Kami tiba si sisi gedung, di tempat yang sudah disiapkan oleh Wasto dan bapaknya. Di depan kami ada lapangan yang rimbun dengan semak-semak setinggi anak kecil. Tidak nampak apa pun, hanya gelap,. Namun aku merasa ada yang mengawasi, entah apa. Aku mengalihkan pandangan dari semak-semak meski  jiwa ini meronta-ronta ingin tahu.
Kami mengeluarkan semua barang yang sudah dibawa dari rumah. Wasto mengaturnya lalu meletakkan boneka jelangkung lengkap dengan pulpen dan kertasnya di tengah-tengah. Ia meminta kami tenang sambil menunggunya mengucap mantra untuk memanggil jelangkung.
Beberapa saat kami menunggu. Dari sudut mata dapat kulihat Wasto seperti kebingungan.
"Hel! Hel!" Wasto berbisik di telinga kiriku. "Kertasnya ketinggalan"
"Kertas apa?" tanyaku heran.
"Ajian memanggil jelangkung."
"Lha kamu gak hapal?" Setahuku mantra itu tak boleh ditulis di kertas. Harus dihapal di luar kepala.
"Gak!"
"Lha terus?"
"Kamu punya paketan?" Wajah Wasto tampak memelas. Sementara Iral dan Bagas memandang dengan pandangan entah. Aku mulai kesal.
Untungnya sinyal mendukung, tak perlu waktu lama untuk mencari manteranya. Wasto membaca mantera dengan keras dari hp, bunyinya begini :