"Seperti apa?"
"Seperti itu ... seperti ... melihat sesuatu yang ... yang tak pernah kamu lihat sebelumnya."
"Apa kita harus pulang?" tanyanya. Mengabaikan pertanyaanku.
Ia mengalihkan lagi pandanganya cepat-cepat karena senja hampir usai. Jingga yang bercampur dengan kelam malam adalah paduan gradasi paling eksotis. Ia pernah mengatakan hal itu. Aku mengakuinya. Jadi, aku yakin, dengan alasan itulah ia tidak ingin lama-lama melihat yang lain. Namun, sejujurnya, bagiku, senja yang jingga bukan yang paling eksotis.
"Ke mana?" tanyaku lagi.
"Ke rumah," jawabnya. Berbarengan dengan jawabannya, lampu-lampu di sekitar pantai dinyalakan.Â
Aku tak berkata-kata lagi. Kali ini aku ingin hanyut bersamanya. Menikmati wajah sesuatu. Ia menikmati wajah senja dan aku menikmati wajahnya.
Aku menemukan kerut di lekuk ujung matanya. Awalnya, aku ingin menghitungnya, lalu membuatnya menjadi olok-olok. Namun, aku urungkan karena hanya akan membuatku teringat bahwa waktu tak mengasihani siapa pun. Sekalipun pada orang yang berbahagia.Â
Ah ... bahagia: abstrak, temporer, dan singkat.
Aku membuka kacamataku dan menoleh pada lautan. Aku tak bisa lagi melihat ombak yang menggulung-gulung ke tepian dengan jelas kecuali sebagai bayang-bayang samar. Akan tetapi, aku tetap bisa merasakan kekuatan deburannya melalui suaranya. Hidup kami seperti itu. Sesuatu yang tak terlihat, datang dengan suara berdentum-dentum dan tak bisa diabaikan. Mereka hampir melibas hidupku dan hidup Senja.
Pada saat itulah Senja mengatakan, "Kita harus pulang ke rumah masing-masing dan tidak lagi bertemu untuk waktu yang lama."