Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi dan anak-anak. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah

21 Agustus 2024   16:50 Diperbarui: 21 Agustus 2024   16:52 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak terkejut sama sekali dengan perkataannya itu. Tentu ada alasan besar mengajakku datang ke pinggir pantai untuk menikmati senja hingga akhir. Senja pastilah butuh kekuatan pendukung untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya tadi. Meskipun, sedikit ironis karena situasi itu menggambarkan ikatan kami, seperti senja yang bersiap-siap dilahap malam.

"Kenapa kita harus pulang?" tanyaku.

"Setiap orang harus pulang. Mereka tidak boleh berkeliaran di jalanan sepanjang hari. Kecuali gelandangan. Itupun karena mereka tidak punya pilihan. Jika mereka punya pilihan tempat untuk pulang, mereka tidak akan berkeliaran di jalanan."

Kali ini Senja menatapku. Lurus-lurus.

Aku diam sebentar, menunggu-nunggu, mengira-ngira, mungkin ia akan memutar kembali lehernya agar tak ketinggalan detik-detik senja menghilang di kejauhan. Aku yakin ia mengira aku sedang berpikir karena diam saja. Padahal, aku tak pernah berpikir untuk hal itu. 

Senja tak menoleh lagi pada semburat warna-warna di ufuk barat. Ia tetap menatapku, mungkin mengira aku masih berpikir. Pastilah ia menyangka bahwa apa yang baru saja dikatakannya adalah persoalan besar untukku. Ah ... biarkan saja ia mengira aku begitu. Aku tak berniat meluruskannya. Lebih baik,  aku menikmati manik-manik matanya, bibirnya, dan bau tubuhnya yang diayun-ayun angin pantai.

Dalam detik-detik aku melahapnya dengan mataku, aku menyadari bahwa kini bahunya telah jatuh, matanya telah sendu, bibirnya tak melengkung seperti dulu. Mungkin saja, Senja pun melihat hal yang sama pada diriku. Bagus buatnya, karena bisa melihat kupingku. Apa menurutnya kupingku bagus?

"Aku pernah melihat wawancara anak punk di Youtube. Anak punk itu memilih hidup di jalan, meskipun punya rumah untuk pulang," kataku pada akhirnya.

"Aku membicarakan gelandangan."

"Jadi bukan anak punk?"

Ia menggeleng malas. Lalu aku mengatakan, "Aku pernah melihat wawancara gelandangan di Youtube yang memilih tinggal di jalan ketimbang pulang ke rumahnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun