Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Horor

Jangan Bermain-Main Denganku

18 Januari 2025   11:27 Diperbarui: 18 Januari 2025   11:27 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah kalian percaya dengan ilmu hitam? Aku tidak! Ada tiga cabang ilmu hitam, yaitu  pelet, pesugihan dan santet. Pelet adalah ilmu hitam untuk mendapatkan lawan jenis yang kita sukai, pesugihan untuk mendapatkan kekayaan dan santet untuk membunuh orang yang kita inginkan. Semua itu cara untuk memecahkan teka-teki yang berakhir pada momen kekaguman dan keheranan.

Namun aku  cukup penasaran dengan jelangkung. Boneka dari batok kelapa itu konon bisa memanggil hantu Beberapa teman bercerita bisa mendatangkan jelangkung dan bermain-main dengannya.. Bermain memang selalu menyenangkan, tapi bermain-main dengan hantu? Kita tak akan pernah tahu sensasinya jika belum mencobanya.

Rasa penasaranku disambut baik oleh Iral, Wasto dan Bagas. Mereka teman sekelasku di SMA. Wasto yang paling bersemangat selain karena bapaknya adalah 'orang pintar', kabarnya ia berteman baik dengan segala hantu. Maka kami sepakat mengangkatnya menjadi ketua regu. Kami bertiga nurut apa yang diperintahkannya.

"Besok malam purnama, jam dua belas malam kurang sedikit kita sudah harus sampai di gedung itu. Tahu kan tempatnya? Di seberang dealer sepeda motor. Di depannya ada pagar teralis besi yang sudah karatan. Kita menerobos saja masuk ke dalam.  Pintu pagarnya tidak pernah dikunci. Sudah karatan. Di sebelah gedung itu ada lapangan. Dulu sering dibuat anak-anak main sepakbola. Setelah ada yang kesurupan, kejang-kejang, sekarang tidak pernah ada yang main sepakbola disana. Kemarin aku sudah survey ke sana, rumputnya tinggi-tinggi. Jadi siap dengan obat oles anti nyamuk atau pakai jaket saja. " Wasto memberi briefing.

Aku mengenal tempat itu karena setiap berangkat sekolah pasti melewatinya. Gedung itu dulunya gudang penyimpanan kayu. Di sebelahnya ada lapangan seluas setengah lapangan sepakbola, dulunya digunakan untuk menjemur kayu-kayu yang sudah digergaji.

Entah sejak kapan gedung itu dibiarkan terbengkalai. Jika siang hari penampakannya biasa saja seperti halnya bangunan tak bertuan lainnya. Namun jika malam hari konon banyak penampakan hantu disana. Ada yang pernah melihat semacam kuntilanak,genderuwo atau pun pocong.

"Memang harus di situ, To? Tidak ada tempat lain? Di sekolah kita ini misalnya. Dirman katanya pernah main jailangkung di kelas IPA 3 saat jam kosong," tawarku.

"Kalau itu sih jelangkungnya yang ecek-ecek, semacam prajurit yang pangkatnya kopral. Kalau di tempat angker kita akan ketemu dengan jelangkung yang pangkatnya tinggi. Ya selevel jenderal, begitu," jelas Wasto.

Meski tak begitu mengerti kami bertiga mengiyakan saja. Baru tahu kan kalau jelangkung pun ada pangkatnya.

 "Aku yang membawa boneka jelangkungnya. Ada di gudang rumahku. Nanti sekalian sedikit tanah kuburan bisa diambilkan bapakku. Iral membawa jajanan pasar atau gorengan, tujuh rupa. Bagas, kembang tujuh rupa. Helos bawa minuman seperti kopi pahit , kopi manis, teh pahit, teh manis, air putih tawar."

"Bagianku kok banyak?" protesku. Terbayang betapa repotnya membawa sekian banyak minuman itu.

"Iya banyak tapi kan semua sudah ada di rumah, tidak perlu ke pasar. Wasto! Memang kembangnya harus tujuh rupa begitu. Di rumahku ada anggrek, puring, janda bolong, janda kembang, duda keren. Apa gak bisa?" tawar Bagas.

"Ya harus itu. Kembangnya itu melati, mawar merah, mawar putih, kenanga, cempaka, sedap malam, kantil, gak boleh yang lain," jelas Wasto.

"Jelangkungnya itu cewek apa cowok sih? Kok maunya kembang?" tanya Iral.

