"Kami akan menikah, datanglah."
Wajah lelah laki-laki itu berubah cerah. "Serius kamu? Kapan?"
"Belum ditentukan. Kami membutuhkan restu Ayah."
"Ayah kamu pasti merestui," ujarnya dengan senyuman.
Aku balas tersenyum, lebar. Laki-laki tua itu tertawa lega, cahaya matanya mengguratkan buncah bahagia.Â
Aku juga. Suara tawa kami menggema, membahana mengisi gua.Â
Dua jiwa yang lama terpasung, kini terbang bersamaan.
Retas. Lepas. Bebas.
 ....bersambung.
***
Cerita ini merupakan fragmen kesebelas dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!