"Aiishhh!!!! Empat tahun di korea kayaknya bikin kamu ketularan gombal ya, jangan-jangan kebanyakan nonton drama korea" kata Arina sambil mendecakkan lidahnya.
"Arina, kamu sudah buka puasa belum?" tanyaku. "Sudah, tapi baru makan makanan ringan sih, sebelum pulang kita makan dulu yuk!". Aku mengangguk setuju. Kami makan di sebuah restoran dekat bandara. Kita tidak makan berdua, tetapi supir yang mengantar Arina juga ikut bergabung dengn kami karena Arina keberatan jika hanya berduaan denganku. Dia benar-benar berbeda dengan Arina yang dulu.
***
Satu setengah jam kemudian aku tiba di rumah. Seluruh keluarga menyambutku dengan hangat. Orang tua Arina juga terlihat hadir di rumahku. Belum sempat aku duduk,adik-adikku menyerbu meminta oleh-oleh dariku. Dasar anak-anak.
Hari beranjak malam, beberapa anggota keluarga sudah pulang begitu juga dengan Arina dan orang tuanya. Aku juga sudah merasa lelah untuk itu aku segera pergi tidur karena aku harus bangun lagi untuk sahur besok pagi. Paginya setelah sahur dan shalat subuh aku berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah. Banyak juga yang berubah, beberapa tetanggaku sudah ada yang pindah dan kini rumahnya dihuni oleh orang baru.
Siang ini aku dan keluargaku akan pergi keluar untuk jalan-jalan rencananya kami akan pergi ke salah satu mall di jakarta. Aku mengajak Arina pergi bersama aku dan keluargaku, tapi ia menolaknya karena ada kepentingan lain. Semalam Arina bercerita padaku kalau sekarang ia adalah salah satu pengurus lembaga dakwah di kampusnya. Sungguh sulit ku percaya Arina yang dulu sibuk memikirkan dirinya sendiri kini sudah berubah.
***
Ramadhan berlalu, itu artinya sudah sebulan lebih aku di Jakarta tapi aku belum juga sempat keluar bersama Arina, beberapa hari yang lalu aku mengajaknya pergi bersama Irsyad dan Andra sahabat kami tapi dia tidak bisa karena harus menghadiri pelatihan dan halal bil halal bersama organisasinya. Arina sangat sibuk sekarang, dia juga jarang sekali mengangkat teleponku.
Hari ini aku berencana main kerumah Arina. Aku kesana dengan motorku yang sudah lama tidak aku gunakan. Sesampainya di sana aku tidak melihat ada orang di rumah Arina, sepi sekali. Tiga kali aku mengucap salam tak juga ada jawaban. Kebetulan ada seorang tetangga yang lewat, aku bertanya padanya kemana Arina dan keluarganya pergi dan aku cukup kaget mendengar jawabannya.
Aku segera menuju ke tempat yang baru saja disebutkan oleh tetangga Arina, Rumah Sakit Kanker. Jantungku berdegup tak beraturan dalam hati aku berdoa semoga bukan Arina atau keluarganya yang sakit, semoga mereka hanya menjenguk kerabat mereka. Aku bertanya pada bagian resepsionis apakah ada pasien bernama Arina Qurratu'ain dan lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh jawaban suster itu.
Dihadapanku sebuah pintu berwarna pucat, tertulis nama Arina disana. Mendadak tubuhku lemas, tapi Arina tidak boleh melihatku seperti ini. Aku memberanikan diri melangkah masuk, mencoba melihat Arina sama dengan yang lainnya.