Perasaanku begah, memandanginya takjub seolah menemukan timbunan harta. Ya, ya, ini memang harta karunku. Tas keril lusuh, ikat kepala, dan buku catatan berlabel MJ. Tidak salah lagi, ceruk ini suaka bagi Mandala Jayanto.
Seketika, aku jadi rindu berekspresi. Mengangkat tangan, salto, menari, atau berbagai gerakan lain yang menunjukkan kegembiraan. Namun, sendi, otot, dan tulangku kaku bagai patung pahatan kayu. Diam, geming, dengan bibir rapat terkunci. Hatiku berubah.
Satu hal membuatku kembali resah.
Tidak ada sendok dan garpu bergagang merah.
***
Jam tangan mengabarkan telah pukul empat sore. Sudah berjam-jam aku hanya duduk bersila menggamit lutut. Menghadap pintu masuk, mereka-reka skenario yang mungkin terjadi.
Dari rasa bahagia, hingga nyaris putus asa. Tak ada manusia yang muncul.
Keril besar Om Jay kosong. Tidak kulihat ransel milik Ayah. Buku catatan kecil itu mungkin menyimpan informasi berharga, tapi aku tak berhak membukanya.
Bekas api unggun, barang-barang Om Jay, daun-daun lebar yang bisa dijadikan piring, lalu sudah. Tidak ada lagi yang bisa dieksplorasi. Kalaupun ada hal lain, mungkin sedang dibawa pergi.
Krrsk!
Aku tersentak, menegakkan tulang belakang. Ceruk ini mendadak gelap. Cahaya dari pintu masuk terhalang sebentuk badan. "Siapa itu?!" tanyaku setengah berseru.