Mohon tunggu...
Rezha Rizqy
Rezha Rizqy Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi

Perempuan introvert yang kadang mengalami distraksi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Topeng

28 September 2015   02:54 Diperbarui: 28 September 2015   02:54 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Kriet… Kriet.” Pintu lemari melenguh lirih, pertanda sudah mulai dimakan usia.

“Bantu aku lagi hari ini, Topeng!” Bisiknya Ihsan kepada topengnya. Perlahan tangannya memakaikan topeng itu di wajahnya. Lalu Ihsan bercermin.

“Tuhan, betapa tampannya aku!” Ujarnya pada dirinya sendiri.

Bergantian kedua kakinya melangkah menuju sawah Pak Joni, majikannya. Sebagai buruh tani Ihsan harus segera berangkat sebelum matahari sempurna terbit dari peraduannya.

“Assalamu Alaikum, Pak Ali! Mau kemana sepagi ini?” Sapa Ihsan kepada tetangganya yang sudah berumur lebih dari setengah abad.

“Wa’alaikum Salam Nak. Oh, bapak mau menjual kambing. Sudah penuh kandang kambing di belakang!” Jawab lelaki tua itu.

“Ah, bisa saja Bapak! Mari, Pak.” Ihsan memang selalu menyapa warga desa yang kebetulan dilewatinya.

Singkat cerita, matahari telah kembali ke peraduannya. Dengan baju lusuh dan basah oleh keringat, Ihsan kembali memanggul cangkulnya. Kali ini bukan rumahnya yang dituju, melainkan rumah Pak Joni. Mengambil gaji bulan ini.

“Nih! Cukup dua ratus ribu aja, ya! Kamu sih, sering ninggalin sawah buat ibadah. Kan kasihan padi-padiku dihisap belalang.” Kata Pak Joni. Ihsan tak bisa membantah. Dilangkahkannya kedua kakinya bergantian menuju rumahnya.

Sebenarnya dongkol juga hatinya. Tapi gara-gara topeng ajaibnya, Ihsan masih saja terlihat tampan dan berseri. Tetap tersenyum dan bersyukur atas apa yang diterimanya hari ini.

Pada malam yang panjang, Ihsan menggelar sajadahnya di atas tanah lantai rumahnya yang dingin. Menyembah Tuhannya, bersujud dan menangis kepada-Nya. Hanya kepada Tuhan saja dia berani menanggalkan topengnya. Menunjukkan raut muka asli yang sedih, tapi masih juga bersyukur atas topeng yang dimilikinya hingga hidupnya tetap bahagia meski harta tak berpihak kepadanya.

*****

Beberapa bulan berlalu, hampir setahun.

Hidup melaju lebih cepat dari aliran air. Lewat kesabaran dan sholat yang tiada putus-putus, Tuhan membuktikan janjinya. Roda hidup Ihsan si pemuda miskin dan baik hati akhrinya berputar. Ditolong-Nya Ihsan, seorang warga yang saleh dan baik budinya kepada sesama. Datanglah pada suatu ketika seorang pengusaha toko bangunan yang pernah ditolongnya waktu kecelakaan habis dijambret di pinggir jalan. Dibawanya ke rumah sakit terdekat, dengan tiga ratus ribu yang baru saja dua jam yang lalu masuk ke dompetnya, ditolongnya orang itu.

“Makasih, ya, Nak! Bapak berhutang banyak kepadamu!” Pemilik toko bangunan itu berterimakasih.

“Ah, nggak apa-apa, Pak! Ini pertolongan dari Allah.” Jawab Ihsan.

Akan tetapi ternyata Allah menolong Ihsan lewat Pak Imam, begitu namanya. Suatu hari kala matahari sudah tenggelam, Pak Imam datang ke rumahnya. Menawari pekerjaan sebagai karyawan toko bangunan dengan gaji yang sepadan dengan kerjanya.

