Sosok itu terkejut, gerakannya panik. Ia menarik diri dari ceruk, dan berlari menjauh. Aku sontak mengejarnya.
Tapi, di antara kabut, tak banyak yang bisa kulihat. Biarlah. Aku masih bisa mendengar suara derap langkah untuk mengetahui bahwa dia cepat dan kuat. Napasku kepayahan menyainginya memanjat bebatuan dan melompati batang pinus tumbang.Â
Hampir delapan puluh persen, ia adalah Om Jay. Aku tidak bisa membayangkan Ayah bisa melakukannya.
Semakin lama berlari, tidak ada lagi getar suara yang bisa kuikuti. Aku tersungkur di dataran rumput. Tak ada lagi selimut putih. Lembah Swarga telah berada jauh di bawah jurang.Â
Aku tersuruk di tepi lembah, merengkuh batu besar untuk dijadikan tempat bersandar. Mengatur napas. Dalam hati, memarahi diri sendiri. Menatap cengang ke papan kayu bertuliskan POS LIMA. Sial, belum tentu aku bisa menemukan ceruk itu lagi.
"Aaaaargh!" teriakku sepuasnya. Beberapa orang yang tengah mendirikan tenda memandangiku ragu-ragu. Aku menarik kasar ikat kepala, membebaskan rambut terurai berantakan.
Aku mendengus. Melangkah gontai, menuju tempat pendirian tenda. Melempar tatapan nanar ke arah Lembah Swarga. Menunggu rombongan Yovan tiba, untuk membuatku merasa jadi manusia.
Seribu delapan ratus tiga puluh tujuh detik. Kuhitung waktu yang berlalu, menatah jaringan otak yang tak karuan memproses kejadian. Terlalu banyak langkah gegabah yang kulakukan sepanjang hari. Aku mengacaukan benang pencarian yang hampir terajut sempurna.
Tiga ratus lima puluh delapan detik kemudian, sekumpulan orang yang kunantikan tiba di pos lima. Bersorak sorai bagai rombongan sirkus orang-orang kota. Yovan tersenyum sumringah. "Gimana, Ren? Rusuh banget kayaknya," tanyanya, memandangi sarang burung di kepalaku yang disinyalir adalah rambut.
"Kacau, Van. Malas ngebahasnya," jawabku datar.
Yovan mengangguk-angguk. Dia sangat tahu, aku tak bisa dipaksa untuk bercerita.