***
Di rumah yang berlantai tanah kering itu, Ihsan terduduk pasrah di salah satu sudut ranjangnya yang berkasur lapuk. Dilepasnya topeng dan diamatinya lagi baik-baik. Benarlah, retakan yang kemarin muncul memang sudah tertutup dengan sempurna. Mata Ihsan mengamati dengan saksama.
“Apa?! Kok ada retakan lagi?” Bisiknya demi melihat retakan lain yang andai retakan pertama masih ada, kedua ujung retakan itu bertemu pada satu sisi. Memperlihatkan adanya hubungan antara retakan pertama dengan retakan kedua.
“Retakan itulah yang membuat hidupmu masih buruk meskipun hatimu telah dekat dengan sang Pemilik Topeng!” Hatinya berbisik. Lalu apa gerangan kesalahan yang dibuatnya. Tiba-tiba dia teringat akan Dewi, isrinya dan Hakin, anaknya.
“Dewi, gimana kabarmu sekarang? Ya Allah, bukannya kamu hamil tua waktu aku tinggal? Trus, gimana kabar anak kedua kita?” Bisiknya. Setengah jam kemudian hatinya diaduk-aduk emosi dan rasa penyesalan yang teramat berat. Air asin tak kunjung berhenti mengucur dari matanya.
Samar percakapan dengan Pak Ali terulang di kepalanya.
“Eh, ngomong-ngomong gimana kabar keluargamu di sana? Kata orang-orang hidupmu sudah sukses di sana, punya istri cantik dan dianugerahi anak yang sehat, serta sebuah toko bangunan yang semakin maju?” Tanya Pak Ali.
“Ah, Pak Ali bisa saja! Hmm, sekarang semuanya aku tinggalkan, Pak!”
“Loh, kenapa!”
“Gara-gara mereka semua aku jadi jauh dari Allah! Jadi aku putuskan untuk kembali mendekat kepada Allah dengan khusu’ beribadah dan meninggalkan mereka!”
“Loh, apa aku nggak salah dengar, Le!?”