Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

The Duke's Daughter (Bagian 41 - 45)

6 Januari 2024   09:25 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:39 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

41. Bertamu ke Kediaman Del Castano

Keluarga Del Castano baru saja selesai melakukan makan malam bersama. Sepasang suami istri dan seorang anak gadisnya itu juga telah menutup perbincangan ringan mereka.

Sebelum mereka berpencar dari meja makan, seorang pelayan laki-laki menghampiri duke Eduardo. Membawa kabar bahwa mereka telah kedatangan seorang tamu.

Duke Eduardo membulatkan kedua matanya, ketika sang pelayan membisikkan nama seorang tamu tersebut. Ekspresi tersebut tentu memancing penasaran duchess Elvira dan juga Nivea. Namun tak lama, ekspresi yang ditampilkan duke Eduardo telah kembali datar, bahkan beliau sempat menyunggingkan senyum tipisnya.

"Ayo, kita bersama-sama menerima tamu itu." ucapnya seraya bangkit dari kursinya.

"Bukankah tamu itu hanya ingin bertemu denganmu, Eduardo?"

"Ayolah Elvira! Ikut saja! Dan kau juga, Nivea."

"Ah, baiklah Ayah!"

Dengan gagahnya duke Eduardo melangkah menuju bagian depan dalam kediamannya. Duchess Elvira dan Nivea berjalan bersisian mengekori sang kepala keluarga. Betapa terkejutnya Nivea, saat mendapati kekasih hatinya itu yang berdiri disana.

"Selamat malam, duke Eduardo." Matias sedikit membungkuk hormat.

"Bukankah pemuda itu... putra count Antonio Lawrence?"

"Benar Ibu!"

"Jadi, dia pemuda yang kau cintai itu?"

"Ah Ibu, dia yang lebih dulu mencintai aku."

"Apa kau bilang?" kedua orang itu justru ribut sendiri dua langkah di belakang duke Eduardo.

"Kalian bisa diam?" duke Eduardo menoleh karena sayup suara keduanya membuat beliau tak dapat berkonsentrasi. "Ah, selamat malam tuan... Matias Vander Lawrence. Silahkan Anda duduk." seraya mengarahkan langkah mereka kepada lingkaran sofa di tengah sana.

Begitupun dengan duchess Elvira dan juga Nivea yang sudah mulai melangkah, hendak mengambil posisi duduknya masing-masing dan ikut terlibat dalam pertemuan itu.

"Selamat malam, duchess Elvira." diiringi anggukan dan senyum lelaki itu menyapa nyonya rumah.

"Baiklah tuan Matias, adakah keperluanmu ingin menemuiku disini?"

"Kau tidak menyapaku, Matias?" gadis yang merasa tak diacuhkan itu, melirik sinis Matias yang duduk di seberangnya.

"Ah, maafkan Saya... nona Nivea Del Castano. Anda... sungguh tampak cantik malam ini."

Nivea justru menggembungkan kedua pipinya, dengan bola matanya yang berputar dia menahan tawa mendengar kekasihnya mengatakan hal itu. "Saya harap, Anda berada dalam suasana hati yang baik, tuan Eduardo." fokusnya telah kembali kepada duke Eduardo.

"Tentu! Tentu saja, tuan Matias. Katakan saja semua yang ingin Anda katakan kepadaku. Aku sengaja mengajak mereka berdua agar mereka juga mendengar langsung apa yang ingin Anda sampaikan."

"Baiklah, tuan Eduardo! Kedatangan Saya malam ini, semata-mata untuk meminta persetujuan dari Anda dan juga nyonya Elvira."

"Persetujuan?"

"Ah, maksud Saya... Saya sangat berharap Anda berdua dapat menyetujui hubungan yang terjalin antara anak gadis Anda dengan diri Saya."

"Hahaha. Kau bercanda?"

"Tidak tuan! Saya mengatakan yang... sebenarnya."

"Tolong jawab saja, Ayah.." pinta Nivea menyela obrolan itu.

"Sstt..!!!" ibunya menimpali tanpa menoleh kepada Nivea. Beliau menatap suaminya dengan tatapan penasaran.

"Hmm.. Jadi, sejak kapan kalian memulai hubungan?"

"Sejak.. sejak..."

"Sejak lama, Ayah! Matias menyukaiku sejak kami masih di perguruan ketiga."

"Apa?" ketiga orang di sekeliling gadis itu kompak menoleh ke arahnya.

"Aku... aku tahu... Ibumu yang mengatakannya padaku!" ucapnya mengarah pada Matias.

"Ibuku mengatakan hal itu padamu?"

"Tentu! Countess Victoria datang untuk menyicipi rotiku."

Matias hanya dapat melongo tak percaya.

"Jadi, jawaban apa yang kau harapkan dariku, tuan Matias?"

"Tentu saja, Saya berharap Anda dapat mengizinkan kami melanjutkan hubungan ini, tuan Eduardo."

"Hmm.. Baiklah! Lanjutkan saja!" seraya bangkit dari kursinya. Membuat yang lainnya tersentak kaget. "Dengan senang hati aku menyetujui hubungan kalian." lanjutnya diiringi anggukan dan senyum tipis.

"Benarkah? Terima kasih, tuan Eduardo. Saya sangat berterima kasih pada Anda dan... Anda nyonya." Matias pun berdiri lalu membungkuk ke hadapan duke Eduardo dan istrinya. Dengan penuh keceriaan dia menyampaikan rasa terima kasihnya.

Sedangkan Nivea, dia hanya tertawa melihat adegan itu.

Duke Eduardo dan istrinya telah kembali ke ruang tengah. Mereka memberi kesempatan pada sepasang kekasih itu untuk berbincang, menghabiskan sisa hari ini bersama.

Dengan riangnya Nivea, menggandeng tangan kekasihnya. Menyeret langkah mereka menuju halaman samping rumah itu.

Nivea menjatuhkan dirinya pada kursi taman yang ada. Begitupun Matias yang kini juga sudah duduk di sampingnya.

"Itu kamarku!" Nivea menunjuk ke arah sebuah jendela besar yang terlihat tak jauh dari hadapan mereka.

"Ah, jadi... Disana tempatmu tidur?"

"Hmm.." dia mengangguk lalu menunduk malu.

"Kau senang?"

"Tentu! Apa... kau tidak senang?"

"Hahaha.. Siapa yang tidak senang mendengar ayahmu menyetujui hubungan kita?"

"Tapi, kita belum menemui ayahmu."

"Kita? Apakah... kita harus menemui ayahku bersama-sama?"

"Tentu, Matias! Kita juga harus meminta persetujuan pada mereka."

"Ah, itu benar! Aku harus memperkenalkanmu secara resmi kepada ayah dan ibuku. Memperkenalkanmu sebagai... kekasihku. Ah, bukan itu!"

"Lalu?"

"Tentu saja sebagai... calon teman hidupku."

Pelupuk mata gadis itu seketika berkaca-kaca mendengar kalimat kekasihnya.

"Apa... kau tidak sedang bercanda?"

Matias menggeleng, meyakinkan bahwa dirinya mengatakan hal yang serius.

"Aku... Terima kasih, karena kau sudah menyukaiku sejak dulu."

"Aku hanya perlu berusaha keras untuk menyembunyikan hal itu."

"Tapi sekarang, kerja kerasmu itu... sudah terbayar, bukan?"

"Hmm.. Tentu! Terima kasih juga karena kau... bersedia membalas perasaanku."

Malam kian larut, pekatnya langit bertabur bintang menemani Matias dalam perjalanannya pulang ke rumah. Selepas kepergian Matias, Nivea bergegas masuk ke kamar dan mengganti gaunnya dengan gaun tidur. Tak lama, terlihat Seri memasuki kamar itu membawakan secangkir teh chamomile untuk nonanya.

"Teh Anda, nona!"

"Ah, terima kasih Seri."

"Hmm.. Saya dengar tuan Matias datang, nona?"

"Benar, Seri! Dia belum lama pergi. Kau tahu? Kami... telah mendapat kata setuju dari ayah."

"Benarkah, nona? Saya ikut senang mendengarnya."

"Tapi, kami belum menemui orang tuanya. Aku... cukup khawatir memikirkan hal itu "

"Apa yang membuat Anda khawatir, nona?"

"Entahlah! Hanya saja... Aku takut mereka tidak merestui kami."

"Itu tidak mungkin, nona!"

"Benarkah? Kenapa kau bisa seyakin itu, Seri?"

"Ya! Katakan saja pada mereka bahwa kalian sudah mendapat persetujuan dari duke Eduardo dan duchess Elvira. Saya pikir, mereka juga akan menyetujuinya."

"Hahaha.. Begitu ya? Hmm.. Kami akan mencobanya nanti." seraya mengangkat secangkir tehnya dan mulai menyesapnya.

"Beristirahatlah Seri! Sebentar lagi aku akan tidur."

"Baiklah nona! Selamat malam. Semoga tidur Anda nyenyak."

Baru kali ini Nivea merasakan malamnya semanis itu. Harinya ditutup dengan sebuah senyum yang sempurna.

Sementara, di kejauhan sana Matias baru saja menginjakkan kaki di kediamannya. Di dekat kursi sana, seseorang menyambutnya. Dia telah menunggu Matias sejak sepuluh menit yang lalu. Karena suatu hal yang mendadak, maka dia harus menemui Matias malam ini juga.

42. Rodrigues

"Kau sudah lama menunggu, Rodrigues?"

"Tidak juga."

"Duduklah! Maaf sudah membuatmu menunggu."

"Justru aku yang meminta maaf karena sudah datang malam-malam begini."

"Apa ada sesuatu yang mendesak?"

"Hmm! Aku ingin mengucapkan salam perpisahan, Matias!"

"Apa? Kau mau pergi kemana, Rodrigues?"

"Pamanku memintaku datang ke negara Mediterania, beliau merekomendasikan semua lukisanku untuk mengikuti pameran akhir tahun."

"Benarkah? Kapan kau akan pergi?"

"Besok pagi, aku akan pergi ke rumah pamanku. Aku akan bermalam disana. Dan esok harinya aku langsung berangkat kesana bersama sepupuku."

"Berapa lama kau akan pergi, Rodrigues?"

"Entahlah! Mungkin untuk waktu yang cukup lama."

"Kau... benar-benar! Kau tahu, aku dan Nivea berada dalam sebuah hubungan."

"Benarkah? Kau... tidak sedang bermimpi kan?"

"Aku bicara serius, Rodrigues! Dan kami sudah mendapat persetujuan dari duke Eduardo dan istrinya."

"Wah.. Aku ucapkan selamat untukmu, Matias! Kau telah berhasil meraih gadis impianmu selama ini."

"Hmm! Terima kasih, Rodrigues. Aku juga mengucapkan selamat atas keberuntungan yang kau dapat melalui pamanmu. Aku harap kau selalu beruntung dengan lukisan-lukisanmu."

"Terima kasih kawan! Aku harap kelak kita dapat saling bertukar kabar melalui surat."

"Tentu, Rodrigues!"

Keesokan harinya, kabar tentang kondisi kesehatan permaisuri yang cukup mengkhawatirkan telah tersebar ke seantero negeri. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa yang terjadi pada sang permaisuri adalah sesuatu hal yang wajar. Kondisi dimana psikologis seorang ibu terguncang karena putranya harus menjalani hukuman sebagai konsekuensi dari tindakan tercela yang dilakukannya.

Apalagi beliau tidak dapat menemui putranya, hingga batas waktu yang belum dapat dipastikan.

Sejak sadarkan diri dari pingsannya tempo hari, permaisuri telah berusaha mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk bangkit. Menepis rasa sakit dalam dadanya. Namun, setiap kali dirinya teringat akan sosok putranya, emosinya kembali teraduk.

"Makan siangmu sudah datang, Ibu. Ayo aku suapi."

Permaisuri hanya mengangguk dan tersenyum tipis memandangi wajah putrinya, yang duduk di ujung ranjangnya. Beliau pun telah memulai suapan pertamanya oleh putri Nicole.

"Aku sangat senang kau mau makan, Ibu. Kau harus kuat dan kembali ceria seperti sedia kala." mereka berbincang di sela-sela kegiatan putri Nicole yang menyuapi permaisuri.

"Hmm. Terima kasih telah mau merawat dan menemaniku, Nicole. Sikapmu telah semakin dewasa."

"Kau tidak perlu berterima kasih untuk itu, Ibu. Sudah seharusnya aku melakukannya untukmu."

"Kau terdengar sangat tulus, Nicole. Aku senang mendengarnya."

"Aku sangat bersyukur jika bisa membuatmu senang, Ibu. Setidaknya, sekarang aku bisa menjadi anak yang berguna."

"Apa yang kau katakan, Nicole? Jangan bicara seperti itu! Kau selalu berharga untukku." seraya mengusap lembut sebelah pipi putrinya.

"Maka itu, kau jangan sakit lagi, Ibu. Meskipun kakak tidak ada disini, tapi dia akan kembali. Dan kita bisa menunggunya sampai waktu itu tiba, Ibu."

Permaisuri mengangguk, mengiyakan ucapan manis putri Nicole. Sang tuan putri mulai berhasil menabur semangat baru di dalam jiwa permaisuri.

"Nah, makananmu sudah habis, Ibu. Sekarang... ini obatnya."

"Terima kasih, Nicole."

"Hmm.. Ibu, jika beberapa hari ini kau sudah semakin membaik... apakah... kau mau berpikir untuk... mengundang pangeran George untuk berkunjung ke istana ini?"

"Apa? Kau... ingin dia berkunjung kemari?" dengan mengernyitkan dahinya permaisuri tampak cukup terkejut dengan pertanyaan itu.

Putri Nicole pun mengangguk, "Hmm.. Tapi, jika itu terasa merepotkan... sebaiknya tidak perlu, Ibu."

"Tidak, Nicole. Aku akan mengaturnya untukmu."

Gadis itupun tersenyum tipis menanggapi kalimat sang ibu.

***

"Tugasku sudah selesai, Seri. Jika pelanggan mulai ramai, kau dapat meminta bantuan Clara untuk melayani. Biarkan David mengerjakan tugasnya sendiri." Nivea menghentikan langkahnya di samping meja pemesanan, dia muncul dari arah dapur. Siap pergi dengan topi cantik yang bertengger di kepalanya. Serta sebuah keranjang rotan terselip di tangannya.

"Baiklah nona. Anda... terlihat manis dengan topi itu."

"Apa? Kau menghinaku, Seri?"

"Tidak nona! Mana mungkin Saya bermaksud menghina Anda. Anda... cukup jarang terlihat mengenakan topi. Dan topi itu membuat Anda terlihat lebih elegan."

"Ah, begitu ya. Baiklah! Aku... pergi dulu, Seri. Tunggulah hingga aku dan tuan Willy kembali."

Setelah selesai melakukan pekerjaannya membuat roti, pagi hari menjelang siang itu Nivea keluar meninggalkan tokonya. Gadis dengan rambut pendek itu berniat untuk menemui kekasihnya di perkebunan anggur.

Dia juga sudah membawa beberapa buah roti manis dan dua botol limun di dalam keranjang rotannya. Bunga-bunga dalam taman hatinya sedang bermekaran, tak sabar lagi ingin melihat wajah sang kekasih. Di bawah cerahnya langit dan suasana kota yang lengang, kereta kudanya terus melaju.

Dalam hitungan menit, Nivea telah tiba di perkebunan anggur itu. Perlahan dia menapaki tanah merah berbatuan kerikil, yang terhampar luas di depan mata. Dengan menaikkan sedikit bagian depan gaun sederhananya, Nivea mulai melangkah di sisi kiri perkebunan.

Ketika langkahnya telah hampir mendekati bangunan ruang kerja pengelola perkebunan, Matias sedang mendongak ke arahnya. Lelaki itu menyipitkan mata, meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah melihat. Sudut indah melengkung di bibirnya kala menyadari bahwa Nivea lah gadis yang membawa keranjang rotan itu. Kakinya pun mulai bergerak maju, ingin menyambut kedatangan gadisnya.

"Ini sebuah kejutan, Nivea!"

"Ah, tentu saja Matias! Aku membawa roti dan limun untuk kita."

"Benarkah? Wah.. Aku sangat beruntung." keduanya melanjutkan langkah beriringan.

"Bisakah... kita duduk-duduk di pinggir perkebunan untuk menikmati kudapan yang ku bawa?"

"Tentu! Apakah... kau ingin jika... kita tampak seperti sedang melakukan piknik?"

"Ah, bodoh sekali! Kenapa aku sampai tidak ingat membawa alas duduk."

"Tidak masalah Nivea! Aku bisa meminjam permadani milik tuan Carlos."

"Benarkah? Beliau menyimpannya disini?"

"Ya! Aku pernah melihat benda itu tersimpan di ruang kerjanya. Ayo, kita ke ruangan beliau."

Matias berjalan lebih dulu, mengarahkan langkah mereka menggapai bangunan sederhana berdinding putih, dengan tiga buah pintu kayu berwarna biru di sisi sana.

"Ah, kau Matias!" tuan Carlos pun mengangguk tersenyum lebar ketika menangkap keberadaan Nivea di balik tubuh Matias. Begitupun Nivea yang tersenyum ramah membalas senyuman beliau.

"Tuan, ini kekasihku.. Nona Nivea Del Castano."

"Ah, baiklah. Saya Carlos Alberto. Senang berkenalan dengan Anda, nona." dengan sedikit membungkuk mengucap salam perkenalan.

"Ah, baik tuan Carlos." Nivea pun ikut membungkuk menghormatinya.

"Tuan Carlos, apakah Anda masih menyimpan permadani disini?"

"Ah, tentu! Kau ingin menggunakannya?"

"Ya tuan! Saya ingin meminjamnya."

"Kau bisa mengambilnya di atas lemari itu, Matias." menunjuk sopan ke atas lemari di sudut seberang sana.

"Ah, baiklah. Terima kasih tuan!"

"Ya, gunakanlah dengan santai."

"Terima kasih tuan." Nivea menambahkan. "Ah, ini ada sebuah roti manis untuk Anda, tuan Carlos. Semoga Anda menyukai roti buatan Saya ini." seraya menyodorkan sebuah kantung roti di atas meja lelaki itu.

"Ah, terima kasih nona. Saya akan memakannya nanti."

"Kami permisi, tuan Carlos." ucap Nivea dan berbalik badan mendekati Matias yang hendak keluar dari sana.

43. Keluarga Lawrence

Nivea pun kembali ke tokonya setelah menyelesaikan piknik kecilnya dengan Matias di pinggir perkebunan anggur. Sementara Matias masih harus melanjutkan pekerjaannya.

Sampai di toko rotinya, Nivea beristirahat sebentar kemudian menggantikan posisi Seri di meja pemesanan.

"Kau tidak ke belakang, Seri?"

"Tidak nona. Saya disini saja menemani Anda."

"Hahaha.. Apa di dapur tidak ada tugas untukmu?"

"Tidak ada, nona."

"Ah, baiklah.. Jadi, apakah selama aku pergi tadi ada banyak rotiku yang terjual?"

"Hmm.. Tentu nona! Saya juga sudah mencatatnya dengan baik."

"Benarkah? Ah, betul Seri! Kau mengingatkanku. Aku harus mengecek catatan bulan ini. Bagaimana bisa aku sampai melupakan hal itu."

"Nona, apakah tuan Matias merasa senang saat tadi... Anda datang berkunjung?"

"Tidak."

"Apa? Tidak? Tuan Matias tidak suka Anda datang ke perkebunan?"

"Hahaha.. Kenapa terkadang kau melontarkan pertanyaan bodoh, Seri? Tentu saja dia senang melihatku datang."

"Ah, baiklah!"

"Kenapa, kau bertanya tentang itu?"

"Saya hanya... hanya..."

"Ambillah cuti untuk beberapa lama, Seri! Kau harus bersenang-senang dan... siapa tahu saat berlibur kau akan menemukan jodohmu."

"Apa? Cuti, nona?"

"Hmm.. Aku mengizinkanmu untuk itu. Pilihlah waktu yang paling baik menurutmu. Karena kau yang akan berlibur, bukan aku. Kau bebas memilih waktunya. Asal jangan pada saat...."

"Pada saat apa nona?"

"Pada saat aku menikah."

"Ah, tentu saja nona!"

Menit ke menit terus berjalan, keduanya telah selesai dengan tugas mereka hari ini di toko. Seperti biasanya, toko itu selalu saja ramai didatangi pelanggan silih berganti. Dan bersama tuan Willy, kedua gadis itu bergegas kembali ke kediamannya.

Sampai di kamarnya, Nivea duduk sejenak kemudian pergi mandi. Kini dirinya telah terasa jauh lebih segar setelah mandi. Dia juga telah mengenakan gaunnya yang lain. Seri datang menghampiri ketika Nivea sedang duduk di dekat jendela, memandang langit petang.

"Nona, tuan Matias datang mencari Anda."

"Apa?" tanyanya keheranan.

"Ya, dia menunggu Anda di ruang tamu."

"Baiklah, aku kesana. Terima kasih Seri."

Dari ambang batas ruang tengah dan ruang tamu, Nivea tersenyum senang mendapati kekasihnya sedang duduk di sofa.

"Ada apa Matias?"

"Ah, aku ingin mengajakmu untuk ikut ke rumahku sekarang juga." seraya menoleh kemudian bangkit dari duduknya.

"Sekarang?"

"Ya! Agar nanti, kau bisa ikut makan malam dengan kami."

"Bukankah itu akan merepotkan keluargamu, Matias? Dan mungkin... aku mengganggu waktu keluarga kalian."

"Tentu tidak, nona Nivea Del Castano! Ayo, kita pergi sekarang juga."

"Baiklah! Aku akan mengatakannya dulu pada Seri. Agar... dia tidak kebingungan mencariku."

"Silahkan Nivea, aku menunggumu disini."

Tak lama, Nivea telah kembali ke hadapan Matias. Lelaki itu langsung meraih sebelah tangan gadisnya untuk digandengnya menuju kereta kuda, yang akan dikemudikan oleh tuan Luigi.

"Kenapa kau diam saja, nona?"

"Nona? Ah, jangan bercanda Matias! Aku... cukup tegang."

"Kau sedang berada dalam situasi menakutkan? Kenapa kau tegang?"

"Bukan menakutkan, hanya saja... Aku... Entahlah! Mungkin seperti ini adalah sebuah rasa yang umum saat seorang gadis akan bertemu dengan... orang tua kekasihnya."

"Ah, begitu ya! Jadi maksudmu... hanya sesama gadis lah yang bisa mengerti, tentang apa yang kau rasakan saat ini?"

"Hmm.. Aku rasa begitu, Matias."

Matias mengangguk, kemudian tersenyum menandakan dirinya setuju pada ucapan Nivea.

Kereta yang membawa mereka, telah sampai di tujuan. Matias yang turun lebih dulu, membantu gadisnya turun perlahan menapaki rerumputan di depan pintu utama kediaman keluarga Lawrence.

Dengan wajah gugupnya, Nivea menurut saja dibimbing sang kekasih memasuki rumah itu.

"Ayolah! Kau bukan pertama kalinya kesini."

"Apa?"

"Waktu itu kau menemui Martha disini."

"Ah, itu benar! Aku... sampai lupa."

"Wah.. kau mengajak gadismu, Matias?" suara khas countess Victoria menyambut kedatangan mereka.

Nivea yang terkejut, buru-buru sedikit membungkuk ke hadapan beliau, mengucapkan salamnya. "Selamat malam, countess Victoria."

"Selamat malam, nona Nivea. Duduklah dulu bersama Matias. Aku akan memanggil suamiku di dalam."

"Baik nyonya!"

Sebelum menghampiri keberadaan count Antonio di kamarnya, countess Victoria menyempatkan diri menyambangi dapurnya. Beliau memerintahkan kepada bibi Puff dan asistennya agar menambahkan lebih banyak porsi masakan mereka. Karena seorang tamu akan ikut makan malam bersama mereka.

"Selamat malam, count Antonio!" Nivea segera berdiri dan mengucap salam ketika melihat kemunculan ayah Matias.

"Selamat malam nona! Duduklah!"

"Ayah, aku sengaja mengajaknya kemari agar aku bisa mengenalkannya secara resmi kepada ayah sebagai...."

"Kekasihmu?" tebak count Antonio seraya tersenyum kepada mereka.

"Benar ayah!"

"Baiklah! Kami sangat senang Anda sudah mau repot-repot datang kesini, nona."

"Ah, tidak tuan! Saya sama sekali tidak merasa repot. Justru... Saya takut kedatangan Saya akan merepotkan keluarga Anda."

"Tidak, nona! Dengan senang hati, kami akan menjamu Anda. Tentu Anda tidak keberatan, bukan? Jika ikut makan malam bersama kami."

"Ah, tentu saja tuan! Terima kasih atas perhatian Anda."

"Ayo, kita ke meja makan sekarang." ucap countess Victoria yang kembali muncul dari arah dalam.

Mereka pun merespon ajakan tersebut dengan mengikuti langkah countess Victoria menuju ruang makan.

Di atas meja makan yang berukuran besar itu, telah tersaji beberapa macam jenis makanan yang cukup mewah ala keluarga bangsawan. Tak berbeda jauh dengan menu masakan yang biasa disajikan di kediaman Del Castano.

Terlihat Martha sudah lebih dulu duduk di kursinya. Dirinya yang sejak tadi berada di kamar, merasa terkejut dengan keberadaan Nivea diantara anggota keluarganya yang melangkah kian mendekat.

"Nona Nivea!"

"Ah, kau nona Martha!"

"Duduklah di samping kakak, nona!" ucapnya antusias mendahului titah ayahnya.

Nivea tersenyum malu-malu menatap wajah Matias di sampingnya. Gadis itu tampak sedikit canggung.

"Duduklah!" ucap Matias kepadanya.

Tanpa berlama-lama lagi, semuanya mulai menyantap hidangannya masing-masing. Dilanjutkan dengan berbincang-bincang kembali setelah selesai dengan makanannya.

"Kau menikmati makananmu, nona?"

"Tentu nyonya! Semua masakan ini sangat nikmat. Saya sangat berterima kasih atas jamuannya."

"Seringlah datang kemari nona! Kita bisa bersama-sama memetik buah cherry di halaman."

"Ah, tapi... bukankah nona Nivea cukup sibuk dengan toko rotinya?" tanya count Antonio menimpali.

"Benar tuan! Tapi, Saya memiliki cukup waktu luang setelah selesai membuat roti. Ah, maaf Saya tidak membawakan kalian roti buatan Saya. Matias tiba-tiba datang menjemput ke rumah, tanpa kami rencanakan lebih dulu."

"Ah, tidak masalah nona! Aku dapat mampir ke tokomu kapan saja." tukas Martha.

"Ayah, aku akan mengantar Nivea pulang sebentar lagi. Aku sangat berterima kasih padamu dan Ibu, karena sudah mau menerima hubungan kami."

"Hmm.. Dengan senang hati, Matias." jawab count Antonio sementara istrinya hanya tersenyum saja.

"Kau tidak perlu mengantarku, Matias. Kau harus beristirahat. Sebelum pergi aku menitipkan pesan pada Seri agar tuan Willy menjemputku disini pukul sembilan."

"Wah.. Lihat Kak! Nona Nivea sangat perhatian padamu. Dia memintamu segera beristirahat." ucap Martha yang diangguki setuju oleh kedua orang tuanya.

44. Kabar dari Wilayah Perbatasan

Dua hari berselang, siang ini baginda raja telah menerima sepucuk surat yang dikirim oleh seekor merpati putih. Surat itu berisi informasi dari seorang kepala prajurit di wilayah perbatasan. Beliau mengatakan bahwa saat ini pasukan dari negara musuh sudah mulai mendekat dan berusaha memasuki wilayah perbatasan.

Tentu saja tujuan kedatangan pasukan itu adalah untuk menguasai wilayah perbatasan. Dan hendak memilikinya secara utuh. Guna memperluas wilayah mereka sebelumnya.

Ditambah lagi, hasil bumi yang berada di wilayah perbatasan begitu menggiurkan bagi negara lain. Sehingga tidak heran jika negara musuh begitu ingin merebut wilayah perbatasan.

Mendengar kabar tersebut, baginda raja pun mengumpulkan seluruh jajarannya di kantor pemerintahan guna melakukan rapat tertutup. Dan setelah berdiskusi selama kurang lebih enam puluh menit, baginda raja telah mengambil keputusan untuk mengirim seluruh pemuda di kota itu. Yaitu mereka yang pernah mengikuti pelatihan wajib menghadapi peperangan.

Di waktu yang sama saat ini, Nivea sedang melayani pesanan Martha yang berkunjung ke toko rotinya bersama Daniel. Sejoli itu tampak serasi dengan pakaian santai yang berwarna senada. Keduanya dipersilahkan untuk memilih mejanya sendiri.

"Kau tahu, Daniel? Kakak ku dan nona Nivea telah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak keluarga." seraya mulai memotong sebuah roti miliknya.

"Benarkah itu? Wah, aku ikut senang mendengar hal itu, Martha!"

"Tentu! Aku juga mengharapkan hal yang sama pada hubungan kita."

"Kau tidak perlu khawatir, Martha! Apakah... mereka berencana menggelar pernikahan dalam waktu dekat?"

Martha menaikkan kedua bahunya, "Entahlah! Kita tunggu saja, Daniel!"

"Bagaimana jika, kau mendahului Matias? Apakah boleh?"

"Hmm? Apa maksudmu dengan mendahului?"

"Maksudku adalah... mendahului, menikah lebih dulu."

Gadis di hadapannya itupun langsung tersedak, mendengar ucapan kekasihnya. "Apa kau bilang? Maksudmu, aku... menikah lebih dulu... denganmu?"

"Hmm! Tentu saja denganku, apakah ada pemuda lain di hatimu, Martha?"

"Hahaha.. Hentikan leluconmu, Daniel! Aku tidak ingin menikah terburu-buru."

"Tapi, kau sudah terlalu lama menyukaiku. Bahkan kau memendamnya seorang diri. Apakah... saat itu kau tidak menderita?"

"Hmm! Kau benar, Daniel! Aku sangat menderita."

"Maka akhirilah penderitaan itu dengan menikah denganku!"

"Sejak kita memulai hubungan ini, aku merasa penderitaanku sudah berakhir." Martha melengoskan pandangannya keluar jalan di balik kaca. Dan dia baru menyadari sesuatu. "Eh, kau melamarku Daniel? Apa... apa tadi kau bilang, akhiri penderitaan dengan menikah denganmu?"

"Tepat Martha! Dan sekarang... aku butuh jawabanmu."

"Apa.. apa yang harus ku jawab?"

"Baiklah! Aku akan bertanya ulang." Daniel mengambil gelas limunnya dan meminumnya setengah. "Martha Virginia Lawrence, maukah kau menikah denganku?"

"Hahaha..."

"Kenapa kau tertawa? Apakah aku terlihat selucu itu?"

Martha mengangguk-angguk, masih dengan tawanya yang dia tutupi dengan sebelah telapak tangannya.

"Aku mau menikah denganmu, Daniel! Tapi, aku harap kau bisa bersabar menunggu hingga Matias dan nona Nivea menikah lebih dulu."

"Baiklah! Aku akan bersabar, bahkan jika harus menunggu lama, seperti kau menungguku sejak masih di sekolah dasar."

***

Lalu lalang orang dan kereta kuda yang silih berganti melintas di tengah kota, menandakan sudah waktunya semua orang berhenti dari aktivitasnya. Untuk kemudian kembali ke rumahnya masing-masing. Petang telah menghias awan.

Seperti biasanya, Nivea selalu berbenah diri begitu sampai di rumah. Lalu bersantai sejenak sambil menunggu waktunya makan malam bersama ayah dan ibu.

"Nona, Anda sudah ditunggu duke Eduardo di meja makan." Seri menghampiri nonanya di kamar. Nivea lantas bangkit dari ranjangnya. Setelah menunggu bermenit-menit, akhirnya tiba juga waktu makan malam.

Mereka yang telah duduk rapi di depan meja makan, tampak sudah mulai menyantap dan menikmati makanannya masing-masing. Hingga setelahnya, duke Eduardo menyampaikan kabar yang beliau dapat dari gedung pemerintahan siang tadi.

"Pasukan dari negara musuh, sudah mulai mendekati wilayah perbatasan. Tampaknya prajurit disana, cukup kewalahan. Maka itu, siang tadi... yang mulia baginda raja melakukan diskusi mendadak untuk membahas hal itu. Dan beliau mengambil keputusan untuk... mengirim seluruh pemuda di kota ini yang pernah mengikuti latihan wajib menghadapi peperangan. Mereka akan dibentuk menjadi pasukan pertahanan."

Nivea tersentak, dia tahu bahwa kekasihnya pernah mengikuti latihan yang dimaksud ayahnya.

"Jadi, apakah... Matias akan berangkat ke wilayah perbatasan?"

Duke Eduardo pun mengangguk, "Benar Nivea!"

"Bukankah... itu sangat berbahaya, Ayah?" tanyanya dengan suara yang mulai bergetar.

"Tenanglah Nak! Kau harus berpikir positif, semua akan baik-baik saja." ibunya menimpali.

"Tentu, itu berbahaya. Tapi, kau harus yakin bahwa... Matiasmu akan kembali dengan selamat."

Nivea tak menjawab, namun kedua matanya mulai berkaca-kaca. Dan dalam sekali kedipan mata, setitik air keluar dari sudut matanya.

Malam ini gadis itu sangat sulit memejamkan matanya, hatinya gelisah. Betapa ingin dirinya menemui Matias saat ini juga. Namun kini sudah terlalu malam untuk menghampiri kekasihnya disana. Nivea hanya ingin agar pagi cepat datang, dia ingin segera menghambur ke pelukan Matias.

Dalam hitungan jam, akhirnya pagi telah datang kembali.

Nivea bergerak cepat membenahi dirinya tanpa bantuan Seri. Setelah merasa cukup, dia bergegas meninggalkan kamarnya dan meminta tuan Willy untuk segera mengantarnya ke kediaman keluarga Lawrence.

Matias yang baru saja akan menuju ke ruang makan, tentu terkejut ketika seorang pelayan memberi kabar kedatangan Nivea disana. Segera saja Matias menuju ke ruang tamu. Dan ketika jarak mereka hanya tinggal dua langkah, Nivea bergerak maju dan meraih tubuh lelaki itu.

Sungguh Matias tak mengerti dengan sikap itu. Namun kedua tangannya telah membalas pelukan itu, bahkan lebih erat. Hingga akhirnya salah satu dari mereka mau membuka suara.

"Kau kenapa Nivea?"

"Mereka akan mengirimmu ke wilayah perbatasan." ucapnya bernada sedih seraya memundurkan kepalanya untuk menatap wajah Matias.

"Hmm! Apa kau bersedih karena hal itu?"

Nivea mengangguk, "Aku tak ingin kau pergi sejauh itu."

"Hei.. Aku akan kembali, sayangku.."

"Tapi kau harus berjanji untuk kembali dengan keadaan yang baik."

Kini Matias yang mengangguk, "Aku berjanji. Aku akan kembali dengan baik-baik saja. Kau harus bersabar menungguku, karena aku... akan kembali untukmu."

Kekhawatiran luar biasa yang dirasakan Nivea saat ini, sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Martha. Gadis itu langsung berlari ke dalam kamarnya sejak makan malam berakhir, dan tidak mau keluar dari kamarnya hingga saat ini. Dia dilanda kesedihan saat mengetahui Daniel akan pergi, dengan satu tujuan yang sama dengan Matias.

Saat-saat seperti ini adalah saat terberat bagi para gadis-gadis di kota itu, yang harus rela melepas kepergian kekasihnya untuk mengabdikan diri pada negerinya. Kekhawatiran dan kesedihan yang seperti apa rasanya, gadis-gadis itu tak mampu lagi menjelaskannya hanya dengan sebuah rangkaian kata.

45. Empat Tahun Berlalu

Perang di wilayah perbatasan itu masih terus berlangsung. Kekacauan mulai terjadi ketika pasukan musuh berhasil menembus hingga ke wilayah pedalaman. Begitu banyak hal yang akhirnya tertunda selama empat tahun ini. Nivea dan Martha pun ikut berperang disini. Berperang melawan rasa cemas dan kerinduan mereka pada orang-orang tercintanya.

"Selamat pagi ayah, ibu."

"Selamat pagi, sayangku." jawab duchess Elvira.

"Aku dengar toko rotimu semakin ramai, Nivea?"

"Benar ayah! Itu mulai terlihat sejak aku memasukkan kue bolu dalam daftar menuku."

"Ah, apa mereka yang datang, lebih banyak membeli kue bolu?"

"Tidak juga Ibu. Aku rasa... sejauh ini penjualan roti dan kue bolu sama-sama imbang."

"Kami ikut senang jika tokomu selalu ramai, Nivea. Tapi, bukankah dengan menambah satu menu, itu berarti bisa membuatmu kelelahan?"

"Ah, itu tidak masalah, Ibu! Aku selalu bisa mengatasinya. Aku memiliki para pekerja yang bisa ku andalkan."

Nivea menguncir kuda seluruh bagian rambut panjangnya. Hari ini dia memilih gaun berwarna merah muda, untuk dikenakannya. Setelah menutup perbincangan paginya, Nivea bergegas menuju toko rotinya. Masih bersama Seri dan... tuan Willy.

Toko rotinya sedang naik daun, bahkan mulai menjadi buah bibir di kotanya. Di sela kesibukannya, gadis itu tetap memiliki celah untuk memikirkan sosok yang selalu dinantikannya untuk kembali.

"Jangan terlalu sering melamun, nona!"

"Hmm? Apa? Aku tidak melamun, Seri. Hanya sedang.. mengamati situasi diluar sana."

"Baiklah! Anda tahu, nona? Anda tampak lebih muda dengan tatanan rambut seperti itu."

"Benarkah? Apa aku... masih tampak seperti... tujuh belas tahun?"

"Hmm! Tentu nona! Jadi sebaiknya... jangan mencukurnya lagi seperti dulu."

"Ah, kau tahu? Sangat nyaman rasanya ketika kau memiliki rambut pendek. Kau juga... tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menatanya."

"Ah, begitu ya. "

Waktu telah melesat cepat hari ini. Meski merasa cukup lelah setelah membuat roti dan beberapa jenis kue bolu, Nivea tetap bersemangat di meja pemesanan untuk melayani setiap pelanggan yang datang.

"Selamat siang, nona Nivea!" sapa seorang wanita yang tampak mengenakan topi bulu berwarna abu-abu.

Nivea yang sedang berdiri di balik etalase, langsung bergeser ketika mendengar sapaan itu, lantas buru-buru membungkuk sopan membalas salam wanita itu.

"Ah, selamat siang, duchess Valerie! Anda ingin kue bolu keju seperti biasanya, nyonya?"

"Benar! Berikan dua potong untukku dan... sebotol limun."

"Baiklah! Silahkan duduk nyonya, aku akan membawakan pesananmu."

"Ah, baiklah. Terima kasih." seraya melangkah anggun menuju salah satu meja yang dipilihnya.

Selang beberapa menit, Nivea terlihat membawa sebuah nampan kayu ke arah meja duchess Valerie.

"Silahkan nyonya..."

"Ah, nona Nivea! Duduklah! Kita berbincang sebentar."

Nivea tersenyum ramah seraya mengambil posisi duduk di hadapan beliau.

"Kau tahu? Kue bolu ini sangat nikmat. Ditambah taburan keju seperti ini, aku sangat menyukainya. Kau sangat berbakat, nona Nivea." sambil mulai memotong kue bolu di piringnya.

"Terima kasih atas pujian Anda, nyonya. Saya sangat bersyukur jika... kue-kue Saya dapat disukai banyak orang."

"Siapa yang mengajarimu membuat roti dan kue, nona?"

"Tidak ada, nyonya. Saya hanya mempelajarinya dari buku resep. Dan tentu... Saya giat mempraktikkannya."

"Ah, itu menarik nona! Aku.. ingin bertanya tentang... Apakah duke Eduardo memiliki kabar lain tentang... perang di wilayah perbatasan?"

Nivea tersentak, dalam sekejap bayangan Matias terlintas di benaknya.

"Perbatasan? Tidak, nyonya! Aku rasa... Kabar yang diterima ayahku dari yang mulia baginda raja, sama saja dengan berita yang diterima oleh duke Sergio. "

"Ah, begitu ya. Aku menduga siapa tahu... ayahmu mengetahui kabar dari sumber lain. Kau tahu? Aku sangat merindukan putraku. Aku berharap secepatnya Daniel kembali."

Nivea hanya menunduk, menggigit bibirnya sendiri.

Melihat ekspresi wajah itu, duchess Valerie melanjutkan kalimatnya, "Begitupun dengan Matias. Aku harap mereka kembali bersama. Aku mengerti apa yang... kau rasakan, nona."

Duchess Valerie tampaknya merasa bersalah, beliau menyesal telah membahas hal tersebut kepada Nivea. Setelah menghabiskan kuenya dan mengucapkan permintaan maaf, beliau pun beranjak pergi dari sana.

Namun gadis itu masih termenung, bertopang dagu di atas meja pemesanan. Membayangkan jika Matias datang tiba-tiba, dari balik pintu di hadapannya. Nivea menghela nafas. Dia tersadar dan bergerak ke lemari sana, mengambil sebotol limunnya dan sebuah gelas.

Dia pun menuang limun itu ke gelasnya, untuk kemudian diminumnya.

Tak lama, Nivea telah kembali pada fokusnya melayani pelanggan yang datang silih berganti.

Sementara di tempat lain. Martha menyibukkan dirinya dengan merangkai bunga. Sejak tiga tahun yang lalu, gadis itu memutuskan untuk membuka kios bunganya sendiri. Dia menyewa sebuah bangunan mungil yang berada tak jauh dari pusat kota.

Karena hasil rangkaian bunganya sangat indah dan menarik, maka sudah banyak yang memesan rangkaian bunga darinya. Pesanan yang datang dari berbagai kalangan di kota itu, telah menghidupkan semangatnya yang baru.

Meski terkadang, dalam keheningan malam Martha masih sering menitihkan air matanya sebagai bentuk luapan rasa rindunya kepada Daniel.

"Martha!" dia pun menoleh ketika mendengar seseorang telah mendorong pintu kiosnya.

"Hai Catherine! Masuklah!"

Gadis bergaun hijau yang menenteng sebuah tas tangan itu melangkah kepada Martha. Mengamati apa yang sedang dikerjakan oleh tangan temannya itu.

"Duduklah!"

"Ah, kau sangat teliti merangkainya, Martha."

"Ya! Aku harus melakukannya dengan sangat hati-hati."

"Apa yang kau rangkai itu sudah ada pemesannya?"

"Tentu Catherine! Ini pesanan dari seseorang yang tinggal dekat pinggiran kota. Tuan Luigi akan mengantarnya nanti sore."

"Ah, begitu ya. Oh ya Martha, apa besok kau punya waktu luang?"

"Tentu! Besok toko hanya buka sampai siang. Ada apa Catherine?"

"Maukah kau ikut denganku memetik anggur?"

"Anggur? Apa... yang kau maksud itu.. di perkebunan anggur milik pemerintah?"

"Benar! Bagaimana, apa kau mau?"

"Ah, boleh juga!"

"Hmm.. Kalau begitu, biar aku yang menjemputmu disini. Kita pergi dengan keretaku saja."

"Baiklah! Setelah aku menutup toko, kita bisa langsung pergi."

"Ya, Martha! Sayang sekali disana tidak ada kakakmu."

Kedua tangan Martha berhenti sesaat dari kegiatannya merangkai bunga. Dia pun mendongak menatap Catherine.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Martha?"

"Ah! Tidak... tidak ada apa-apa. Kau ingin minum Catherine? Aku memiliki dapur kecil disini."

"Ah, tidak perlu Martha! Terima kasih atas tawaranmu. Oh ya, apakah... toko roti milik nona Nivea tidak jauh dari sini?"

"Benar Catherine, kau harus lebih sering berkeliling di wilayah ini. Ada banyak kios-kios baru di sekitar sini. Kau ingin berkunjung ke toko roti nona Nivea?"

"Hmm! Hampir semua orang membicarakan kue bolunya yang... mereka bilang itu nikmat dan... lembut."

"Ah, itu memang benar Catherine! Kau juga bisa memesan limun atau teh chamomile, atau... teh hijau."

"Baiklah Martha! Aku pergi sekarang. Jangan lupa dengan... besok."

"Tentu! Terima kasih sudah mampir, Catherine!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun