Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jernih mata air, rorak-rorak, sengkedan, dan beragam tumbuhan sempadan lebih menggambarkan rangkaian cerita dan perjuangan Mandala membuktikan janji. Atas inisiasinya, pencari penghidupan di kaki gunung mau memahami makna harmonisasi.

Selaras, diliputi alam bebas.

Membawa semangat seorang panglima, Mandala bergerilya. Dari Gunung Tanduran di tepi barat hingga mencapai ujung timur Gunung Parung. Berbekal pengakuan sebagai mahasiswa dan retorika buku-buku perpustakaan, ia menyentuh hati setiap kepala desa. Meski setelahnya, tidak sekalipun ia datang ke kampus untuk mengisi absensi atau sekadar formalitas belaka.

Perlahan, dan membuahkan hasil. Tidak ada lagi pembukaan lahan tanpa perhitungan. Tidak ada lagi perkebunan yang digarap serampangan. Tidak ada lagi tanah-tanah gundul yang terabaikan.

Belasan bulan selepas hijrah Mandala, musim hujan tak lagi memantik ancaman. Sendu, penuh ketenangan. Sungai mengalir tanpa hambatan, hingga berpulang ke pangku lautan.

Kemarau datang, simpanan air tanah di akuifer mencukupi kebutuhan warga Karagan. Dedaunan gugur menari-nari diiringi gitar tua musisi jalanan. Kota sejahtera, orang-orang bahagia. Di wajah mereka, aku melihat senyum Mandala.

Sedangkan aku, kini hanya panglima utara yang tak tahu harus berbuat apa. Aku setuju dengan Mandala, berhenti bukan berarti tidak peduli. Dengan penghentian proyek reklamasi, alam punya waktu memulihkan diri.

Purifikasi.

Lebih baik diam, daripada merusak pada setiap gerakan. Biarlah, semua mencaci tindakan pengecut Wira Jayanto yang seolah lari. "Aku tidak merasa perlu membuktikan apa dan pada siapa. Sejak awal, eksistensi kita memang tidak nyata," tutur Mandala, saat kutanya perkara anggapan dan pandangan orang terhadapnya.

Sungguh, aku rindu rampai aksara darinya yang jarang bersuara. Dia tahu benar, cara membuat orang lain bungkam. Bisu tercerahkan, atau bisu memamah kata yang sulit dicerna akal.

Kezahiran bukanlah aturan Mandala memandang dunia. Rahasia, merupakan harta besar yang ia jaga. Tak kusangka, tersembunyi pula rasa sakit yang baginya haram menjadi keluhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun