"Kalo kamu udah minta, aku bisa apa" aku hanya mengangguk pasrah. Arina tersenyum atas kemenangannya.
Pagi yang cerah tanggal 29 Agustus. Hari ini aku berangkat pagi-pagi menuju rumah sakit sesuai permintaan Arina. Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju kamar tempat Arina dirawat. Â Arina sudah siap ketika aku datang. Hari ini dia terlihat manis dengan gamis berwarna kuning yang lembut. "Kamu udah boleh keluar dari rumah sakit rin?" tanyaku. "Belum, kamu sendiri kan yang bilang kalo aku udah minta, orang lain bisa apa?" ujarnya dengan senyum jahil. "Ayo berangkat" kata Arina lagi.
Kami pergi didampingi oleh mang Karta, supir keluarga Arina. Mobil melaju menuju Jakarta Pusat. Aku kira Arina akan membawaku ke Monas atau ke Kota Tua, tapi ternyata dia membawaku ke Masjid Istiqlal. "Kita udah sampai di tujuan utama, aku mau shalat dhuha disini, kamu juga ya az!". Kami turun dari mobil, dan mulai memasuki masjid. Aku meminta seorang ibu untuk menjaga Arina karena aku tidak mungkin masuk ke area perempuan.
Hampir setengah hari kami habiskan di dalam masjid. Aku benar-benar kagum pada Arina. Selesai shalat dzuhur baru kami meninggalkan masjid. Aku tidak tau kemana lagi Arina membawaku, yang pasti aku senang bisa menemaninya seharian hari ini. Mobil memasuki kawasan Jakarta kota. Ternyata tujuan berikutnya adalah sebuah cafe tempat kami biasa makan es krim. Â Pesanan kami sudah datang tapi belum sempat es krim itu masuk ke mulutku tiba-tiba aku melihat darah segar keluar dari hidung Arina, sejurus kemudian dia tak sadarkan diri.
***
"Arina Kritis, bersiaplah untuk kemungkinan terburuk. Karena sampai saat ini kami belum mendapatkan donor sum-sum tulang belakang yang cocok untuk Arina". Pernyataan dokter barusan seperti petir yang menyambar-nyambar di telingaku. Aku sungguh terkejut, rasanya seperti tak ada tulang yang menyangga tubuhku. Aku merasa bersalah, harusnya aku memaksa Arina untuk tetap di rumah sakit. "Om, tante, maafin Azka ya gara-gara aku Arina kritis".
"Azka, kamu nggak salah nak, siapa sih yang bisa menolak permintaan Arina? Nggak ada, tante juga sudah memohon pada Arina untuk tetap berada di rumah sakit, tapi dia bilang dia mau di saat-saat terakhirnya menghabiskan waktu bersama kamu. Arina bilang dia hanya butuh 24 jam bersamamu untuk menebus rasa rindunya selama empat tahun terakhir ini nak" begitu yang diucapkan bundanya Arina kepadaku. 24 jam bersamaku, aku bahkan baru menemaninya kurang dari dua belas jam hari ini. Arina bangunlah, akan aku tebus 24 jam itu ketika kau bangun.
***
Sudah tiga hari Arina tertidur, matanya tak pernah terpejam selama itu sebelumnya. Ya Allah bangunkan dia sebentar saja, aku ingin melunasi 24 jam yang dia minta. Jika keadaan ini terlalu menyakitkan untuknya berikan dia yang terbaik Ya Allah. Bila kembali kepadamu adalah yang terbaik baginya maka jemputlah dia dengan cara yang indah, tapi jika dia akan kembali pada kami maka angkatlah penyakitnya, bangunkan dia Ya Allah tuhanku yang maha memberi kesembuhan.
"Dokteer...dokteeeer..." aku mendengar tante Vira, bundanya Arina berteriak memanggil dokter, aku yang berada di luar ruangan berlari masuk mencari tahu apa yang terjadi. "Tante, kenapa tante teriak-teriak?" tanyaku dengan cemas. "Ta..tang..tangan Arina bergerak az.. tadi tangannya bergerak" jawab Tante Vira dengan suara gemetar. Tak banyak pikir aku berlari memanggil dokter.
Arina siuman. Allah mendengar doaku. Semua orang menangis di ruangan itu, mereka terlalu bahagia Arina membuka matanya lagi. "Hei, kalian kenapa? Aku tidur lama banget ya? Maaf ya.." ucap Arina lirih. "Sayang, kamu jangan banyak ngomong dulu ya, istirahat aja" kata tante Vira. Arina melihat ke arahku, aku berpaling untuk menyeka air mataku. "ckck apa-apaan ini masa atlet taekwondo nangis, malu sama sabuk az!" suaranya masih lemah, tapi senyumnya membuat aku merasa dia memang sudah membaik.