"Senja hampir pudar. Sebaiknya kita pulang sekarang," katanya mendadak. Terlalu mendadak, karena baru saja ia memuji senja dengan kata-kata paling gemilang, seolah-olah, ia mengayak tiap kata dalam kepalanya dengan sangat hat-hati agar tak mengiris keindahan senja di depannya. Aku hampir menyangka ia menyembah senja akibat mendengar untaian kata yang dijalinnya satu persatu: terlalu agung.
Karena terkejut, aku menoleh.Â
"Pulang ke mana?" tanyaku. Aku kira ia pun menoleh padaku saat berbicara tadi. Ternyata, pandangannya jauh terlempar ke laut yang tak lagi biru. Ia masih rindu, tetapi waktu mengikis perasaannya.
"Ke rumah."
Aku mendengar jawabannya sekelebat, tetapi tidak terlalu peduli karena pertanyaanku hanyalah kata-kata retoris. Aku lebih menikmati pucuk hidungnya, lentik bulu matanya, dan bau tubuhnya yang diayun-ayun angin pantai sore hari. Aku ingin melihat daun telinganya dan bukan hanya lekuk kerudungnya. Namun itu tidak mungkin. Mungkin nanti, tetapi tidak sekarang.Â
Lalu ia menoleh. "Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
Aku belum sempat mengelakkan pandangan yang "itu", sehingga ia dengan tepat menangkapnya.
"Kenapa kamu melihat senja seperti itu?"balasku. Mengecohnya.
Â
"Seperti apa?"
"Seperti itu ... seperti ... melihat sesuatu yang ... yang tak pernah kamu lihat sebelumnya."
"Apa kita harus pulang?" tanyanya. Mengabaikan pertanyaanku.
Ia mengalihkan lagi pandanganya cepat-cepat karena senja hampir usai. Jingga yang bercampur dengan kelam malam adalah paduan gradasi paling eksotis. Ia pernah mengatakan hal itu. Aku mengakuinya. Jadi, aku yakin, dengan alasan itulah ia tidak ingin lama-lama melihat yang lain. Namun, sejujurnya, bagiku, senja yang jingga bukan yang paling eksotis.
"Ke mana?" tanyaku lagi.
"Ke rumah," jawabnya. Berbarengan dengan jawabannya, lampu-lampu di sekitar pantai dinyalakan.Â
Aku tak berkata-kata lagi. Kali ini aku ingin hanyut bersamanya. Menikmati wajah sesuatu. Ia menikmati wajah senja dan aku menikmati wajahnya.
Aku menemukan kerut di lekuk ujung matanya. Awalnya, aku ingin menghitungnya, lalu membuatnya menjadi olok-olok. Namun, aku urungkan karena hanya akan membuatku teringat bahwa waktu tak mengasihani siapa pun. Sekalipun pada orang yang berbahagia.Â
Ah ... bahagia: abstrak, temporer, dan singkat.
Aku membuka kacamataku dan menoleh pada lautan. Aku tak bisa lagi melihat ombak yang menggulung-gulung ke tepian dengan jelas kecuali sebagai bayang-bayang samar. Akan tetapi, aku tetap bisa merasakan kekuatan deburannya melalui suaranya. Hidup kami seperti itu. Sesuatu yang tak terlihat, datang dengan suara berdentum-dentum dan tak bisa diabaikan. Mereka hampir melibas hidupku dan hidup Senja.
Pada saat itulah Senja mengatakan, "Kita harus pulang ke rumah masing-masing dan tidak lagi bertemu untuk waktu yang lama."
Aku tak terkejut sama sekali dengan perkataannya itu. Tentu ada alasan besar mengajakku datang ke pinggir pantai untuk menikmati senja hingga akhir. Senja pastilah butuh kekuatan pendukung untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya tadi. Meskipun, sedikit ironis karena situasi itu menggambarkan ikatan kami, seperti senja yang bersiap-siap dilahap malam.
"Kenapa kita harus pulang?" tanyaku.
"Setiap orang harus pulang. Mereka tidak boleh berkeliaran di jalanan sepanjang hari. Kecuali gelandangan. Itupun karena mereka tidak punya pilihan. Jika mereka punya pilihan tempat untuk pulang, mereka tidak akan berkeliaran di jalanan."
Kali ini Senja menatapku. Lurus-lurus.
Aku diam sebentar, menunggu-nunggu, mengira-ngira, mungkin ia akan memutar kembali lehernya agar tak ketinggalan detik-detik senja menghilang di kejauhan. Aku yakin ia mengira aku sedang berpikir karena diam saja. Padahal, aku tak pernah berpikir untuk hal itu.Â
Senja tak menoleh lagi pada semburat warna-warna di ufuk barat. Ia tetap menatapku, mungkin mengira aku masih berpikir. Pastilah ia menyangka bahwa apa yang baru saja dikatakannya adalah persoalan besar untukku. Ah ... biarkan saja ia mengira aku begitu. Aku tak berniat meluruskannya. Lebih baik, Â aku menikmati manik-manik matanya, bibirnya, dan bau tubuhnya yang diayun-ayun angin pantai.
Dalam detik-detik aku melahapnya dengan mataku, aku menyadari bahwa kini bahunya telah jatuh, matanya telah sendu, bibirnya tak melengkung seperti dulu. Mungkin saja, Senja pun melihat hal yang sama pada diriku. Bagus buatnya, karena bisa melihat kupingku. Apa menurutnya kupingku bagus?
"Aku pernah melihat wawancara anak punk di Youtube. Anak punk itu memilih hidup di jalan, meskipun punya rumah untuk pulang," kataku pada akhirnya.
"Aku membicarakan gelandangan."
"Jadi bukan anak punk?"
Ia menggeleng malas. Lalu aku mengatakan, "Aku pernah melihat wawancara gelandangan di Youtube yang memilih tinggal di jalan ketimbang pulang ke rumahnya."
"Kamu membuat-buat."
Aku tersenyum. "Aku tahu. Mungkin karena aku rindu. Tapi, mungkin kamu lebih merindukan senja daripada aku."
"Aku merindukan keduanya."
"Aku dan senja?"
"Bukan. Kamu di dalam senja."
Senja baru pulang. Ia habis pergi lama sendirian. Sesungguhnya, ia masih lelah, tetapi memaksa ingin pergi ke pantai. Merasa ada hal besar yang harus dikatakannya.
Perjalanan panjang mengenali dan menerima dirinya bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Meskipun ia sudah pulang, bukan berarti semuanya selesai. Ia masih harus berjibaku seumur hidupnya hanya untuk bisa tidur dengan baik dan memiliki perasaan yang tenang sepanjang hari. Ia sedang menorehkan sejarah untuk menjadi pejuang.
"Apakah menurutmu kita harus pulang ke rumah masing-masing dan tidak usah bertemu dalam waktu yang lama?"tanyaku mengulang pertanyaannya.
"Aku hanya tak ingin kecewa," jawabnya.
"Kenapa harus kecewa?"
"Karena kondisiku, aku harus menyerahkan diriku pada seseorang bila aku harus hidup bersamanya. Aku harus sangat bersandar padanya. Aku tahu kamu kuat. Kamu mungkin bisa melakukannya. Tetapi, waktu sering kali menguras kekuatan seseorang. Akan lebih baik bagiku untuk menyesuaikan diri sejak dini untuk tidak bergantung pada orang lain daripada kelak ditinggalkan."
"Masuk akal," kataku sambil mengangguk-angguk.
"Iya," jawabnya lirih.
Aku menggeser dudukku lebih dekat padanya, menaikkan kerah jaketku, menaikkan kerah jaket Senja---angin Muson Barat terlalu basah. Lalu, aku meraih kepalanya, menidurkannya di bahuku, lalu aku memeluk pinggangnya.
"Jika aku terdampar di sebuah pulau dan hanya memiliki satu bungkus roti lagi, aku akan memakannya pelan-pelan. Aku akan menikmati tiap gigitannya. Aku tidak akan memilih melemparkan roti itu jauh-jauh dengan alasan aku akan berusaha menyesuaikan diri sejak dini dengan rasa lapar yang nantinya akan aku alami."
"Tapi kamu bukan roti dan masalahku bukan makanan."
"Aku tahu. Aku bukan roti dan masalahmu bukan makanan. Tapi, masalahmu pun tidak ditentukan akhirnya sekarang. Segala hal di depanmu adalah misteri. Aku adalah bagian dari misteri itu. Namun, bukan berarti aku tidak bisa ditebak."
"Kita tidak bisa menebak bagaimana manusia nanti."
"Tentu saja. Namun pilihannya juga hanya dua. Dan itu pilihan yang pantas karena peluangnya besar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Yaitu kebaikan. Dan peluang untuk mendapatkannya makin besar karena aku telah hidup lama bersamamu. Namun, bukan berarti ketakutanmu tidak beralasan."
Lalu, aku mengusap-usap punggung Senja. Senja membalas dengan mengusap-usap pahaku. Ia juga mencari-cari tangan kananku. Setelah menemukannya, ia meremas jari-jariku dengan lembut. Senja masih sehangat dulu.Â
Sejak kepergiannya, aku sering berpikir akan bertemu orang yang berbeda setelah kepulangannya. Mungkin, pada saat itu, aku tidak akan mengenalinya lagi. Ia akan berubah menjadi orang lain dan aku akan tersedak setengah mati karenanya. Namun, setelah melihat keadaannya sekarang, Senja masihlah Senja. Entah bagaimana nanti.
"Kenapa kamu suka sekali dengan senja?" tanyaku membelah keheningan di antara aku dan Senja dalam ramai debur ombak.
Senja memperbaiki letak kepalanya sebelum menjawab. "Aku pernah mengatakannya padamu. Bukan sekadar karena namaku."
"Aku tahu, aku hanya ngin mendengarnya sekali lagi."
"Baiklah. Dengarkan baik-baik. Senja memberikanku energi. Ia menyerap semua lelah dan letihku. Aku merasakan semangat baru tiap kali menatapnya." Ia menjeda sejenak. Mungkin menikmati apa yang dimaksudkan kata-kata sendiri. "Meskipun aku tidak tahu kapan energi itu akan habis kembali. Bisa saja setelah keluar dari gerbang pantai. Namun, paling tidak, aku meninggalkan semua rasa lelah di sini dan kembali dengan hal lain."
"Bukankah rumah seperti itu?"
"Rumah?"
"Iya. Rumah."
"Mungkin."
"Mungkin itulah kenapa anak punk memilih tinggal di jalan. Dan kisah gelandangan yang aku buat-buat tadi juga melakukan hal yang sama. Di jalanan itulah mereka mendapatkan energinya. Kekuatannya. Ketenangannya." Aku meremas pinggangnya pelan. Seolah-olah menyalurkan pemahamanku melalui jari-jari di sana. "Mungkin, selama ini kita salah mendefinisikan rumah sehingga terjebak. Rumah adalah sesuatu yang lain. Yang seperti yang kamu katakan barusan. Dan dalam pandanganku ... kamu adalah rumahku."
"Begitukah?" tanyanya lirih.Â
"Begitulah Senja. Dan aku adalah kura-kura tua yang tak mungkin lagi meninggalkan cangkangnya ... rumahnya. Bagaimanapun bentuknya. Kecuali ...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kura-kura itu mau mati telanjang."
Senja tertawa kecil. Ia lalu duduk dengan tegap. Meraih kedua tanganku lalu mencium pipiku.Â
"Aku mencintaimu dalam warasku dan gilaku," katanya, "Jangan tinggalkan aku dan jangan biarkan aku meninggalkanmu meskipun aku sangat menginginkannya. Karena itu pasti bukan aku."
"Dan aku menerima keduanya. Dan aku tidak akan meninggalkan rumahku."
Kemudian, Senja berdiri. Ia meraih tanganku untuk membantuku berdiri. "Meskipun aku adalah rumahmu, kita tetap harus pulang ke rumah. Banyak hal yang ingin aku lakukan setelah sebulan tidak bersamamu."
Lalu, Senja melaju di depanku dengan langkah panjang-panjang---tentu saja ia kesulitan. Sepertinya, kali ini aku akan bisa melihat daun telinganya sambil membuka misteri-misteri kehidupan kami yang akan muncul satu persatu esok hari dan esoknya lagi. [*]
LJ-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H