Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di ujung pintu, dia menatapku tajam, dan aku menangkap maksudnya. Kami saling menganggukkan kepala. Begitu saja.

Aku ragu jika menyimpulkannya dengan istilah telepati. Kami tidak benar-benar bicara melalui getaran hati. Sudah kukatakan, kami hanya saling memahami.

Meski ... ya, memang tak bisa kusangkal, memahami adalah muara dari sebuah komunikasi. Mendengarkan dan memahami adalah dua sisi bangun ruang yang berbeda geometri.

Aku percaya, bahwa setiap kita terbentuk dari kisah dan orang-orang yang pernah singgah. Maka bagiku, mengunjungi Mandala sama artinya dengan memasuki pusaran diri sendiri. Ziarah. 

Setelah hantu-hantu masa lalu menghabisiku sekali hentak, aku menarik ingatan pada sejarah yang tertanggal sangat awal. Masa-masa sebelum mengeksekusi proyek reklamasi, sebelum menyakiti orang-orang pinggiran, bahkan sebelum mengenal Gau.

Orang-orang sama sekali tidak tahu, Mandala berperan besar bagi jalan hidupku, bahkan kelangsungan Kota Karagan. Tapi, mereka membicarakan Mandala dengan gaya hakim dunia paling bijaksana. 

Katanya, Wira Jayanto, pengharum nama keluarga. Mereka bilang, aku walikota kebanggaan. Sedangkan Mandala, tak lebih dari pembangkang tidak kenal aturan. Meskipun ia tak pernah mempersoalkan, aku merasa tak pantas mendapat penghargaan.

Apalagi, setelah pelantikan walikota, Mandala tak pernah lagi menghadiri acara keluarga kami. Aku mencoba mencarinya, melalui dimensi lahir maupun batin. Sia-sia belaka. Tak ada pertanda apapun yang kuterima.

Mandala hilang. Aku terpenggal separuh jiwa.

Tak ayal, orang-orang ramai menyemai dugaan, berprasangka seenaknya. Ada yang berkata, Mandala diculik makhluk halus Gunung Tanduran, mati dimakan hewan buas, keracunan tanaman, kelaparan, dan berbagai spekulasi tak bermutu lainnya. Sementara aku meyakini, bahwa dia masih bernyawa.

Terbukti. Di tengah malam, saat langit sedang indah-indahnya, aku terkulai kehabisan tenaga. Sekalipun belum kutemukan kediaman Mandala, nyatanya dia lebih dulu menemukanku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun