kerajaan

pagaruyung dengan kerajaan majapahit yang pada akhirnya dimenangkan oleh orang

minangkabau, sumber kedua berasal dari seorang ahli yang bernama Van Der Tuek yang

menyebutkan bahwa minangkabau berasal dari kata Phinang Kabau yang bermakna sebuah

wilayah yang pertama kali ditempati oleh suku minangkabau sebelum menyebar ke daerah

lainnya (Etmi Hardi:2020). Terlepas dari asal-usul penyebutan nama tersebut minangkabau

sudah ada sejak abad 14 M dan telah lebih dahulu dikenal jauh sebelum negara Indonesia

terbentuk atau bahkan nama Sumatera Barat ada, beberapa topik mengenai minangkabau

seperti asal-usul suku minangkabau, sistem kekerabatan, sistem sosial dan kesenian

minangkabau sangat menarik untuk dibahas bersama, pada kesempatan kali ini saya akan

membahas mengenai asal-usul manusia minangkabau dari perspektif tambo minangkabau.

Menurut Tambo

Tambo adalah sebuah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah yang berkaitan dengan

asal-usul nenek moyang di bumi minangkabau. Seperti yang dikisahkan dalam tambo berikut:

"Pada mulanya (sabar mulo) hanya ada Nur Muhammad, yang dengan itu Allah

menciptakan alam semesta dan manusia pertama. Dalam kesatuan universal dan transendental

ini maka muncullah Alam Minangkabau, salah satu dari tiga alam (dunia); dua yang lainnya

adalah "Benua Ruhum" (Romawi) dan Cina, Alam Minangkabau bermula katika nenek

moyang pertama mendarat di puncak Gunung Merapi yang masih dikelilingi air bah. Sejarah

Minangkabau dengan demikian sudah dimulai ketika Gunung Merapi masih sebesar "telorItik", sebelum air bah menyusut, sebelum permukaan bumi mulai tampak membentang luas,

sebelum keturunan berkembang biak. Begitulah ketika air bah menyusut dengan nenek

moyang turun ke lereng Gunung Merapi, dimana pemukiman pertama dibangun. Keturunan

mulai berkembang biak dan menyebar (ke nagari-nagari di Luhak Nan Tigo" (Sango Tt. Basa

Batuah, 1954).

belum dapat dipastikan kebenaran mengenai isi tambo tersebut, namun demikian masihlah

orang-orang suku minangkabau menganggap bahwa tambo tersebut dapat dipakai, sebab

merupakan hasil pemikiran para cadiak pandai yang dulu-dulu. selain tambo tersebut terdapat

versi cerita dari tambo lain yang mungkin lebih terperinci sehingga dapat diterima dan

dipahami masyarakat masa kini, kurang lebih isi tambo tersebut sebagai berikut:

Dikisahkan bahwa dahulu di zaman nabi Nuh terjadi banjir bah yang amat dahsyat hingga

dikatakan sebagai sebuah kiamat kecil, nabi Nuh membangun sebuah kapal yang sangat besar

hingga dapat menampung para pengikutnya serta berbagai jenis hewan yang

berpasang-pasangan. Kapal tersebut berlayar sangat lama hingga mendarat di sebuah gunung

bernama gunung ararat di tanah syam, para pengikut tersebut kemudian turun gunung untuk

mencari tempat bermukim, ada yang pergi ke India, China terus ke Jepang, ada yang ke Asia

Tengah terus ke Barat Eropa, lalu ada yang sampai di Kaukasus lalu pergi ke suatu tanah yang

nantinya bernama Indonesia ini.

Orang-orang yang tinggal di tanah itu mulanya tidak tahu cara membangun rumah dan

berladang, hingga datang orang dari tanah India yang disebut sebagai “orang hindu” mereka

mengajarkan bagaimana cara berladang dan bersawah. Mulai dari sanalah mereka mulai

mencari tanah untuk dibangun perumahan di atas bukit yang disebut sebagai “taratak”, sawah,

padang untuk menggembala ternak serta untuk perkuburan. karena wilayah yang tidak

mencukupi itu sebagian memilih untuk pindah mencari tempat yang baru untuk dihuni, orang

yang memimpin rombongan tersebut pindah diberi gelar “orang tua”. Tanah yang mereka

tempati diberi batas-batas wilayah dengan batu yang kemudian disebut sebagai pasupadan

(batu batas) tanah tersebut disebut “dusun”, semakin banyak taratak dan dusun lain terbentuk

yang tiap-tiapnya diberi sampadannya, biasanya punggung-punggung bukit dan aliran air

dijadikan sampadannya tanah tersebut. Maka mulailah mereka saling tolong-menolong antar

kaum dan yang berlalikan darah dalam membuat sawah, yang pandai menukang dan kuat

tenaganya mengangkut kayu serta bahan bangunan saling membantu untuk membangun

rumah, sehingga tiada dari mereka yang tidak memiliki rumah. Saat rumah telah didirikan

maka dipanggillah orang tua-tua dan tetua adat dan dijadikanlah rumah tersebut menjadirumah adat, tempat melangsungkan pekerjaan adat sehingga tidak boleh dijual. Saat dusun

tersebut telah berkembang dan teratur maka bernamalah “Koto”.

Bagian selanjutnya sedikit banyak berkenaan dengan apa yang dikisahkan oleh tambo

sebelumnya, yaitu mengenai pembentukan luhak. Dikisahkan terdapat tiga anak raja dari

tanah hindu yang bepergian mencari wilayah jajahan, anak yang pertama bernama Sri

maharaja Dapeng pergi ke wilayah sebelah timur yakni benua china dan jepang, yang kedua

bernama Sri maharaja Alif bepergian ke sebelah barat yakni benua Rum, dan yang terakhir

bernama Sri maharaja diraja(ta) yang bepergian ke arah matahari terbit. Sri maharaja diraja

inilah yang akan tiba nanti di tanah minangkabau.

Sri maharaja diraja ditemani lima istrinya dan para pengikutnya yang sebagian dari mereka

bergelar ceti-ceti pandai, dikisahkan dalam sebuah tambo bahwa berbagai macam perangai

dan sikap yang dimiliki istri-istri Sri maharaja diraja itu. Seorang disebut sebagai “anak raja”

karena madeso, pemilih orangnya terutama dalam hal makanan, amat sopan santun

kelakuannya bahkan pada Sri maharaja sekalipun, seorang disebut sebagai “Harimau Campo”

bagak dan pemarah sikapnya bahkan pada Sri maharaja sekalipun, seoran disebut sebagai

“Kambing Hutan” sebab suka ber ulam-ulam daun kayu dan makan daun sirih, seorang

disebut sebagai “Kucing Siam” sebab suka berjemur di panasan dan suka dekat-dekat pada Sri

maharaja, dan seorang lagi disebut sebagai “Anjing Yang Mualim” sebab suka menyalak

(berkehendak) ini itu dan suka merengut bahkan pada Sri maharaja sekalipun.

Berlayarlah mereka beberapa waktu, saat tiba di Pulau Andalas, Pulau Perca tergores oleh

karang hingga ruak perahu mereka, maka ber mufakatlah Sri maharaja dan para pengikut ceti

pandai yang ada di kapal itu hingga bertitahlah yang berdaulat sebagai berikut: "Apabila baik

perahu ini kembali semula, maka barang siapa yang mengepalai pekerjaan itu akan kuambil

jadi menantuku." Setelah baik kembali perahunya di lanjutkanlah pelayaran hingga tiba di

tepian dan mendaratlah mereka di sana untuk mencari perkampungan, suatu hari setelah lama

mencari Sri maharaja dan rombongannya melihat api di punggung Marapi yang menjadi

pertanda adanya sebuah perkampungan dan benarlah adanya. Sri maharaja beserta

rombongannya bergaul dengan orang-orang yang ada di sana, mereka disenangi sebab pandai

dalam memberikan petunjuk-petunjuk yang mengarah pada kebaikan sehingga aman dan

teraturlah dusun tersebut. Menurut cerita dusun tersebut berada di Pariangan.

Di dusun tersebut terdapat tiga sumur yang disebut juga “luhak” sebagai tempat pengambilan

air minum dan tempat mandi. Sebuah terletak di tempat yang datar dinamakan luhak Tanah

Datar, sebuah lagi dinamakan luhak Agam karena banyak tumbuhan Agam yang tumbuh di

dekatnya dan satu lagi yang airnya jernih terletak di bawah batu-batuan,ketiga sumur tersebutbersumber pada satu tempat yang dinamakan Labuhan sitambago. Ketiga nama sumur

tersebut yang menjadi nama Luhak yang ada di nagari itu.

Tak berapa lama lahirlah lima orang anak dari masing-masing istri Sri Maharaja, anak

tersebut yang nantinya akan dinikahkan setelah akil baligh dengan ceti pandai yang telah

memperbaiki perahu rusak dahulu sebagaimana janji yang ada pada titah raja. Semakin

banyaknya orang pada wilayah tersebut membuat Sri Maharaja, ceti pandai dan orang orang

setempat bermufakat hendak mencari tempat untuk pindah serta mendirikan taratak baru yang

nantinya akan menjadi dusun, dusun-dusun itu berkembang menjadi kota dan menjadi Nagari.

pembagiannya sebagai berikut ini:

1. Anak dari istri sebagai “harimau campo” beserta orang-orang yang bersumur di luhak

Agam turun kebalik Gunung Merapi, mencari dusun dan tempat tinggal. Mereka

bergaul dengan orang-orang ada di situ, tempat tersebut dinamakan luhak Agam.

2. Kemudian anak dari istri sebagai “ kambing hutan” beserta suaminya dan lima puluh

orang pengikutnya berpindah arah ke Hilir ke balik gunung Sago di antara lima puluh

orang tersebut, lima diantaranya pergi ke Bengkinang membuat Nagari bernama

“Limo Koto”. Daerah yang ditempati dari sisa lima puluh orang tersebut dinamakan

luhak Lima Puluah, sebab mereka berjumlah lima puluh orang pada mulanya.

3. Yang ketiga anak dari istri “ sebagai anjing yang Mualim” beserta suami dan

pengikutnya turun ke selatan, ke daerah yang dinamakan Kubang tigo baleh sebab ada

13 Dusun dan Koto di dalamnya.

4. Yang yang ke-4 anak si “kucing siam” beserta suami dan pengikutnya pindah ke

Tanjuang lasi.

5. Yang terakhir adalah anak si “ Anak Rajo” yang tetap tinggal di tempat tersebut dan

dinamakan luhak Tanah Datar, luhak tersebut yang akan mengatur dusun dan kota di

sebelah selatan Gunung Merapi, luhak tanah datar inilah yang disebut sebagai luhak

nan tuo.

Kisah dari tambo di atas saya pahami sebuah buku yang berjudul Tambo Minangkabau karya

Ahmad DT Batuah dan Ahmad DT Mandjoindo. Dari kedua tambo tersebut adalah sama

maksud yang ingin disampaikannya mengenai asal usul nenek moyang suku minangkabau,

berbeda kisah menurut tambo, berbeda pula kisah menurut sejarah. jika sejarah mencari asal

usul dari nenek moyang suku minangkabau menurut ras dan penyebarannya hingga sampai ke

wilayah sekarang ini, lengkap dengan tahun terjadinya peristiwa tersebut. Tidak dengan

tambo, meskipun tidak memiliki tahun dalam menyampaikan setiap peristiwa yang terjadi di

dalamnya namun tambo merupakan tulisan yang amat sakral dan penting bagi masyarakatminangkabau, sehingga tidak sembarang orang dapat membacanya. Tambo-tambo tersebut

disimpan oleh tetua adat di tiap-tiap nagarinya, sehingga hanya kerabat dekatnya sajalah yang

dapat membaca tambo-tambo tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun