Di ujung pintu, dia menatapku tajam, dan aku menangkap maksudnya. Kami saling menganggukkan kepala. Begitu saja.
Aku ragu jika menyimpulkannya dengan istilah telepati. Kami tidak benar-benar bicara melalui getaran hati. Sudah kukatakan, kami hanya saling memahami.
Meski ... ya, memang tak bisa kusangkal, memahami adalah muara dari sebuah komunikasi. Mendengarkan dan memahami adalah dua sisi bangun ruang yang berbeda geometri.
Aku percaya, bahwa setiap kita terbentuk dari kisah dan orang-orang yang pernah singgah. Maka bagiku, mengunjungi Mandala sama artinya dengan memasuki pusaran diri sendiri. Ziarah.Â
Setelah hantu-hantu masa lalu menghabisiku sekali hentak, aku menarik ingatan pada sejarah yang tertanggal sangat awal. Masa-masa sebelum mengeksekusi proyek reklamasi, sebelum menyakiti orang-orang pinggiran, bahkan sebelum mengenal Gau.
Orang-orang sama sekali tidak tahu, Mandala berperan besar bagi jalan hidupku, bahkan kelangsungan Kota Karagan. Tapi, mereka membicarakan Mandala dengan gaya hakim dunia paling bijaksana.Â
Katanya, Wira Jayanto, pengharum nama keluarga. Mereka bilang, aku walikota kebanggaan. Sedangkan Mandala, tak lebih dari pembangkang tidak kenal aturan. Meskipun ia tak pernah mempersoalkan, aku merasa tak pantas mendapat penghargaan.
Apalagi, setelah pelantikan walikota, Mandala tak pernah lagi menghadiri acara keluarga kami. Aku mencoba mencarinya, melalui dimensi lahir maupun batin. Sia-sia belaka. Tak ada pertanda apapun yang kuterima.
Mandala hilang. Aku terpenggal separuh jiwa.
Tak ayal, orang-orang ramai menyemai dugaan, berprasangka seenaknya. Ada yang berkata, Mandala diculik makhluk halus Gunung Tanduran, mati dimakan hewan buas, keracunan tanaman, kelaparan, dan berbagai spekulasi tak bermutu lainnya. Sementara aku meyakini, bahwa dia masih bernyawa.
Terbukti. Di tengah malam, saat langit sedang indah-indahnya, aku terkulai kehabisan tenaga. Sekalipun belum kutemukan kediaman Mandala, nyatanya dia lebih dulu menemukanku.Â