Aku tak terkejut sama sekali dengan perkataannya itu. Tentu ada alasan besar mengajakku datang ke pinggir pantai untuk menikmati senja hingga akhir. Senja pastilah butuh kekuatan pendukung untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya tadi. Meskipun, sedikit ironis karena situasi itu menggambarkan ikatan kami, seperti senja yang bersiap-siap dilahap malam.
"Kenapa kita harus pulang?" tanyaku.
"Setiap orang harus pulang. Mereka tidak boleh berkeliaran di jalanan sepanjang hari. Kecuali gelandangan. Itupun karena mereka tidak punya pilihan. Jika mereka punya pilihan tempat untuk pulang, mereka tidak akan berkeliaran di jalanan."
Kali ini Senja menatapku. Lurus-lurus.
Aku diam sebentar, menunggu-nunggu, mengira-ngira, mungkin ia akan memutar kembali lehernya agar tak ketinggalan detik-detik senja menghilang di kejauhan. Aku yakin ia mengira aku sedang berpikir karena diam saja. Padahal, aku tak pernah berpikir untuk hal itu.Â
Senja tak menoleh lagi pada semburat warna-warna di ufuk barat. Ia tetap menatapku, mungkin mengira aku masih berpikir. Pastilah ia menyangka bahwa apa yang baru saja dikatakannya adalah persoalan besar untukku. Ah ... biarkan saja ia mengira aku begitu. Aku tak berniat meluruskannya. Lebih baik, Â aku menikmati manik-manik matanya, bibirnya, dan bau tubuhnya yang diayun-ayun angin pantai.
Dalam detik-detik aku melahapnya dengan mataku, aku menyadari bahwa kini bahunya telah jatuh, matanya telah sendu, bibirnya tak melengkung seperti dulu. Mungkin saja, Senja pun melihat hal yang sama pada diriku. Bagus buatnya, karena bisa melihat kupingku. Apa menurutnya kupingku bagus?
"Aku pernah melihat wawancara anak punk di Youtube. Anak punk itu memilih hidup di jalan, meskipun punya rumah untuk pulang," kataku pada akhirnya.
"Aku membicarakan gelandangan."
"Jadi bukan anak punk?"
Ia menggeleng malas. Lalu aku mengatakan, "Aku pernah melihat wawancara gelandangan di Youtube yang memilih tinggal di jalan ketimbang pulang ke rumahnya."