“Puji syukur ke hadirat-Mu, ya Tuhan.” Dengan berlinang air mata Ihsan berterimakasih kepada Pak Imam. Ternyata pertolongan Allah tak sampai segitu saja. Enam bulan berjalan, Ihsan menjadi karyawan teladan yang selalu datang tepat waktu, dapat dipercaya, dan hasil kerjanya memuaskan. Tanpa sepengetahuan Ihsan, ada sepasang mata yang selalu menatapnya. Sepasang mata yang selalu terpesona pada raut wajah yang selalu bahagia di atas kesederhanaannya. Sepasang mata yang pada akhirnya berani bilang kepada ayahnya untuk merelakannya menjadi istri Ihsan.

“Ihsan itu adalah karyawan kesayangan bapak. Kalau ternyata putri tersayangku minta untuk dinikahkan dengannya, apa boleh buat. Berarti inilah jalan jodohmu!” Mata Pak Imam berkaca-kaca mendengar permintaan putri bungsunya. Tak berapa lama diutarakan pula kepada Ihsan hajatnya menjodohkan keduanya.

“Menikah, Pak?! Dengan putri Bapak? Oh, alangkah tidak pantasnya aku yang hina ini bersanding dengan putri Bapak?” Jawab Ihsan.

“Bukankah usiamu sudah masuk kepala tiga? Pekerjaan layak telah kau dapat? Lalu apa yang menghalangimu melaksanakan sunnah Rosul?” Pertanyaan Pak Imam barusan menyadarkan Ihsan untuk menyempurnakan setengah dari agamanya. Hingga dengan berterimakasih dan bersyukur kepada Tuhan diterimalah permintaan Pak Imam.

Satu bulan kemudian diselenggarakanlah pernikahan antara kedua pasangan itu. Pak Imampun saking sayangnya kepada menantunya dan atas hasil kerja yang selalu memuaskan, diangkatlah Ihsan sebagai kepala toko bangunan. Segala yang berhubungan dengan manajemen dan lain-lain dipercayakannya kepada Ihsan. Maka Maha Benar Allah, Maha yang tak pernah menyalahi janji-Nya.

Kini Ihsan juga sudah tak perlu tinggal di rumahnya yang berdinding bata sebagian bambu sebagian. Karena Pak Imam lagi-lagi menghadiahkan sebuah rumah kecil dan sederhana untuk ditinggali bersama istrinya. Selang tiga bulan kemudian Dewi, istrinya diketahui hamil setelah periksa ke dokter gara-gara sering merasa mual. Lagi-lagi kebahagiaan mampir di keluarga baru Ihsan. Beberapa bulan berjalan, lahirlah seorang putra dengan tubuh sempurna dan tangis keras memecah kekhawatiran Ihsan dan Pak Imam yang menunggu di luar ruang persalinan. Lengkaplah sudah kebahagiaan Ihsan.

“Topeng, kini aku nggak perlu pake kamu lagi!” Bisik Ihsan kepada topeng kesayangannya.

“Hidupku sudah benar-benar bahagia dan aku tak perlu berpura-pura bahagia.” Lanjutnya sambil menutup pintu lemarinya barunya yang tak lagi melenguh ‘kriet-kriet’.

***

Lima tahun berselang.

Toko bangunan yang dipegangnya menjadi maju dan semakin besar dan lengkap di antara toko bangunan yang lain. Hidup Ihsan makin sibuk. Toko buka jam tujuh pagi dan baru tutup jam sembilan malam. Belum lagi jika harus merekap keuangan dan mendata invetaris toko serta menghitung gaji pegawai. Benarlah, kini harta dan kecukupan ada ditangannya. Namun, serasa dia tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan sekadar berbincang dengan Tuhan di malam yang panjang. Ah, jangankan berbincang, sholat fardhu saja mulai keteteran, ada yang dilaksanakan di akhir waktu, ada yang terlupa, dan ada pula yang dilaksanakan dengan terburu-buru seperti ayam yang mematuk biji.

“Aneh. Hidupku kok jadi hampa sekarang, ya.” Bisiknya kepada dirinya sendiri suatu waktu.

“Mas, kapan nih beli mobilnya? Kan si Hakim udah besar tuh! Nggak enak kalau bepergian naik sepeda motor. Apalagi sekarang udah masuk usia kehamilan lima bulan.” Suatu hari Dewi merajuk. Menagih permintaannya untuk membeli mobil baru khusus keluarga.

“Bukannya kita masih bisa pakai mobilnya Bapak, Dek?” Ihsan balik bertanya.

“Wah, malu sama bapak, Mas! Dikira kita nggak mampu beli mobil. Usahanya Mas kan juga sudah maju!” Jawab Istrinya. Ihsan menghela nafas panjang. Belum sempat menjawab, buru-buru Dewi membuka mulut.

“Liburan kali ini kita ke Jakarta yuk, Mas! Sudah lama kayaknya kita nggak kesana dengan pesawat. Nanti biar aku yang ngatur jadwal, carikan tiket dan ngatur semuanya. Biar Mas nggak keganggu kerjanya.” Sempurna sudah permintaan istrinya.

“Apa sih makna hidup itu, Tuhan? Kalau kita terus ngejar dunia tanpa bersyukur dan tambah ibadah.” Bisiknya tiba-tiba. Diapun kaget dengan suara hatinya barusan.

Hari-hari berlalu semakin hampa buat Ihsan. Wajahnya yang dulu bersinar cerah meski hidup tak selalu indah kini tak lagi bisa ditemui. Bahkan ada raut gelap di wajahnya.

“Kenapa, Nak? Kamu tampak nggak bahagia?” Tanya Pak Imam suatu hari.

“Ah, nggak apa-apa, Pak! Paling kecapekan aja.” Jawab Ihsan asal.

“Haa, mungkin Kau kurang istirahat. Lihat, wajahnya dulu yang selalu berbinar kini berubah murung terus.”

Percakapannya dengan Pak Imam kala itu membuatnya tertegun. Mengingat akan sebuah benda yang selalu menyembunyikan raut sedihnya dan memunculnya wajah bahagianya. Topeng! Ya, tiba-tiba kata itu terbersit di pikirannya. Maka di suatu pagi yang cerah, Ihsan mengambil topengnya yang telah bertahun tersipan di lemari barunya. Topeng telah berdebu, namun Ihsan mengelap sendiri dengan tangannya sebelum memakainya.

“Pasti wajahku sudah sumringah.” Batinnya.

“Nak! Sepertinya kamu butuh istirahat yang benar-benar cukup!” Ujar Pak Imam siang itu.

“Ah, enggak, Pak! Nih, aku sudah merasa sehat kok!”

“Apanya!? Kamu terlihat semakin kacau. Data keuangan juga nggak sesuai dengan saldonya. Kamu juga belum memperbaiki data inventaris barang. Dan, …. Maaf ya, Nak! Wajahmu terlihat sangat kusam dan murung.” Lanjut Pak Imam.

“Hah?! Kenapa masih murung juga?” Selepas Pak Imam pergi Ihsan langsung menuju kamarnya. Lalu ditatapnya topeng itu lekat-lekat.

“Ah, pantas aja. Ada yang retak di beberapa bagian.” Bisiknya.

Tapi Ihsan tak tahu cara memperbaiki. Dia bingung. Ihsan berpikir sejenak. Hingga kemudian dia teringat kepada Mbah Khojin seorang tetua di desanya.

“Ah, sepertinya aku harus kembali ke desa. Menemui Mbah Khojin untuk memperbaiki topeng ini.” Bisiknya dalam hati.

***

Sementara Mbah Khojin yang sudah merasa akan mendapat tamu, segera menjamu tamunya dengan segelas teh hangat. Ihsan memulai pembicaraan tanpa mengucap salam.

“Nih, Mbah, topengnya kubawa. Sekalian kalau mau benerin.” Setelah curhat agak lama akhirnya Ihsan memberikan topeng yang ditentengnya di tangan kanannya. Mbah Khojin nggak langsung menjawab. Beliau tersenyum sebentar dan menghela nafas panjang.

“Mbah juga nggak bisa benerin topeng kamu, San!”

“Hah?! Yang bener, mbah? Trus aku harus gimana? Masa’ hidupku mau kacau kayak gini terus? Ayo dong Mbah, tolong Mbah. Ihsan butuh banget sama tuh topeng. Ihsan pengen hidup bahagia kayak dulu lagi. Tenang, nggak dikejar-kejar waktu.” Ihsan merengek seperti anak kecil.

“Kalau kamu mau memperbaiki topengmu, San, datanglah ke pemilik topeng yang sebenarnya.”

“Siapa, Mbah? Tolong kasih tahu tempatnya, Mbah. Berapapun akan aku bayar!”

“Gusti Allah, San! Kembalilah kepadanya secara penuh. Tinggalkan duniamu, semuanya!”

“Apa, Mbah? Duniaku?” Ihsan memelototkan tak percaya mendengar kalimat yang barusan didengarnya.

“Ya. Duniamu. Hartamu, istrimu dan anakmu!”

“APA?! Tapi… Mana mungkin aku menelantarkan istri dan anakku?” Ihsan sedikit ragu.

“Kamu mau topengmu diperbaiki, kan? Kamu mau hidupmu lebih baik lagi, kan?” Ihsan tak punya pilihan lain. Maka dibulatkan tekadnya untuk melaksanakan nasehat Mbah Khojin. Ihsan buru-buru berpamitan. Dipancangkan niatnya untuk kembali menggelar sajadahnya di atas lantai yang dingin di malam yang panjang. Berbincang dengan Tuhan dan memohon ampun kepada-Nya.

***

 Istrinya heran melihat perilaku suaminya yang berubah. Biasanya yang bangun pagi untuk persiapan membuka toko, kini bangunnya lebih awal lagi. Duduk terpekur lebih lama di atas sajadah hijau miliknya dan tak kunjung beranjak.

“Tuhan, kasih aku solusi!” Begitulah kiranya doanya.

Seminggu berlalu dan perilaku Ihsan masih seperti itu hingga matahari sepenggalah. Kadang disempatkannya untuk menunaikan dhuha di akhir duduk panjangnya. Akibatnya toko jadi buka agak siang, banyak pelanggannya yang kecewa, pegawainya juga banyak yang menyesalkan perbuatannya. Hakim, anaknya yang bersekolah di pusat kota jadi sering ikut berangkat bersama tetangganya. Karena ayahnya tak lagi sempat mengantarnya. Melihat semuanya kacau, istrinya sering uring-uringan, namun tak pernah digubris oleh Ihsan.

Tepat pada hari kedua belas, dilangkahkan kakinya keluar dari rumah pada suatu malam yang dingin. Menuju rumahnya di desa, mengikuti saran Mbah Khojin untuk meninggalkan dunianya. Maka, Mbah Khojin manakala melihat Ihsan pulang demi mengikuti sarannya, banggalah hatinya.

“Masihkah Kau marah kepadaku, Tuhan? Kenapa Engkau nggak kasih solusi untuk topeng yang retak itu?” Lanjutnya.

Sebulan berlalu, Ihsan masih sering terpekur menatap sajadahnya. Tak lagi digubrisnya keadaan istri dan anaknya. Bahkan dia tak mendengar kabar kalau istrinya akan melahirkan beberapa hari ke depan. Dia tak juga mendengar kabar tentang tokonya yang semakin kacau, hingga akhirnya Pak Imam terpaksa menutup tokonya beberapa saat sambil menunggu Ihsan kembali.

“Dia membutuhkan istirahat!” Begitu Pak Imam meyakinkan anaknya.

“Tapi, Pak, mana mungkin seorang suami meninggalkan tanggung jawabnya dengan menelantarkan istri dan anaknya di sini. Berkali orang menjemputnya di rumahnya juga tak kunjung berhasil.” Sahut istrinya.

“Bapak yakin, dia akan kembali! Meski sekarang belum ada tanda-tanda dia akan kembali.” Jawab Pak Imam mengakhiri perbincangannya dengan anaknya.

***

Tiga bulan berlalu.

Benarlah, retak pada topengnya yang dulu ada kini telah mulai menutup dengan sempurna. Maka, Ihsan dengan segala kerendahan hatinya jatuh bersujud syukur ke hadirat Tuhan. Meletakkan kepalanya di posisi yang terbawah.

“Terima kasih, Tuhan!” Begitu ungkapnya dengan air mata berlinang.

Dengan niat menjajal keampuhan topeng, pagi hari dia berjalan keliling kampung. Yakinnya air mukanya telah kembali sumringah dan bahagia. Namun, ternyata sungguh semua di luar dugaan.

“Nak, Ihsan!” Pak Ali, lelaki setengah abad itu memanggilnya.

“Ya, Pak!” Ihsan beranjak mendekat.

“Bapak perhatikan, akhir-akhir ini kamu kok murung terus. Ada permasalahan apa, Le?” Ihsan terkejut mendengarnya. Dalam hatinya timbul satu pertanyaan. Bukankah topeng itu sudah diperbaiki oleh Pemiliknya, lalu kenapa masih tidak berfungsi? Begitu pikirnya.

***

Di rumah yang berlantai tanah kering itu, Ihsan terduduk pasrah di salah satu sudut ranjangnya yang berkasur lapuk. Dilepasnya topeng dan diamatinya lagi baik-baik. Benarlah, retakan yang kemarin muncul memang sudah tertutup dengan sempurna. Mata Ihsan mengamati dengan saksama.

“Apa?! Kok ada retakan lagi?” Bisiknya demi melihat retakan lain yang andai retakan pertama masih ada, kedua ujung retakan itu bertemu pada satu sisi. Memperlihatkan adanya hubungan antara retakan pertama dengan retakan kedua.

“Retakan itulah yang membuat hidupmu masih buruk meskipun hatimu telah dekat dengan sang Pemilik Topeng!” Hatinya berbisik. Lalu apa gerangan kesalahan yang dibuatnya. Tiba-tiba dia teringat akan Dewi, isrinya dan Hakin, anaknya.

“Dewi, gimana kabarmu sekarang? Ya Allah, bukannya kamu hamil tua waktu aku tinggal? Trus, gimana kabar anak kedua kita?” Bisiknya. Setengah jam kemudian hatinya diaduk-aduk emosi dan rasa penyesalan yang teramat berat. Air asin tak kunjung berhenti mengucur dari matanya.

Samar percakapan dengan Pak Ali terulang di kepalanya.

 “Eh, ngomong-ngomong gimana kabar keluargamu di sana? Kata orang-orang hidupmu sudah sukses di sana, punya istri cantik dan dianugerahi anak yang sehat, serta sebuah toko bangunan yang semakin maju?” Tanya Pak Ali.

“Ah, Pak Ali bisa saja! Hmm, sekarang semuanya aku tinggalkan, Pak!”

“Loh, kenapa!”

“Gara-gara mereka semua aku jadi jauh dari Allah! Jadi aku putuskan untuk kembali mendekat kepada Allah dengan khusu’ beribadah dan meninggalkan mereka!”

“Loh, apa aku nggak salah dengar, Le!?”

“Nggak, Pak!”

“Astaghfirullohaladzim. Pantesan hidupmu terlihat semakin berantakan, sinar wajahmu semakin suram.” Ihsan terkejut mendengar penuturan Pak Ali barusan.

“Emang saya salah ya, Pak!?”

“Ya Alloh, Le! Coba kamu pikir pake otak yang ada di kepalamu! Gimana coba kabarnya istrimu yang berbulan-bulan nggak kamu nafkahi? Gimana kabarnya anakmu yang pasti nanyain kamu terus tiap malam? Trus gimana kabar pegawai-pegawaimu yang kehilangan pekerjaan gara-gara toko tutup? Belum lagi pelangganmu yang pasti bingung cari toko baru yang dipercaya. Trus, mertuamu, apa dia nggak nyesek salah kasih amanat ke orang macam kamu.” Pak Ali ngomel panjang lebar. Ihsan terdiam, ada yang bergejolak di dadanya.

“Tapi, Pak, semenjak saya mendapatkan semua itu, hidup ini jadi berantakan, jauh dari Allah.” Begitu sangkalnya.

“Emang salah mereka kamu jadi jauh dari Allah? Itu salah kamu sendiri, San yang nggak bisa mengatur waktu, membagi waktu yang cuma 24 jam sehari untuk dunia dan akhirat!” Ihsan tersentak sesaat.

“San, San, emang kamu nggak tahu tanggung jawab suami? Kelak kamu mau bilang apa ke Allah kalau dimintai pertanggungjawabanmu terhadap keluargamu? Eh, sudah dinafkahi apa belum, sudah dididik apa belum, sudah disayang apa belum. Mau jawab apa, Kamu, hah?” Ihsan terdiam, terpekur menatap lantai tanah yang kering.

“Kamu pikir semua itu bukan nikmat dari Allah? Kamu pikir kamu nggak perlu mensyukurinya dengan cara merawatnya?” Pertanyaan Pak Ali menghujam tepat di jantungnya.

“Untuk mencapai kebahagiaan, orang hidup itu harus seimbang. Allah mengajarkan kita untuk mengejar akhirat tanpa meninggalkan dunia.” Ihsan masih terdiam mendengar Pak Ali berbicara.

“Kembalilah, San, kembali ke keluargamu. Laksanakan tanggung jawab yang terbengkalai itu dengan tetap menjaga hati agar selalu dekat dengan Allah. Cobalah, pasti kamu bisa!”

 “Tapi, saya sudah terlanjur lama meninggalkan mereka, Pak. Apa mereka mau menerima saya lagi?”

“Cobalah, Nak! Minta tolong sama Allah. Kan sekarang kamu dekat sama Allah! Mintalah untuk mempermudah jalan taubatmu!”

“Makasih, Pak Ali. Ilmu bapak sungguh berguna bagi saya yang masih hina ini. Makasih, Pak! Saya pamit dulu, Pak!” Maka setelah Pak Ali terdiam cukup lama sambil menatap matanya, Ihsan mengucapkan terimakasih dan berpamitan untuk menunaikan sholat dhuhur.

***

Selepas asyar, berangkatlah Ihsan meninggalkan kampung halamannya. Dengan berjalan kaki dengan kemantapan pula. Bayangan buruk melintas di kepalanya, toko yang sudah penuh dengan sarang laba-laba, istri yang marah kepadanya, mertua yang kecewa dan anak yang jauh dengannya. Tapi segera ditepisnya bayang-bayang buruk itu.

“Inilah memang yang harus aku lalui akibat kesalahan yang aku buat. Aku yang ingin memperbaiki kesalahan, justru menghancurkan semuanya! Inilah kesempatanku untuk memperbaikinya, meski perih akan terasa di awal. Tapi aku telah siap, Tuhan. Karena aku akan membuktikan kesungguhanku kembali kepada-Mu!”

“Bantu aku ya Allah!” Bisiknya berkali-kali selama perjalanan. Hatinya khusu’ merendah kepada Sang Kuasa. Hingga dia tak sadar topeng di dalam tasnya bergerak-gerak. Mulai menutup retakan kedua yang andai retakan pertama masih ada kedua ujungnya akan bertemu di satu sisi. Menggambarkan keterkaitan antara kedua retakan yang muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun