"Itu pertanyaan bagus, tapi tidak perlu kamu tanyakan."
"Maksudnya?" tanyaku kebingungan.
Laki-laki itu beranjak perlahan. Mengambil sebatang kayu berlilit belacu kumal, menyulutnya menjadi obor. Dengan gerakan kepala, ia memintaku mengikutinyaUntuk kesekian kali, tengkukku merinding.
Ada yang tidak beres. Kami memasuki lorong gelap di belakang dinding. Batu besar sandaran Om Jay tadi seperti sekat antarruangan. Gua ini lebih luas dari yang kubayangkan.
Tidak sampai sepuluh langkah, Om Jay berhenti. Ia tercenung menatap ke sebuah objek. Pandanganku terhalang. Aku memiringkan kepala, berusaha melihat dari balik punggungnya.
Paru-paruku mendadak sesak. Sel-sel tubuh kembali berkabar soal ujung pencarian. Tanpa perlu penjelasan, persendianku hilang daya. Tidak ingin percaya. Tapi, mimpi bertabur bintang tidak pernah lebih baik dari kenyataan yang menyakitkan.
Om Jay bergeser dari tempatnya berdiri. Aku mengerjap, lemas, tersuruk di hadapan segunduk tanah. Di atasnya, bertaburan bunga kamboja, serunai, dan beragam bunga hutan lainnya.
Sebongkah batu pipih ditegakkan menjadi pusara. Dua kayu tipis tersandar. Dibentuk serupa huruf. Inisial. W dan J. Wira Jayanto?
Lama, aku tidak ingat cara merangkai kata. Jiwaku terapung-apung. Hampa. Tak ada air mata. Tak ada kesedihan. Tak ada amarah. Kosong.
Hanya aku, pusara, dan firasat berkelebat.
Aku berserah, menunduk, pasrah.