“Itu temen mu yang ulang tahun siapa sih? Yang lain pada dikasih juga? Kue kayak tadi. Itu kan masih utuh, bukan potongan.”
“Hah? Kue yang tadi? Iya.. Itu temen aku yang kerja di belakang kedai. Ya, dia sih ngakunya ulang tahun.”
“Kata mu cowok Mel? Jangan-jangan dia naksir kamu lho.” papa malah menimpali jawabanku dengan menggodaiku, dilanjutkan dengan tawa-tawa kecilnya yang menakutkan itu.
“Iya kali pa, biarin deh kalau dia naksir aku. Aku bersyukur aja ditaksir orang.”
“Haha haha, jangan cuma bersyukur dong Mel, kan kamu sudah dua puluh tahun. Masa masih jomblo.. Iya ngga Ma?”
“Iya Mel.. Berteman dekat dulu ngga apa-apa, kan semua pake proses.”
Haduh.. Kalau tahu jadi begini, mestinya tadi aku tidak usah ikut mereka. Aku kira Mama dan papa sudah melupakan soal kue lapis talas keju yang tadi mereka lahap. Aku jadi teringat lagi pada sosok lelaki itu. Henry. Sebetulnya aku juga ingin berteman baik dengannya, tapi kenapa rasanya canggung sekali ketika harus berinteraksi dengannya. Terlebih lagi ketika kami bertemu.
“Nanti kalau Amel sudah nikah, punya keluarga sendiri, kita cuma berduaan ya Ma?”
“Ya.. Mau gimana lagi pa. Ya sudah nasib kita cuma punya satu anak.”
Haduh.. Tuan dan nyonya ini sedang membahas apa sih?! Biasanya kalau pembicaraan mereka sudah mulai ngaco, aku lebih memilih bungkam. Pura-pura sibuk saja dengan kegiatanku. Aku pun lantas mengambil ponsel dari dalam tas. Aku kembali membaca beberapa pesan dari Henry di kotak masuk. Entah kenapa aku jadi ingin bertanya, sedang apa dirinya sekarang. Aku buru-buru menepis perasaan itu. Lebih baik ku simpan ponsel ku sekarang juga.
Aku kembali menatap ke luar jalan raya. Sungguh indah lampu-lampu kendaraan di sekitar kami. Tapi, kenapa hatiku mendadak galau? Seperti merindukan sesuatu. Namun aku juga tidak tahu apa yang sedang ku rindukan, atau siapa yang sedang ku rindukan. Terkadang, saat melihat sepasang kekasih mampir ke kedai kami, aku merasa sedikit iri. Mungkin aku juga ingin memiliki kekasih. Tapi, aku tidak tahu caranya.