"Hong Hiyang Ilaheng Hen Jagad Alusan Roh Gentayangan Ono'e Jelangkung Jaelengsat siro Wujud'e Ning kene Ono Bolon'e Siro Wangsul Angslupo Yen Siro Teko Gaib Wenehono Tondo Ing Golek Bubrah Hayo Enggalo Teko Pangundango Hayo Ndang Angslupo Ing Rupo Golek Wujud..Wujud..Wujud!"
Wasto membacanya tiga kali dengan suara keras. Kami menunggu reaksi dari jelangkung yang sedang dibaringkan di tengah-tengah lingkaran kami berempat. Tak ada reaksi
Kami berempat saling berpandangan. Wasto mengangsurkan hp kepadaku. Aku meniru Wasto, membaca mantera tiga kali dengan suara keras. Kemudian Iral dan terakhir Bagas. Jelangkung tetap bergeming.
"Sudah kubilang, hanya malam Jum'at yang bisa," kata Wasto.Ia berdiri lalu berjalan mondar mandir.
"Jian*** sudah habis banyak ternyata sia-sia." Iral berdiri dengan kesal.Diambilnya salah satu gorengan lalu memasukkan ke dalam mulut. "Enak! Daripada mubadzir."
Bagas ikutan makan juga. Wasto masih mondar-mandir, mungkin masih penasaran.
"Pulang, ayok pulang!" Kesal dan geram meliputiku. Sudah payah-payah kesini, berbohong kepada Umik pula.
"Kamu sih Hel, pake baca Bismillah segala, ya gak berhasil. Gatot. Gagal total!" kaki Wasto menyepak segala yang ada di depannya.
Enak saja Wasto ngomong begitu. Bismillah kan ucapan yang baik. Bisa jadi kegagalan ini karena ia tak menghapal manteranya.
"Nih kamu saja yang bawa Hel!" Wasto melempar boneka jelangkung kepadaku.
Hey! Belum sempat aku protes, mereka sudah kabur menuju sepeda motornya masing-masing. Duh, ribet betul buat apa membawa beginian pulang? Kubuang saja.