"Ganti hari saja. Sabtu malam Ahad," usulku.
Iral dan Bagas saling berpandangan sedangkan Wasto memelolotiku.
"Deal!" kata Iral dan Bagas serentak.
"Tidak bisa! Harus malam Jum'at!" sergah Wasto.
"Hantu kan tidak kenal hari, To. Baginya semua hari sama saja. Malam Jum'at, malam Sabtu atau malam Ahad sekalipun. Ia hanya hadir di malam hari. Lagipula ia tidak sekolah, tidak mikir ulangan," jelasku.
"Ya betul! jelangkung juga tidak kenal malam Minggu. Kan jomblo," tambah Bagas.
"Tau darimana jelangkung jomblo," Wasto mulai gusar jagoannya dipermainkan.
"Lha dia kan selalu bilang datang tak diundang, pulang tak diantar. Jadi dia bisa datang dan pergi sesuka hati. Coba kalau punya pasangan pasti datangnya dijemput, pulangnya diantar."
** enha **
Di hari yang telah ditentukan, kami bertemu di gedung itu pukul setengah dua belas. Hujan turun sejak awal malam menyisakan gerimis. Bulan sudah beranjak tua, cahayanya tak lagi terang sampai ke bumi. Sorot lampu jalanan hanya sedikit menerangi jalan, cahayanya berpendar lemah terhalang tetesan gerimis. Gedung di depanku tampak makin gelap. Seperti kotak hitam besar dengan bentuk segitiga di atasnya. Beberapa pohon besar di kanan kirinya tampak seperti penjaga hitam ,tinggi, besar dengan kepala berayun-ayun terkena angin.
Wasto yang membawa senter mengarahkan sinarnya dengan acak. Pantulan cahayanya mengenai beberfapa bagian gedung itu. Kadang di tembok, di pintu, di jendela juga di atap. Entah apa maksud Wasto melakukannya. Gedung ini tak berpenghuni. Harusnya ia menggunakan senternya untuk menerangi jalan. Â Pantulan cahaya senternya malah membuat bayangan-bayangan aneh di gedung itu. Bulu kudukku meremang. Iral meremas lengan kiriku. Sedangkan bibir Bagus dari tadi tak berhenti 'ndremimil' seperti melantunkan doa yang tidak jelas kedengarannya. Hanya Wasto yang berjalan dengan gagah di depan. Tentu saja, ia kan berteman dengan segala jenis hantu.