"Ya, lagian kamu susah banget di bilangin."
"Ya, maaf lah. Biasanya malas-malas gini aku nggak sampe di hukum."
"Makanya jadi anak tuh rajin. Kayak aku."
"Idih. Ya deh, Kak.."
Hingga bel pulang berbunyi. Azi lebih dulu meninggalkanku pulang. Dia di jemput kakaknya. Sedangkan aku harus menyelesaikan surat menyebalkan ini dulu.
Aku mengerjakannya dengan tergesa-gesa. Hari ini aku pulang naik angkot ke pasar. Ada novel baru terbitan favoritku di sana. Mbak-mbak itu menjualnya dengan harga murah. Aku telah mengumpulkan uang jauh-jauh hari untuk itu. Dan novelnya best seller. Edisi terbatas. Aku harus cepat sebelum kehabisan.
Aku merutuk sebal dalam hati. Andai saja aku belajar semalam dan tidak melakukan hal itu, ini semua tidak akan terjadi.
Dua puluh menit berlalu, akhirnya surat ini bisa kuselesaikan. Aku berjalan menuju ruang guru dengan langkah tergesa-gesa.
Sesampainya di sana, aku memberikan suratnya kepada buk Reni. Namun, bukannya dibolehkan pergi, buk Reni malah menahanku dan menceramahiku panjang lebar. Sampai sepuluh menit kemudian. Sungguh aku menyesal malas belajar.
"Sekarang kamu berikan kertas ini kepada kedua orangtuamu dan minta tanda tangan mereka di kertas ini. Besok sudah harus ada di tangan Ibuk. Paham?"
"Iya, Buk," aku menunduk.