Sayup tergerus gempuran angin, kudengar suara kaki melangkah ragu-ragu. Cepat, aku menoleh. Gadis baju hitam mengekoriku. Siluet rambut ikal kecil-kecil itu membuatnya mudah dikenali.
Aku membiarkannya duduk di batu yang tak jauh. Pikirku, dia canggung dan pendiam. Tidak akan terlalu mengganggu.
Sesuai dugaan, kami menghabiskan bermenit-menit mengeram kebisuan. Dia seperti ingin bicara, tapi aku tidak mendengar satu suara pun terlontar. Aku memancingnya dengan pertanyaan, hanya dijawab singkat tanpa dialog lanjutan.
Biarlah, mungkin dia kelelahan.
Tidak berniat melanjutkan basa-basi, kubenamkan diri dalam suramnya pepohonan malam. Mengagumi bentuk-bentuk mencekam. Mereka berbaris rapi laiknya penjaga alam. Ada yang kerucut, tajam, bergumpal-gumpal, menyerupai kadal, hingga berbentuk orang.
Eh, orang?
Aku memicingkan mata, memastikan objek penglihatan. Di lereng landai beberapa meter ke barat, sosok hitam itu berdiri tegak. Tak ada pergerakan. Bukan pohon, bukan batuan. Dia bisa jadi Om Jay, atau ... Ayah.
Otakku berputar kencang, bangkit dari duduk. Berpamitan pada gadis muda sunyi yang masih geming di atas batu.
Segera kusambar keril dari dalam tenda. Berkata pada Yovan, tidak perlu menunggu. Aku tidak akan ikut pulang ke Karagan.
Kutarik napas begitu dalam. Kakiku bergerak tangkas melompati dahan-dahan mati, menyiapkan diri untuk adegan kejar-kejaran.Â
Sekali lagi. Sekali lagi saja. Semoga.
***