Senja memperbaiki letak kepalanya sebelum menjawab. "Aku pernah mengatakannya padamu. Bukan sekadar karena namaku."
"Aku tahu, aku hanya ngin mendengarnya sekali lagi."
"Baiklah. Dengarkan baik-baik. Senja memberikanku energi. Ia menyerap semua lelah dan letihku. Aku merasakan semangat baru tiap kali menatapnya." Ia menjeda sejenak. Mungkin menikmati apa yang dimaksudkan kata-kata sendiri. "Meskipun aku tidak tahu kapan energi itu akan habis kembali. Bisa saja setelah keluar dari gerbang pantai. Namun, paling tidak, aku meninggalkan semua rasa lelah di sini dan kembali dengan hal lain."
"Bukankah rumah seperti itu?"
"Rumah?"
"Iya. Rumah."
"Mungkin."
"Mungkin itulah kenapa anak punk memilih tinggal di jalan. Dan kisah gelandangan yang aku buat-buat tadi juga melakukan hal yang sama. Di jalanan itulah mereka mendapatkan energinya. Kekuatannya. Ketenangannya." Aku meremas pinggangnya pelan. Seolah-olah menyalurkan pemahamanku melalui jari-jari di sana. "Mungkin, selama ini kita salah mendefinisikan rumah sehingga terjebak. Rumah adalah sesuatu yang lain. Yang seperti yang kamu katakan barusan. Dan dalam pandanganku ... kamu adalah rumahku."
"Begitukah?" tanyanya lirih.Â
"Begitulah Senja. Dan aku adalah kura-kura tua yang tak mungkin lagi meninggalkan cangkangnya ... rumahnya. Bagaimanapun bentuknya. Kecuali ...."
"Kecuali apa?"