“Iya, baru mau tiga bulan.”
Hmm.., pantas saja aku baru melihatnya sering keluar masuk kedai kami satu bulan belakangan ini.
“Mie Saya sudah habis, Saya duluan ya Mas.”
“Oh.. oke Mel. Sampe ketemu lagi ya..”
Haduh, kenapa dia bilang begitu. Aku sama sekali tidak berharap bertemu lagi dengannya. Hampir saja aku lupa membayar mie ayamku, sama seperti kemarin lusa saat aku hampir lupa membayar pecel ayam karena diganggu oleh lelaki ini. Aku bergegas meninggalkan kedai mie ayam itu setelah membayarnya.
Setelah ku pikir-pikir lebih dalam, kenapa aku harus merasa terhantui oleh orang itu. Harusnya aku menanggapinya biasa saja. Seperti aku menanggapi teman-teman lelaki ku yang lain. Bisa mengobrol dengan santai, menertawakan sesuatu bersama. Kenapa saat berhadapan dengan Henry rasanya sangat aneh. Kenapa aku begitu canggung menanggapinya. Apa aku harus senervous itu saat bicara dengan orang tampan?! Ah.. Sudahlah.. Dia tidak penting.
Baru saja sebelah kakiku melangkah masuk ke kedai, ponselku berbunyi. Tanda satu pesan masuk. Wah, si Henry mengirimiku pesan.
“Maaf lho Mel, sudah ganggu makan siangnya tadi. Harusnya biar Saya aja yang traktir.”
Tak ada angin, tak ada hujan, si Henry itu bicara seperti ini padaku. Sepertinya dia memikirkan sesuatu tentangku. Dia pasti sadar kalau aku malas menanggapinya tadi. Maka itu dia merasa bersalah lantas mengirimiku pesan seperti ini. Agar tidak dikatakan sombong, aku pun membalas pesannya, “Ah ngga apa-apa kok. Santai aja Mas..”
Baru saja pesan balasanku selesai ku kirimkan, Rena yang melihatku masih berdiri memegangi ponsel di ambang pintu samping kedai, memanggilku dengan lantang.
“Amelia..! Sini cepet ada yang nyari kamu..”