"Istirahat sejenak lah, Ren. Ada yang khawatir tuh daritadi."
"Khawatir?"
"Itu yang pakai baju hitam, rambut keriting. Tanya soal kamu terus," ujar Yovan seraya menunjuk ke satu arah.
Aku melihat ke belakang, mencari ciri-ciri yang disebutkan Yovan. Seorang gadis, menunduk salah tingkah saat kami beradu pandang. Aku seperti mengenal wajahnya yang tampak jauh lebih muda dariku. Tidak yakin juga, tapi kurasa kami pernah bertemu.
"Dia kenal saya, Van?"
Yovan mengendikkan bahu. "Entahlah," katanya.
Tidak ingin ambil pusing, kulepaskan pandangan ke cakrawala. Tapi, awan-awan senja berarak malu, menarik perhatian. Gumpalan itu bersemu nila, warna kesukaan Neira.
Terwujud senyumannya, terulas di utara.
***
Memasuki malam terakhir di Gunung Parung bagi rombongan Yovan, tapi tidak bagiku. Aku tidak rela pulang dengan kunci yang hampir tergenggam seujung jemari. Gua bawah tanah di perut Lembah Swarga harus kusambangi sekali lagi. Kalau perlu, aku siap menginap. Menunggu kedatangan siapa saja yang tinggal di sana.
Resah dengan hangat api unggun yang terlalu ramah, aku beranjak menuju lembah. Menyapa kebekuan dan terpaan angin pegunungan. Pada deru mereka, aku biasa berkeluh kesah. Penghuni gunung tua yang penggerutu dan pemarah. Mampu memaksaku berpikir lebih keras, dan tidak bersikap lemah.