"Hus jangan sembarangan. Kalau jelangkungnya dengar kita bisa dalam bahaya," kata Wasto.

Waduh! Kita kan cuma mau main-main.

"Besok itu malam Jum'at ya?" Iral bersuara lirih.

"Iya, pas malam bulan purnama. Afdol! Pasti berhasil ini!" ujar Wasto.

"Hari Jumat kita ada ulangan Fisika. Pak Arifin," kata Iral.

Apa? Ulangan fisika? Pak Arifin? Aduh! Fisika itu pelajaran horor. Apalagi gurunya yang seganteng Raffi Ahmad di masa tua itu. Beliau tidak pernah membiarkan siswanya melenggang pergi jika hasil ulangannya tidak memuaskan. Kami akan diajaknya mengulang sampai hasilnya bagus. Horor, kan.

Lagipula aku akan sulit meminta ijin untuk keluar rumah jika besoknya masih harus masuk sekolah. Umik pasti menentang, Abah pun tidak akan memberi ijin.

"Ganti hari saja. Sabtu malam Ahad," usulku.

Iral dan Bagas saling berpandangan sedangkan Wasto memelolotiku.

"Deal!" kata Iral dan Bagas serentak.

"Tidak bisa! Harus malam Jum'at!" sergah Wasto.

"Hantu kan tidak kenal hari, To. Baginya semua hari sama saja. Malam Jum'at, malam Sabtu atau malam Ahad sekalipun. Ia hanya hadir di malam hari. Lagipula ia tidak sekolah, tidak mikir ulangan," jelasku.

"Ya betul! jelangkung juga tidak kenal malam Minggu. Kan jomblo," tambah Bagas.

"Tau darimana jelangkung jomblo," Wasto mulai gusar jagoannya dipermainkan.

"Lha dia kan selalu bilang datang tak diundang, pulang tak diantar. Jadi dia bisa datang dan pergi sesuka hati. Coba kalau punya pasangan pasti datangnya dijemput, pulangnya diantar."

** enha **

Di hari yang telah ditentukan, kami bertemu di gedung itu pukul setengah dua belas. Hujan turun sejak awal malam menyisakan gerimis. Bulan sudah beranjak tua, cahayanya tak lagi terang sampai ke bumi. Sorot lampu jalanan hanya sedikit menerangi jalan, cahayanya berpendar lemah terhalang tetesan gerimis. Gedung di depanku tampak makin gelap. Seperti kotak hitam besar dengan bentuk segitiga di atasnya. Beberapa pohon besar di kanan kirinya tampak seperti penjaga hitam ,tinggi, besar dengan kepala berayun-ayun terkena angin.

Wasto yang membawa senter mengarahkan sinarnya dengan acak. Pantulan cahayanya mengenai beberfapa bagian gedung itu. Kadang di tembok, di pintu, di jendela juga di atap. Entah apa maksud Wasto melakukannya. Gedung ini tak berpenghuni. Harusnya ia menggunakan senternya untuk menerangi jalan.  Pantulan cahaya senternya malah membuat bayangan-bayangan aneh di gedung itu. Bulu kudukku meremang. Iral meremas lengan kiriku. Sedangkan bibir Bagus dari tadi tak berhenti 'ndremimil' seperti melantunkan doa yang tidak jelas kedengarannya. Hanya Wasto yang berjalan dengan gagah di depan. Tentu saja, ia kan berteman dengan segala jenis hantu.

Kami tiba si sisi gedung, di tempat yang sudah disiapkan oleh Wasto dan bapaknya. Di depan kami ada lapangan yang rimbun dengan semak-semak setinggi anak kecil. Tidak nampak apa pun, hanya gelap,. Namun aku merasa ada yang mengawasi, entah apa. Aku mengalihkan pandangan dari semak-semak meski  jiwa ini meronta-ronta ingin tahu.

Kami mengeluarkan semua barang yang sudah dibawa dari rumah. Wasto mengaturnya lalu meletakkan boneka jelangkung lengkap dengan pulpen dan kertasnya di tengah-tengah. Ia meminta kami tenang sambil menunggunya mengucap mantra untuk memanggil jelangkung.

Beberapa saat kami menunggu. Dari sudut mata dapat kulihat Wasto seperti kebingungan.

"Hel! Hel!" Wasto berbisik di telinga kiriku. "Kertasnya ketinggalan"

"Kertas apa?" tanyaku heran.

"Ajian memanggil jelangkung."

"Lha kamu gak hapal?" Setahuku mantra itu tak boleh ditulis di kertas. Harus dihapal di luar kepala.

"Gak!"

"Lha terus?"

"Kamu punya paketan?" Wajah Wasto tampak memelas. Sementara Iral dan Bagas memandang dengan pandangan entah. Aku mulai kesal.

Untungnya sinyal mendukung, tak perlu waktu lama untuk mencari manteranya. Wasto membaca mantera dengan keras dari hp, bunyinya begini :

"Hong Hiyang Ilaheng Hen Jagad Alusan Roh Gentayangan Ono'e Jelangkung Jaelengsat siro Wujud'e Ning kene Ono Bolon'e Siro Wangsul Angslupo Yen Siro Teko Gaib Wenehono Tondo Ing Golek Bubrah Hayo Enggalo Teko Pangundango Hayo Ndang Angslupo Ing Rupo Golek Wujud..Wujud..Wujud!"

Wasto membacanya tiga kali dengan suara keras. Kami menunggu reaksi dari jelangkung yang sedang dibaringkan di tengah-tengah lingkaran kami berempat. Tak ada reaksi

Kami berempat saling berpandangan. Wasto mengangsurkan hp kepadaku. Aku meniru Wasto, membaca mantera tiga kali dengan suara keras. Kemudian Iral dan terakhir Bagas. Jelangkung tetap bergeming.

"Sudah kubilang, hanya malam Jum'at yang bisa," kata Wasto.Ia berdiri lalu berjalan mondar mandir.

"Jian*** sudah habis banyak ternyata sia-sia." Iral berdiri dengan kesal.Diambilnya salah satu gorengan lalu memasukkan ke dalam mulut. "Enak! Daripada mubadzir."

Bagas ikutan makan juga. Wasto masih mondar-mandir, mungkin masih penasaran.

"Pulang, ayok pulang!" Kesal dan geram meliputiku. Sudah payah-payah kesini, berbohong kepada Umik pula.

"Kamu sih Hel, pake baca Bismillah segala, ya gak berhasil. Gatot. Gagal total!" kaki Wasto menyepak segala yang ada di depannya.

Enak saja Wasto ngomong begitu. Bismillah kan ucapan yang baik. Bisa jadi kegagalan ini karena ia tak menghapal manteranya.

"Nih kamu saja yang bawa Hel!" Wasto melempar boneka jelangkung kepadaku.

Hey! Belum sempat aku protes, mereka sudah kabur menuju sepeda motornya masing-masing. Duh, ribet betul buat apa membawa beginian pulang? Kubuang saja.

Sampai di rumah aku langsung masuk kamar. Malam sudah larut namun mata ini tak bisa merem, mungkin masih penasaran dengan kejadian barusan. Kuputuskan untuk keluar menuju ruang tengah untuk menonton televisi. Orang serumah sudah masuk kamar masing-masing. Aku bisa nonton bola atau apalah sesuka hati. Namun agaknya TV rusak berkali-kali ganti channel sendiri. Aku pencet nomor satu ganti jadi nomor sebelas. Mungkin remotenya yang soak ini. Sudahlah tidur saja.

** enha **

"Soleh! Soleh! Bangun!"

Suara gedoran di pintu memaksaku untuk bangun. Seandainya bukan suara Umik, aku bisa saja abai.

"Sudah berkali-kali Umik bilang jangan tidur selepas subuh. Bikin tubuh sakit,  gak sehat, lagian ngapain kamu pulang larut malam. Dicari temanmu tuh!"

Iya Umik. Apapun yang Umik bilang jangan membantah, makin panjang nantinya. Siapa pula yang mencariku pagi-pagi begini?

Di ruang tamu ternyata sudah ada beberapa orang. Iral, Bagas. Wasto dan bapaknya. Abah tengah berbincang dengan mereka. Ada apa?

"Helos, yang membawanya terakhir, Pak," Wasto menunjuk kepadaku.

Aku tak mengerti.

"Kamu bermain jelangkung semalam?" tanya Abah.

Aku mengangguk. Duh, ketahuan lagi bohongnya.

"Aku diikuti kuntilanak sampai di rumah. Mukanya serem. Entah terawa entah menangis, suaranya membuat telingaku sakit. Dia tak mau pergi, nangkring di atas lemariku sampai subuh tadi," kata Iral.

"Rumahku seperti dilempari batu sejak datang sampai subuh tadi. Suaranya gaduh tapi tidak ada penampakan. Mama ketakutan, Papa sedang dinas di luiar kota.. Kami tidak bisa tidur dengar suara-suara aneh itu. Hiiii!" Wajah Bagas tampak begidik ketika menceritakannya.

"Aku gatal-gatal terus. Kepala digaruk, gatalnya pindah ke tangan lalu ke kaki. Sudah dikasih obat gatal gak mempan juga.Sama, aku tidak bisa tidur juga" Wasto menunjukkan lengan dan kakinya yang bentol-bentol merah seperti terkena ulat bulu.

"Itu semua karena kalian memainkan mantra jelangkung!" kata bapaknya Wasto.

Benarkah?  Berarti hanya aku yang tidak diganggu. Sebentar, semalam aku juga berkali-kali terbangun, seperti ada yang mengguncang tempat tidurku. Tapi aku memilih tak peduli.

"Dimana sekarang boneka jelangkung itu?" Bapaknya Wasto memandangku tajam. Eh, sinis juga.

"Sudah kubuang!" jawabku mantap.

"Dimana?"

"Lupa"

:Waduh, harus dicari ini, Pak. Kalau tidak ketemu anak-anak akan terus diganggu," ucap  Bapaknya Wasto kepada Abah.

Abah menggut-manggut. "Kamu cari sana lalu bawalah kesini," titahnya.

Kami berrempat kembali ke gedung itu. Susah juga aku mengingat tempat dimana boneka jelangkung kubuang. Semalam asal saja kulempar. Lha wong tidak berguna.

"Helos! Wasto!" Iral berteriak sambil melambaikan tangan kepadaku yang tengah menunduk-nunduk mencari-cari di antara semak-semak.

"Itu! Itu!" Tangan Iral menunjuk ke arah sisi gedung tempat kami semalam berkumpul.

Astaga! Boneka jelangkung itu ada di situ. Teronggok persis di tempat Wasto meletakkannya semalam. Kok, bisa? Seingatku sudah kubuang. Sumpah!

Tidak ada yang berani mengambil boneka jelangkung itu. Wasto yang konon berteman dengan segala hantu pun tidak. Ia menelepon bapaknya.

Bapaknya Wasto datang bersama dengan Abah. Bapaknya Wasto mengambil boneka itu lalu membungkusnya dengan kain putih. Abah mengusulkan agar boneka itu dibakar saja.

Kami berenam menyaksikan boneka jelangkung itu dibakar. Anehnya abu bakarannya sedikit. Hanya dua jumput saja. Meskipun heran, aku pulang dengan perasaan lega. Kurasa teman-teman pun sama. Kami tak akan diganggu lagi. Ini terakhir kalinya kami bermain-main dengan jelangkung. Gagal? Tidak masalah!

Sampai di rumah aku langsung saja mandi. Gerah dan gatal-gatal juga karena blusukan di semak-semak tadi. Selesai mandi, aku membuka lemari untuk mengambil pakaian.

Astaga!  Betapa terkejutnya aku ketika ada bau sangit bekas bakaran menyeruak hidung dan ada sepasang mata mata menatapku tajam. Kepalanya terbuat dari batok kelapa dan badannya terlihat hangus sebagian.Sesaat kami saling menatap. Aku terdiam, jantung seakan berhenti berdetak.Aku kaget tapi tidak tahu harus ngapain.

"Kebiasaan! Jangan taruh handuk basah di tempat tidur! Soleh ....!"

Suara Umik lagi-lagi mengejutkanku. Sontak aku menoleh. Tampak wajah Umik berlipat, netranya mengkilat menampakkan bara di dalamnya. Tangannya membawa sothil yang nampak mengepulkan asap.

"Bereskan!" titahnya tegas.

Siap Umik!

Aku melirik ke arah lemari yang masih terbuka. Ia masih disana. Tak bergeming. Bisa apa ia? Hanya boneka. Menantangku? Katanya ia susah disuruh pergi. Ia akan menyusup ke dalam mimpi-mimpi dan merampok perasaan. Dasar penghianat! Tak akan kubiarkan. Aku tahu caranya membuatnya minggat. Bismillah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun