Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fragmen 12. Tenggelam di Langit

Semesta dalam perspektif orang ketiga.

Kematian hanya terdiri dari perkara tanggal yang ditentukan dan orang-orang yang ditinggalkan. Selebihnya, akan melulu soal kehidupan. Baik sebelum, atau setelahnya.

Saat ini, aku belum beruntung untuk tiba di batas dunia. Tapi, akan selalu ada cara untuk bunuh diri tanpa harus kehilangan nyawa. Salah satunya, dengan menerima kenyataan, baik yang manis maupun pahit. Salah satunya, dengan tenggelam di langit. Bagi laki-laki tua sepertiku, hal itulah yang terpenting.

Tanpa perasaan berat, aku mengemasi barang-barang yang tidak banyak. Bersiap kembali ke gubuk di kaki Gunung Parung. Selepas Reno pergi, aku berjanji padanya untuk mudah dicari. Tanpa pelarian, tanpa persembunyian.

Terbungkus plastik, setelan baju resmi masih terlipat begitu rapi. Reno memberikannya padaku kemarin malam. Setengah bercanda, ia berkata, "Datanglah dengan baju ini, agar tidak diusir satpam." 

Aku hanya tertawa, satpam bukan masalah besar dibanding sorot mata warga Karagan.

Setelah ransel siap terpanggul, tersisa satu hal yang harus aku lakukan. Dengan penuh perasaan, aku meraih segenggam bunga dan sebotol air di pojok gua. Beringsut memasuki lorong, menuju makam yang teronggok sendirian.

Sekalipun tanpa teman, ia tidak tampak kesepian.

Aku berlutut, menaburkan bunga-bunga hutan dan menyiramnya dengan air pegunungan. Makam itu terlihat segar. Aku berdoa, jiwa yang pernah mendiaminya juga merasakan hal serupa.

Aku meraih satu dari dua huruf kayu yang tersandar di pusara batu. Memandanginya cukup lama. Merapikan rahasia-rahasia yang tersimpan di guratannya. Kayu berbentuk huruf W itu kuputar seratus delapan puluh derajat. Lalu, kusandarkan kembali ke tempatnya.

Kini, ia berada dalam posisi dan formasi yang benar. Membentuk huruf M dan J. Mandala Jayanto, adik kembarku. Seseorang yang menyelamatkanku, lima tahun lalu.

Tanpa aba-aba, memoriku berputar.
Bersinar, memproyeksikan rekaman-rekaman.

Pagi itu, pertama kalinya aku menginjak tanah selatan Karagan. Selepas malam yang melelahkan, aku terbangun dengan gigi dan tulang-tulang bergemeretak. Meringkuk kedinginan di bangku panjang, tepat di depan plang berkarat bertuliskan Gunung Parung, Karagan Selatan, 2446 dpl. Betisku terasa ngilu, tanda mata dari belasan kilometer berjalan kaki tanpa berhenti.

Aku meringis. Perih. Lambungku juga berisik minta diisi. Hanya ada sedikit pecahan uang di dalam saku. Berebut tempat dengan sepasang sendok dan garpu. Kukuatkan tekad, mengesampingkan rasa lapar. Sebelum sampai tujuan, pantang menyentuh makanan.

Diawali tarikan nafas, kulanjutkan perjalanan ke permukiman di kaki Gunung Parung. Aku sepenuhnya percaya pada hal-hal tak kasat mata. Tapi, langkah dan keputusan ini jauh di luar limit kesadaran biasa. Terhubung jalinan jiwa sejak dari dalam kandungan, kami saling menemukan dengan cara-cara yang tak mudah dimengerti orang. 

Berbekal isyarat alam, aku menuju Mandala.

Kendati ragaku menguat, jiwaku tengah sekarat. Aku kehilangan keyakinan setelah Sungai Kaliran berduyun-duyun mengairi jalan. Aku butuh ruang untuk menjauhi media massa. Aku butuh oksigen lebih banyak untuk bisa bernapas lega. Aku butuh dia untuk kuajak bicara.

Harus Mandala.

Karena aku dan Mandala tidak pernah benar-benar berlepas. Ikatan tanpa simbolisasi. Kami selalu mampu saling memahami. 

Ketika ia memutuskan pergi dari rumah, cuma aku yang tidak terkejut, bertanya-tanya, atau marah. Aku sudah tahu alasannya dari jauh hari. Ada tugas besar menantinya di lereng-lereng selatan Karagan.

Kalau bukan karena larangan Mandala, hampir saja aku nekat ikut berkelana. Tapi, dia memintaku tinggal untuk menjaga Ibu, Bapak, serta Karagan. Dia sampaikan semuanya tanpa kata-kata. 

Di ujung pintu, dia menatapku tajam, dan aku menangkap maksudnya. Kami saling menganggukkan kepala. Begitu saja.

Aku ragu jika menyimpulkannya dengan istilah telepati. Kami tidak benar-benar bicara melalui getaran hati. Sudah kukatakan, kami hanya saling memahami.

Meski ... ya, memang tak bisa kusangkal, memahami adalah muara dari sebuah komunikasi. Mendengarkan dan memahami adalah dua sisi bangun ruang yang berbeda geometri.

Aku percaya, bahwa setiap kita terbentuk dari kisah dan orang-orang yang pernah singgah. Maka bagiku, mengunjungi Mandala sama artinya dengan memasuki pusaran diri sendiri. Ziarah. 

Setelah hantu-hantu masa lalu menghabisiku sekali hentak, aku menarik ingatan pada sejarah yang tertanggal sangat awal. Masa-masa sebelum mengeksekusi proyek reklamasi, sebelum menyakiti orang-orang pinggiran, bahkan sebelum mengenal Gau.

Orang-orang sama sekali tidak tahu, Mandala berperan besar bagi jalan hidupku, bahkan kelangsungan Kota Karagan. Tapi, mereka membicarakan Mandala dengan gaya hakim dunia paling bijaksana. 

Katanya, Wira Jayanto, pengharum nama keluarga. Mereka bilang, aku walikota kebanggaan. Sedangkan Mandala, tak lebih dari pembangkang tidak kenal aturan. Meskipun ia tak pernah mempersoalkan, aku merasa tak pantas mendapat penghargaan.

Apalagi, setelah pelantikan walikota, Mandala tak pernah lagi menghadiri acara keluarga kami. Aku mencoba mencarinya, melalui dimensi lahir maupun batin. Sia-sia belaka. Tak ada pertanda apapun yang kuterima.

Mandala hilang. Aku terpenggal separuh jiwa.

Tak ayal, orang-orang ramai menyemai dugaan, berprasangka seenaknya. Ada yang berkata, Mandala diculik makhluk halus Gunung Tanduran, mati dimakan hewan buas, keracunan tanaman, kelaparan, dan berbagai spekulasi tak bermutu lainnya. Sementara aku meyakini, bahwa dia masih bernyawa.

Terbukti. Di tengah malam, saat langit sedang indah-indahnya, aku terkulai kehabisan tenaga. Sekalipun belum kutemukan kediaman Mandala, nyatanya dia lebih dulu menemukanku. 

Sekejap, ia muncul dan membopongku ke gubuknya. Menyuguhkan air segar pegunungan dan setandan pisang yang diraihnya dari pohon di depan jendela. Setelah sewindu tidak bertemu, aku kembali merasa utuh.

"Kamu mau apa kemari? Ini bukan tempat kamu."

Aku mendesah pelan, menunduk.

"Kamu benar. Aku tidak punya tempat lagi."

"Berhenti mendramatisir, Wira. Kondisinya tidak seburuk itu."

"Hah? Karagan terendam, orang-orang menderita, dan kamu bilang tidak seburuk itu? Kamu masih ingat kan alasan aku tetap di Karagan dan kamu di sini sendirian?"

Mandala diam, matanya yang coklat tua mengarah ke perapian. Terbantu oleh panas kayu bakar yang perlahan menjelma arang, aku mengingat-ingat kapsul waktu bayangan yang pernah kami tanam. Harapan, janji, ikrar, dan semua yang gagal kulaksanakan. Itupun jika tidak ingin mengatakan, sudah hancur berantakan.

"Lalu, aku harus apa? Kamu ingin aku marah dan ikut memaki kamu seperti orang-orang? Jika tidak mampu memperbaiki, kita cuma perlu berhenti," ujar Mandala. 

Aku memandanginya kalut, memetakan ingatan. Kisah ini berasal dari garis waktu yang lebih jauh kebelakang. 

Masih berseragam putih abu-abu, saat itu kami mangkir pada jam pelajaran olahraga. Kenangan tentang kenakalan masa muda. Memanggul tas, dengan kemeja putih menjuntai keluar, kami menuju taman kota.

Aku tidak ingat, Mandala atau aku yang memulai, di antara kerumunan anak TK, kami menggenggam ranting kering, dan menggambari sebidang pasir. Gunung, lautan, dan sungai, membelah sebuah kota. Di tepinya, aku menambahkan gedung-gedung megah dan orang-orang yang bahagia.

Usia kami tujuh belas tahun. Dua pemuda tanggung yang penuh impian besar. Pada titik masa itulah, kami berkhayal, membangun peradaban.

Alam bawah sadar mengamininya sebagai perjanjian. Aku panglima utara dan Mandala panglima selatan.
Kami tidak puas menjadi punggawa, namun tak pantas menyebut diri sebagai pangripta. Maka, kami memilih panglima.

Aku mencintai perairan, mengambil mandat wilayah pesisir utara. Sementara Mandala menitahkan dirinya mengabdi di selatan, daerah pegunungan. Kami berdeklarasi sebagai sepasang makhluk kembar yang menjaga keseimbangan, serta kelangsungan alam Karagan. Masa bodoh perkara utopis dan delusional.

Tiga tahun berselang, panggilan pertama menuntut pembuktian. Persis peristiwa pasca reklamasi setengah jadi, luapan Sungai Kaliran menggelamkan rumah-rumah dan menjadikan kota sewujud danau raksasa. Tertuding, lereng-lereng pegunungan selatan terjangkit krisis vegetasi. Pembukaan lahan hutan, terdesak kebutuhan manusia yang tak lekang mengais kepuasan.

Tanpa akar pepohonan, air terlimpas. Berhempasan memenuhi sungai-sungai malang yang mendangkal. Tanah longsor menimbun lahan perkebunan yang sejak awal menantang alam. Tanggul-tanggul gagal bertahan. Aliran coklat tua bercampur bangkai tumbuhan, keluar dari kanal, merayapi permukiman.

Kekhawatiran terjadi. Alam mengamuk, hilang kesabaran atas tindakan orang-orang. 

Mandala tak bisa tinggal diam atau sekadar menontoni keadaan. Tanpa banyak bicara, ia meninggalkan rumah, kuliah, keluarga, dan seluruh kenyamanan pusat kota. Peluk pengabdian, baginya merupakan satu realita tersisa. Ia berkata padaku suatu ketika, "Aku ingin mati sebelum mati."

Mandala membunuh Mandala, dan menghidupkan jiwa lain dalam dirinya. Dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang bersamaan, katanya. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya. 

Lantas, Mandala memilih lereng-lereng pegunungan sebagai pusara raksasa yang menjadikan dualitas itu sirna.

***

Nisan batu kali dihadapanku saat ini, tidak dapat mewakili kisah Mandala yang sejati. 

Jernih mata air, rorak-rorak, sengkedan, dan beragam tumbuhan sempadan lebih menggambarkan rangkaian cerita dan perjuangan Mandala membuktikan janji. Atas inisiasinya, pencari penghidupan di kaki gunung mau memahami makna harmonisasi.

Selaras, diliputi alam bebas.

Membawa semangat seorang panglima, Mandala bergerilya. Dari Gunung Tanduran di tepi barat hingga mencapai ujung timur Gunung Parung. Berbekal pengakuan sebagai mahasiswa dan retorika buku-buku perpustakaan, ia menyentuh hati setiap kepala desa. Meski setelahnya, tidak sekalipun ia datang ke kampus untuk mengisi absensi atau sekadar formalitas belaka.

Perlahan, dan membuahkan hasil. Tidak ada lagi pembukaan lahan tanpa perhitungan. Tidak ada lagi perkebunan yang digarap serampangan. Tidak ada lagi tanah-tanah gundul yang terabaikan.

Belasan bulan selepas hijrah Mandala, musim hujan tak lagi memantik ancaman. Sendu, penuh ketenangan. Sungai mengalir tanpa hambatan, hingga berpulang ke pangku lautan.

Kemarau datang, simpanan air tanah di akuifer mencukupi kebutuhan warga Karagan. Dedaunan gugur menari-nari diiringi gitar tua musisi jalanan. Kota sejahtera, orang-orang bahagia. Di wajah mereka, aku melihat senyum Mandala.

Sedangkan aku, kini hanya panglima utara yang tak tahu harus berbuat apa. Aku setuju dengan Mandala, berhenti bukan berarti tidak peduli. Dengan penghentian proyek reklamasi, alam punya waktu memulihkan diri.

Purifikasi.

Lebih baik diam, daripada merusak pada setiap gerakan. Biarlah, semua mencaci tindakan pengecut Wira Jayanto yang seolah lari. "Aku tidak merasa perlu membuktikan apa dan pada siapa. Sejak awal, eksistensi kita memang tidak nyata," tutur Mandala, saat kutanya perkara anggapan dan pandangan orang terhadapnya.

Sungguh, aku rindu rampai aksara darinya yang jarang bersuara. Dia tahu benar, cara membuat orang lain bungkam. Bisu tercerahkan, atau bisu memamah kata yang sulit dicerna akal.

Kezahiran bukanlah aturan Mandala memandang dunia. Rahasia, merupakan harta besar yang ia jaga. Tak kusangka, tersembunyi pula rasa sakit yang baginya haram menjadi keluhan. 

Dini hari, setelah ratusan kali aku menolak pulang, Mandala tumbang. Dengan wajah pucat pasi dan bibir kebiruan. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan. 

Sejak wartawan berdatangan untuk menarik wisatawan, gubuk di tengah permukiman sudah lama kami tinggalkan. Lembah berselimut kabut menjadi pilihan untuk hidup tanpa gangguan.

Ketika tubuh Mandala menyentak, aku merasa tercerabut dari kesadaran. Panik, marah, kebingungan. Tubuh tak berdaya itu aku teriaki terus-terusan. Mulut Mandala bergetar. Membuka perlahan. Mencoba bicara dengan tenaga penghabisan.

"Unsur intrinsik dari semua yang kasat mata, jauh ... melebihi yang kita kira. Kamu tahu, Wira ... Aku tidak akan hilang ... Hanya menempuh perpindahan. Berubah dari suatu hal menjadi ... hal-hal lain di luar nalar," katanya lirih dengan suara parau dan nafas tersengal.

Kurekam untai kalimat Mandala sebagai hadiah terakhir sebelum ia "berpindah". Raganya yang rapuh tergolek lemah, senyumnya merekah, mendingin seiring waktu. Bersamaan dengan hujan yang menderas, tuntas sudah semua tugas.

Di Lembah Swarga, mata coklat tua itu tidak lagi terbuka.

Terpejam selamanya.

***

Serpih memori tentang Mandala berceceran pada setapak yang kutempuh menuju gubuk. Hijau rumput vetiver tumbuh merapat bagai benteng pertahanan serdadu perang. Tanaman itu digunakan Mandala untuk menahan partikel-partikel tanah, mengurangi dampak gerusan air limpasan. Begitu pula dengan rimbun kaliandra yang menguasai berbagai titik lahan perkebunan.

Di antara batang-batang kopi yang berbanjar, galian rorak tampak terpelihara. Rutin bersama warga, aku dan Mandala membersihkan sedimen yang tertampung di sana. Sejauh penglihatan, sayur-sayuran siap panen menyegarkan pandangan.

Pendangkalan sungai akibat longsor dan erosi lereng gunung, kini tinggal sejarah yang bergaung.

Kubaca dari selembar koran lokal yang tertinggal di pos empat pendakian, walikota Karagan meraih penghargaan level internasional. Indeks kebahagiaan kota meningkat tajam.

Aku, panglima gagal yang tidak akan lagi dibutuhkan. 

Kebaikan bersama tidak bisa terbangun dengan ego satu atau segelintir orang. Tak ada yang salah mundur teratur demi kemenangan seluruh pasukan. Mempercayakan panji peperangan pada panglima lain yang lebih mampu memimpin Karagan. 

Tanpa paksaan, aku menyerahkan diri untuk dieksekusi tiang gantungan. Aku terkenang karena menyerah, tapi itu bukan masalah.

Orang-orang akan melupakanku dengan mudah.

"Pak Jay!" Sapaan seorang pemuda terdengar dari arah matahari terbenam. Kaku, aku membalas lambaian tangannya. Memanggul cangkul, ia berlari ke arahku.

Tiga tahun berlalu sejak Mandala bersemayam di alam barzakh. Dengan badan semakin kurus dan kulit menggelap, aku benar-benar tampak seperti dia. Wajar. Di sini, Wira Jayanto bukanlah siapa-siapa.

"Dari mana saja? Sehat? Hampir dua bulan tidak kelihatan. Tapi tenang, sayur-sayuran Pak Jay sudah saya urus seperti anak sendiri," ujarnya riang seraya menyalamiku.

"Alhamdulillah. Habis bertapa di dalam gua," jawabku bercanda.

Penuh semangat, pemuda itu mengajakku ke rumah kepala desa. Katanya, seluruh warga pasti ingin menyambut kemunculan seorang tokoh yang dirindukan. 

Meski terkesima, aku menolak. Bukan hanya karena mereka salah orang, tapi aku yakin Mandala akan melakukan hal yang sama. Pujian dan perhatian selalu membuatnya tidak nyaman.

Setelah berpamitan, aku melanjutkan langkah. Fokus menatap pintu berukir MJ di ujung jalan. Termenung. Lenyap dua bulan dari aktivitas rutin perkebunan tidak kulakukan tanpa alasan. 

Tapi, aku harus menyebutnya apa? Firasat, isyarat, atau pertanda dari semesta?

Aku butuh jeda untuk memikirkan lagi perihal entitas Wira dan Mandala. Kupikir, ditopang ratusan manusia dan hamparan ekosistem yang telah mampu berbagi ruang, tiba saatnya bagi panglima selatan untuk menanggalkan baju besi yang telah usang.

Aku menahan nafas. Di gubuk tua ini, cuma ada debu dan batas waktu.

Penyebab, hanya perantara suatu kehendak. Kekuatan yang menggerakkan aku menuju Mandala, serta langkah Reno mencari aku. Daya yang amat kita kenal, namun terpendam. 

Nyatanya, lima tahun menghirup keheningan, belum cukup bagiku menggali substansi yang kucari-cari.

Aku tidak ingin pergi, tapi kabut gunung membawa kabar lain. Kehadiran Reno menggugat sunyaruri yang kureka sendiri. Lebih baik dianggap mati, karena tak ada tempat bagi seorang pengkhianat. 

Seharusnya aku tahu, sauh untukku berlabuh tak pernah berada jauh. Tami, istriku. Reno dan Sita, anak-anakku. Merekalah tambatan bagi perahu tua yang lelah merambah samudera.

Penyesalan kah ini? Bukan.

Ini pengakuan atas salah yang mengharuskan aku kalah. Dan, atas kalah yang menjadikan aku berserah. Menjatuhkan batu-batu yang membebani saku. 

Menampik gravitasi. Terbang. Melewatkan awan-awan. Tenggelam, jauh di kedalaman lubang hitam.

Bukan lautan.

Aku bicara soal langitan.

.... bersambung.

***

Cerita ini merupakan fragmen keduabelas dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton 

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

Fragmen 7. Fatamorgana (2)

Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai

Fragmen 9. Sumpah Sampah

Fragmen 10. Lembah Halimun

Fragmen 11. Halimun Terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun