Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Halimun Terakhir #11

25 September 2018   08:11 Diperbarui: 25 September 2018   08:46 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini berkaitan erat dan menjadi lanjutan dari Fragmen 10. Lembah Halimun. Bacalah fragmen sebelumnya untuk memahami semesta mereka secara utuh.

***

Fragmen 11. Halimun Terakhir

Semesta dalam perspektif orang pertama.

Lambang MJ terakhir, terukir di dinding batu berundak. Cukup jauh dari ukiran sebelumnya. Dalam jarak enam meter, tak ada lagi ukiran huruf yang tersisa. 

Kenapa? Di sekelilingnya, tak terlihat naungan yang menjanjikan perlindungan.

Perlahan, kepanikan luruh. Akal sehatku kembali utuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mata angin. Tak ada penunjuk arah. Aku menggerung kesal. Jalan pulang hanya ada di awang-awang.

Lelah. Kuhempaskan badan tepat di bawah huruf bermasalah itu. Samar-samar terdengar suara reruntuhan. Tidak sampai dua detik, aku terperosok. Melesak ke sebuah ceruk yang tertutup bongkahan batu dan dedaunan kering.

Sekuat mental, aku menahan teriakan. Ini bisa saja lubang ular, kelelawar, anjing hutan, atau penghuni belantara lainnya. Membuat keributan bukan ide bagus jika ingin tetap selamat.

Tanpa suara, aku bergerak pelan. Gelap pekat. Kukerjapkan mata menyesuaikan intensitas cahaya. Segala kewaspadaan sirna. 

Mataku bertumbukan pada benda-benda lusuh yang bergeletakan di lantai gua. Terserak di samping ranting-ranting kering kehitaman, bekas terbakar.  

Perasaanku begah, memandanginya takjub seolah menemukan timbunan harta. Ya, ya, ini memang harta karunku. Tas keril lusuh, ikat kepala, dan buku catatan berlabel MJ. Tidak salah lagi, ceruk ini suaka bagi Mandala Jayanto.

Seketika, aku jadi rindu berekspresi. Mengangkat tangan, salto, menari, atau berbagai gerakan lain yang menunjukkan kegembiraan. Namun, sendi, otot, dan tulangku kaku bagai patung pahatan kayu. Diam, geming, dengan bibir rapat terkunci. Hatiku berubah.

Satu hal membuatku kembali resah.

Tidak ada sendok dan garpu bergagang merah.

***

Jam tangan mengabarkan telah pukul empat sore. Sudah berjam-jam aku hanya duduk bersila menggamit lutut. Menghadap pintu masuk, mereka-reka skenario yang mungkin terjadi.

Dari rasa bahagia, hingga nyaris putus asa. Tak ada manusia yang muncul.

Keril besar Om Jay kosong. Tidak kulihat ransel milik Ayah. Buku catatan kecil itu mungkin menyimpan informasi berharga, tapi aku tak berhak membukanya.

Bekas api unggun, barang-barang Om Jay, daun-daun lebar yang bisa dijadikan piring, lalu sudah. Tidak ada lagi yang bisa dieksplorasi. Kalaupun ada hal lain, mungkin sedang dibawa pergi.

Krrsk!

Aku tersentak, menegakkan tulang belakang. Ceruk ini mendadak gelap. Cahaya dari pintu masuk terhalang sebentuk badan. "Siapa itu?!" tanyaku setengah berseru.

Sosok itu terkejut, gerakannya panik. Ia menarik diri dari ceruk, dan berlari menjauh. Aku sontak mengejarnya.

Tapi, di antara kabut, tak banyak yang bisa kulihat. Biarlah. Aku masih bisa mendengar suara derap langkah untuk mengetahui bahwa dia cepat dan kuat. Napasku kepayahan menyainginya memanjat bebatuan dan melompati batang pinus tumbang. 

Hampir delapan puluh persen, ia adalah Om Jay. Aku tidak bisa membayangkan Ayah bisa melakukannya.

Semakin lama berlari, tidak ada lagi getar suara yang bisa kuikuti. Aku tersungkur di dataran rumput. Tak ada lagi selimut putih. Lembah Swarga telah berada jauh di bawah jurang. 

Aku tersuruk di tepi lembah, merengkuh batu besar untuk dijadikan tempat bersandar. Mengatur napas. Dalam hati, memarahi diri sendiri. Menatap cengang ke papan kayu bertuliskan POS LIMA. Sial, belum tentu aku bisa menemukan ceruk itu lagi.

"Aaaaargh!" teriakku sepuasnya. Beberapa orang yang tengah mendirikan tenda memandangiku ragu-ragu. Aku menarik kasar ikat kepala, membebaskan rambut terurai berantakan.

Aku mendengus. Melangkah gontai, menuju tempat pendirian tenda. Melempar tatapan nanar ke arah Lembah Swarga. Menunggu rombongan Yovan tiba, untuk membuatku merasa jadi manusia.

Seribu delapan ratus tiga puluh tujuh detik. Kuhitung waktu yang berlalu, menatah jaringan otak yang tak karuan memproses kejadian. Terlalu banyak langkah gegabah yang kulakukan sepanjang hari. Aku mengacaukan benang pencarian yang hampir terajut sempurna.

Tiga ratus lima puluh delapan detik kemudian, sekumpulan orang yang kunantikan tiba di pos lima. Bersorak sorai bagai rombongan sirkus orang-orang kota. Yovan tersenyum sumringah. "Gimana, Ren? Rusuh banget kayaknya," tanyanya, memandangi sarang burung di kepalaku yang disinyalir adalah rambut.

"Kacau, Van. Malas ngebahasnya," jawabku datar.

Yovan mengangguk-angguk. Dia sangat tahu, aku tak bisa dipaksa untuk bercerita.

"Istirahat sejenak lah, Ren. Ada yang khawatir tuh daritadi."

"Khawatir?"

"Itu yang pakai baju hitam, rambut keriting. Tanya soal kamu terus," ujar Yovan seraya menunjuk ke satu arah.

Aku melihat ke belakang, mencari ciri-ciri yang disebutkan Yovan. Seorang gadis, menunduk salah tingkah saat kami beradu pandang. Aku seperti mengenal wajahnya yang tampak jauh lebih muda dariku. Tidak yakin juga, tapi kurasa kami pernah bertemu.

"Dia kenal saya, Van?"

Yovan mengendikkan bahu. "Entahlah," katanya.

Tidak ingin ambil pusing, kulepaskan pandangan ke cakrawala. Tapi, awan-awan senja berarak malu, menarik perhatian. Gumpalan itu bersemu nila, warna kesukaan Neira.

Terwujud senyumannya, terulas di utara.

***

Memasuki malam terakhir di Gunung Parung bagi rombongan Yovan, tapi tidak bagiku. Aku tidak rela pulang dengan kunci yang hampir tergenggam seujung jemari. Gua bawah tanah di perut Lembah Swarga harus kusambangi sekali lagi. Kalau perlu, aku siap menginap. Menunggu kedatangan siapa saja yang tinggal di sana.

Resah dengan hangat api unggun yang terlalu ramah, aku beranjak menuju lembah. Menyapa kebekuan dan terpaan angin pegunungan. Pada deru mereka, aku biasa berkeluh kesah. Penghuni gunung tua yang penggerutu dan pemarah. Mampu memaksaku berpikir lebih keras, dan tidak bersikap lemah.

Sayup tergerus gempuran angin, kudengar suara kaki melangkah ragu-ragu. Cepat, aku menoleh. Gadis baju hitam mengekoriku. Siluet rambut ikal kecil-kecil itu membuatnya mudah dikenali.

Aku membiarkannya duduk di batu yang tak jauh. Pikirku, dia canggung dan pendiam. Tidak akan terlalu mengganggu.

Sesuai dugaan, kami menghabiskan bermenit-menit mengeram kebisuan. Dia seperti ingin bicara, tapi aku tidak mendengar satu suara pun terlontar. Aku memancingnya dengan pertanyaan, hanya dijawab singkat tanpa dialog lanjutan.

Biarlah, mungkin dia kelelahan.
Tidak berniat melanjutkan basa-basi, kubenamkan diri dalam suramnya pepohonan malam. Mengagumi bentuk-bentuk mencekam. Mereka berbaris rapi laiknya penjaga alam. Ada yang kerucut, tajam, bergumpal-gumpal, menyerupai kadal, hingga berbentuk orang.

Eh, orang?

Aku memicingkan mata, memastikan objek penglihatan. Di lereng landai beberapa meter ke barat, sosok hitam itu berdiri tegak. Tak ada pergerakan. Bukan pohon, bukan batuan. Dia bisa jadi Om Jay, atau ... Ayah.

Otakku berputar kencang, bangkit dari duduk. Berpamitan pada gadis muda sunyi yang masih geming di atas batu.

Segera kusambar keril dari dalam tenda. Berkata pada Yovan, tidak perlu menunggu. Aku tidak akan ikut pulang ke Karagan.

Kutarik napas begitu dalam. Kakiku bergerak tangkas melompati dahan-dahan mati, menyiapkan diri untuk adegan kejar-kejaran. 

Sekali lagi. Sekali lagi saja. Semoga.

***

Kecamuk pikiran riuh bergemuruh. Di ujung pandangan, celah batuan memancarkan seberkas sinar. Memecah hitam kegelapan dan pekat kabut malam.

Kali ini jauh berbeda, tanpa drama berlebihan. Dia tidak berlari, aku tidak mengejar.

Lamat-lamat, kucoba mengenali sosok laki-laki di hadapan. Tapi, ia terus berjalan konstan. Aku mengamatinya sebatas punggung dan rambut ombak sebahu. Tanpa penerangan tambahan, ia membawa kami ke Lembah Swarga, kembali ke gua.

Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya tanpa kepayahan. Kami bahkan tidak bicara apa-apa, dan aku tidak berupaya menjajarinya.
Ritme langkahnya melambat di depan gua. 

Kami semakin dekat. Tersorot cahaya, ia berdiri tegap. Membentuk siluet setinggi Ayah ... atau Om Jay.

"Masuklah," ujarnya.

Aku menurut. Jika hanya suara, aku masih kesulitan menentukan identitasnya. Selain takdir dan pilihan hidup, Ayah dan Om Jay nyaris kembar identik.

Laki-laki itu duduk bersandar pada dinding batu. Mendekati kobar api unggun, aku merinding. Bukan karena hawa panas yang tiba-tiba menyeruak, melainkan desiran rindu yang membanjiri aliran darah. 

Wajah itu, tatapan itu, bahasa tubuh itu.

"Ayah ..." Panggilan itu terucap begitu saja. Lidahku kaku, kelu. Terlalu banyak yang ingin tumpah. Setetes air mata jatuh ke tanah.

"Apa kabar, Ren?" tanyanya datar. Roman wajahnya sulit dibaca.

Aku tidak menjawab, sibuk menata tanda tanya. Tidak ada waktu untuk apa kabar atau sekadar sapa tanpa makna. Biar hening mengitari jarak di antara kami. Untuk saat ini, diam lebih mampu aku hargai.

Tetesan kedua menyusul bergulir di titik tanah yang sama. Aku mengamati wujudnya. Topi hitam lusuh, kemeja coklat pudar, celana penuh debu, dan sandal gunung. 

Matanya lelah, kumis dan janggut tercukur tak teratur, wajahnya tampak tua, tapi membara. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang kuingat. Otot-otot tanganku gatal ingin menghambur, memeluknya erat.

"Ini bukan tempat kamu, Ren," katanya.

"Kenapa?"

"Pulanglah, jaga ibu dan adikmu saja."

Alisku mengernyit, berdecak kesal. Aku sadar tidak seharusnya marah, tapi luka memicu emosiku buncah. "Bukankah harusnya Reno yang bilang begitu pada Ayah? Kenapa Ayah pergi meninggalkan kami? Meninggalkan tanggung jawab, meninggalkan Karagan, semuanya. Kenapa bukan Ayah yang menjaga mereka?"

Laki-laki tua itu geming. "Ren..." bisiknya pelan. "Ayah kamu tidak bisa pulang."

Aku tertegun, menghela keraguan. Apakah dia adalah Om Jay? Lalu, dimana Ayah berada? Hanya ada satu cara untuk memastikan.

"Saya Jay," ujarnya sebelum aku sempat bertanya.

"Om Jay? Di mana Ayah sekarang?"

"Itu pertanyaan bagus, tapi tidak perlu kamu tanyakan."

"Maksudnya?" tanyaku kebingungan.

Laki-laki itu beranjak perlahan. Mengambil sebatang kayu berlilit belacu kumal, menyulutnya menjadi obor. Dengan gerakan kepala, ia memintaku mengikutinyaUntuk kesekian kali, tengkukku merinding.

Ada yang tidak beres. Kami memasuki lorong gelap di belakang dinding. Batu besar sandaran Om Jay tadi seperti sekat antarruangan. Gua ini lebih luas dari yang kubayangkan.

Tidak sampai sepuluh langkah, Om Jay berhenti. Ia tercenung menatap ke sebuah objek. Pandanganku terhalang. Aku memiringkan kepala, berusaha melihat dari balik punggungnya.

Paru-paruku mendadak sesak. Sel-sel tubuh kembali berkabar soal ujung pencarian. Tanpa perlu penjelasan, persendianku hilang daya. Tidak ingin percaya. Tapi, mimpi bertabur bintang tidak pernah lebih baik dari kenyataan yang menyakitkan.

Om Jay bergeser dari tempatnya berdiri. Aku mengerjap, lemas, tersuruk di hadapan segunduk tanah. Di atasnya, bertaburan bunga kamboja, serunai, dan beragam bunga hutan lainnya.

Sebongkah batu pipih ditegakkan menjadi pusara. Dua kayu tipis tersandar. Dibentuk serupa huruf. Inisial. W dan J. Wira Jayanto?

Lama, aku tidak ingat cara merangkai kata. Jiwaku terapung-apung. Hampa. Tak ada air mata. Tak ada kesedihan. Tak ada amarah. Kosong.

Hanya aku, pusara, dan firasat berkelebat.

Aku berserah, menunduk, pasrah.

Habis sudah kerusuhan. Cukup sudah perlawanan. Berakhir sudah medan perang. Ujung pencarianku tertambat pada nisan bisu yang enggan untuk berkisah.

Perlahan dan tak mampu kujabarkan dengan rasio akal pikiran, kekosongan itu terisi oleh perasaan baru yang lama kukenal. Hangat dan nyaman. Mengalir tenang hingga penuh dan berkelimpahan. 

Aku tersenyum tipis. Mendengar bisikan lembut yang tak bisa diwakilkan oleh bahasa maupun aksara.

Bertahun-tahun, setelah jutaan langkah, goresan luka, tangisan rindu, sakit hati, kini terbayar sudah. Tuntas. Lunas.

Hatiku terpuaskan oleh paham yang tak mudah dijelaskan. Aku menatap penuh kasih pada dua huruf dari kayu yang tergolek di batu pusara. Tanpa ketakutan, kekhawatiran, maupun keinginan.

Bahkan, aku kini kehabisan pertanyaan. Aku tidak butuh alasan, waktu, dan semua yang cuma batas dimensi. 

Aku turut bahagia, Ayah menemui cintanya sendiri. Setiap kita juga, nanti. Pasti.

Ringan, aku berdiri. Berjalan tanpa beban.

Masih mengulum senyum, aku kembali ke pelataran api unggun. Menyerap senyap, menghangatkan diri. Tidak dengan kobaran api, melainkan nurani.

"Ayah pernah cerita soal Neira?"

"Anak sahabatnya itu? Ya, dia cerita banyak. Gadis yang baik."

"Kami akan menikah, datanglah."

Wajah lelah laki-laki itu berubah cerah. "Serius kamu? Kapan?"

"Belum ditentukan. Kami membutuhkan restu Ayah."

"Ayah kamu pasti merestui," ujarnya dengan senyuman.

Aku balas tersenyum, lebar. Laki-laki tua itu tertawa lega, cahaya matanya mengguratkan buncah bahagia. 

Aku juga. Suara tawa kami menggema, membahana mengisi gua. 

Dua jiwa yang lama terpasung, kini terbang bersamaan.

Retas. Lepas. Bebas.

 ....bersambung.

***

Cerita ini merupakan fragmen kesebelas dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton 

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

Fragmen 7. Fatamorgana (2)

Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai

Fragmen 9. Sumpah Sampah

Fragmen 10. Lembah Halimun



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun