“Nggak kok, itu Si Lusi bohong.” Dea berusaha menutupi. Sementara Lusi dan Loli tertawa.
“Kok kalian tertawa?”
“Tuh liat”, Loli menunjukkan Ibram yang saat ini tengah dikerumuni perempuan-perempuan cantik.
“Kalau cewek level kita kayaknya mundur saja deh De, daripada sakit hati, ya nggak?” Lusi menimpali.
Dea menghela napas panjang, gadis itu seperti mengiyakan apa yang sahabatnya katakan. “Ihh, lagi pula siapa juga yang suka sama Kak Ibram.” Kata Dea sambil meninggalkan teman-temannya.
Sampai di rumah Dea berdiri di depan cermin. “Bener juga sih, kalau dibandingin sama cewek-cewek itu aku nggak ada apa-apanya. Mereka putih, cantik.” Dea memperhatikan tangannya yang tampak hitam, wajahnya juga tampak sangat kusam, bibir keringnya sudah seperti tanah di musim kemarau. “Aku harus jadi seperti mereka.” Ucap Dea sambil tersenyum yakin.
Untuk pertama kalinya Dea mulai mengoleskan lulur di tubuh. Dan mulai menempelkan skincare di wajah polosnya. “Semoga jadi cantik, aamiin.” Ucapnya.
Dua minggu kemudian Dea tampak berbeda. Gadis kucel itu kini sudah tampak cantik. Pagi ini Dea tidak ingin lagi memperhatikan Ibram dari lantai atas, Dea ingin ikut gerombolan gadis-gadis cantik itu agar Ibram memperhatikannya.
“Auuu, auuuu”, rintih Dea saat dia berdesak-desakkan dengan gadis-gadis cantik yang tengah menunggu kedatangan Ibram. “Tahu begini mending lihat dari atas”, batin Dea.
Namun kekesalannya segera hilang saat dari jauh tampak Ibram dengan segala pesonanya datang memasuki halaman sekolah. Beberapa gadis ada yang berteriak memanggil-manggil namanya untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki itu. Dea pun melakukan hal yang sama.
Namun Ibram sama sekali tidak memperhatikan itu semua. Dengan gerakan cepat, laki-laki itu segera berlari menghindari gerombolan para gadis tersebut.