"Ri!" ucap Leo kaget. Tangannya dengan lembut menyentuh mata Riri yang sembab dan merah. "Ini pasti gara-gara semalam lo gak tidur, kan?!"
Riana menurunkan tangan Leo dari wajahnya. Ia hanya mengangguk.
"Lo nangis?" tanya Leo lagi. Riana diam terpaku. "Gara-gara Daniel?" lanjutnya.
"Bukan." Riana menggelengkan kepalanya. Jauh dari lubuk hatinya, dia ingin berkata, 'iya, Leo. gue nangis lagi karena laki-laki yang gue cintai,'. Tapi Riana berfikir dua kali sebelum menceritakan kejadian semalam kepada Leo. Sahabatnya itu pasti enggak bakalan terima kalau Riana menangis kesekian kalinya oleh Daniel.
"Terus kenapa? Katanya mau cerita! Waktu subuh tadi ada apa nelpon gue?" pertanyaan Leo bertubi-tubi kepada Riana. Gadis itu membuang nafas sejenak. Sepertinya dia akan berbohong kepada lelaki di sampingnya.
"Jadi gini, sebenarnya waktu semalem gue nulis. Pulang sekolah kemarin, di otak gue tiba-tiba ide bermunculan gitu aja. Sayangkan, kalau gue lewatin?" Riana mengangkat bahunya. "Ya udah, gue nulis aja sampai subuh." Jawab Riana mencoba meyakinkan Leo.
"Terus kenapa lo nelpon gue?"
"Kan gue udah bilang, cuma mau ganggu lo!" ucap Riana sambil kembali memasangkan kaca mata hitamnya. Dia berharap Leo percaya dengan apa yang ia katakan. Leo mengerutkan keningnya dan memasang wajah masam kepada Riana. Tapi itu lebih baik, daripada Riana terus dicecar dengan pertanyaan yang menyangkut dirinya dengan Daniel.
Leo kembali membaca bukunya. Tapi, dia masih penasaran dengan perilaku gadis itu.
"Barusan lo darimana?" tanya Leo dengan pandangan yang masih mengarah ke bukunya.
"Dari toilet, ngecek mata. Hehe." Riana tertawa nyengir. Kali ini gadis itu berucap jujur. Leo hanya menjawab "Oh" dengan datar.