Nisrina Sri Susilaningrum, No. 09.
Ting-tong!
Pintu terbuka dari luar. Dua orang berseragam putih-putih khas perawat menghampiriku. Yang satu berambut panjang, dan satunya lagi dipotong pendek model bob.
“Anna, sudah waktunya minum obat.” ucap perawat yang berambut panjang.
“Obat?” tanyaku tak mengerti.
“Saat ini namamu siapa? Anna, ataukah Rhein, Nina, atau… Nugie? Ah, barangkali malah Ran.” ucap perawat itu lagi, yang semakin menambah kebingunganku.
“Apa maksud kalian? Dan kalian ini sebenarnya siapa?”
Kedua perawat itu saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya tersenyum mahfum.
“Anna, atau entah siapa namamu kini. Ketahuilah bahwa saat ini kamu tengah berada di rumah sakit, dan bunyi bel tadi adalah tanda pasien sudah waktunya makan siang,” kali ini perawat berambut model Bob yang berkata.
“Dan sebelum makan siang, kamu harus minum obat terlebih dahulu. Tugas kamilah untuk memastikan obat tersebut kau minum dengan benar, tidak kau buang atau kauinjak-injak seperti kemarin,” lanjutnya.
Aku terkejut. Bukankah terakhir kali aku tengah sarapan bareng Nina, sesaat sebelum bel rumah berbunyi?
“Tidak… tidak. Kalian pasti berbohong karena aku tidak sedang sakit, juga tidak sedang berada di rumah sakit. Ini pasti semacam reality show!” tolakku, sambil pandangku mencari-cari di mana kiranya letak kamera pengintai yang tengah meliput adegan kami ini.
“Tapi kamu memang sakit, Anna, dan tidak boleh melewatkan jadwal minum obat.”
“Aku tidak sakit, dan aku tidak mau minum obat. Titik!” tegasku
Kedua perawat itu berpandangan sekali lagi, sebelum akhirnya si rambut model Bob berbisik pada rekannya untuk kemudian pergi dengan agak tergesa.
Aku tak bisa mencuri dengar bisikannya, tapi sepertinya itu tanda bahaya bagiku.
Aku tidak tenang. Kupandangi si rambut panjang dengan waspada. Kuteliti dari ujung rambut hingga ujung kakinya, untuk kemudian pandanganku berputar pada ruangan ini.
Akhirnya aku menemukan ide jahil. Kuberikan senyuman paling manis pada perawat itu. Dia memandangku dengan agak gusar.....
***
Pintu ruangan kembali terbuka. Si rambut model Bob bersama beberapa orang, dan langsung menjerit serta berlari menuju tubuh temannya yang terkulai di kursi sambil berteriak.
“Aliiiiin!”
Dua lelaki tegap berseragam putih langsung menyergapku, memegang kedua lenganku dan menarik ke tempat tidur. Salah satu dari mereka berteriak, “Lena, cepat berikan obatnya! Dia sudah siap!”
Sial, aku tak bisa bergerak. Mereka mengikat kakiku ke dipan dan memegangi lenganku dengan amat kuat. Aku tetap tak mau menyerah. Sekuat tenaga aku meronta. Aku tak mau minum obat tanpa pernah tahu apa sebabnya.
Tapi akhirnya mereka yang menang. Obat tersebut masuk ke tenggorokanku dengan amat paksa, membuatku merasa diperlakukan seperti binatang. Hatiku sakit.
Perlahan tubuhku menjadi tenang. Mungkin ini reaksi obat, dan aku pikir, aku sudah melewati siksaan utama. Namun sepertinya aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, karena ternyata masih ada satu tahap lagi yang harus kulalui, yaitu makan. Mereka memaksaku lagi. Aku benci itu.
***
Aku terbangun saat hembusan angin dini hari masuk melalui jendela. Kupandangi ruangan serba putih ini, ada tempat tidur dan meja kecil berlaci di sampingnya. Di seberang ruangan sepasang kursi santai berpadu dengan meja di tengahnya. Semuanya serba putih, kecuali baju yang kukenakan, berwarna abu-abu muda.
Aku bangkit dari tempat tidur. Kulangkahkan kaki menuju jendela yang berterali besi. Dahiku berkerut. Mengapa jendela ini berterali? Seperti di penjara saja!
Semakin heran lagi saat aku memandang keluar jendela. Agak jauh di depan kamarku, terlihat seorang perempuan sibuk menyisir rambut tapi kemudian langsung mengacak-acaknya. Menyisir lagi, mengacak-acak lagi. Terus seperti itu sampai akhirnya ia menangis sendiri. Sementara pada sudut yang lainnya, seorang pemuda berusia dua puluhan tengah asyik menggambar entah apa di bukunya.
Seperti tak puas, dia robek kertasnya, kemudian menggambar lagi dengan sangat serius, untuk kemudian kembali merobeknya. Berulang-ulang begitu, tanpa pernah terlihat lelah bahkan tanpa peduli sekitarnya. Dan di kamar yang sebelahnya, seorang lelaki paruh baya tampak marah-marah entah pada siapa, karena jelas-jelas dia sendirian.
Mereka semua berpakaian yang sama denganku, seragam dengan warna abu-abu muda, membuat dahiku semakin penuh dengan kerutan melihat keganjilan tingkah laku mereka pada pagi buta ini. Bukankah pemandangan seperti ini hanya ada di rumah sakit jiwa?
Mulutku langsung mengatup dengan sempurna. Seperti ada guntur yang menggelegar tepat di tengah kepalaku. Apakah aku sudah gila?
Tidak… tidak. Aku masih waras! Aku masih ingat namaku Anna. Tapi mengapa perawat tadi mengatakan bahwa namaku banyak, dan mereka menyebut nama orang-orang terdekatku sebagai diriku. Ah, mungkin mereka yang gila.
Aku masih ingat benar tentang apartemen tempat tinggalku, tentang perusahaan, tentang kapan pertama kali aku bertemu dengan sahabat-sahabat terbaikku itu. Juga tentang perjuangan kami membesarkan perusahaan, hingga terjadinya kecelakaan yang menjadi awal dari semua keanehan yang terjadi di antara kami. Bahkan aku masih ingat tentang Nina, yang dengan amat senang berlari menyongsong bel pintu kemarin pagi, untuk menyambut kedatangan Nugha!
Tapi anehnya, mengapa tiba-tiba aku berada di ruang putih dengan jendela berterali ini, seakan aku tak lebih hanya seorang pesakitan sekaligus penjahat ganas, yang tidak boleh keluar kamar karena dikhawatirkan membahayakan orang lain?
Analisaku hampir mencapai titik puncak ketika tahu-tahu pintu terbuka. Seorang lelaki dengan wajah tenang memasuki ruangan. Penampilannya rapi, dengan tas kantor di tangan, sementara di bagian saku bajunya tersemat emblem nama.
Dia tersenyum ramah kepadaku, sebelum akhirnya menyapa dengan amat sopan.
“Apa kabar, Anna? Apakah kamu baik pagi ini?”
Aku masih diam, berhitung antara harus bersikap waspada, melawan atau justru menyambut uluran persahabatan yang dia tawarkan. Agak terkejut juga aku ketika dari jendela kulihat langit mulai terang. Ternyata sudah selama itu aku merenung.
Akhirnya aku memilih yang ketiga, karena melihat lelaki itu bersikap wajar, dan amat jauh berbeda dengan sikap sosok-sosok berpakaian perawat kemarin.
Lelaki itu mendekatiku, lalu duduk di salah satu kursi santai di sebelahku.
“Aku baik-baik saja. Kalau boleh aku tahu, anda siapa?” ucapku, kali ini sehati-hati mungkin, karena tak ingin peristiwa kemarin kembali berulang.
“Oh maaf, saya sampai lupa memperkenalkan diri, karena kamu adalah pasien yang saya kunjungi setiap hari jadi saya anggap kamu sudah mengenal saya.” Jawab lelaki itu, yang langsung membangkitkan kembali alarm tanda bahaya di dalam benakku. Saya pasien dia, katanya?
“Saya lupa bahwa kamu bisa berubah menjadi siapa saja setiap saat” lanjut lelaki itu lagi. “Perkenalkan, nama saya dr. Jalal. Dan bolehkah saya tahu, saat ini saya berhadapan dengan siapa?”
Aku termangu. Dokter? Dan katanya… aku...aku bisa berubah setiap saat?
“Sepertinya kamu enggan bicara. Kalau begitu, kita mulai saja langsung sesi hari ini, ya,” ucapnya ramah bagai mengajak anak-anak untuk bermain permainan kegemarannya.
Aku masih diam. Kulirik berkas yang dia letakkan di meja, di sana tertulis namaku serta diagnosis penyakitku.
Multiple Personality Disorder!
Nafasku bagai terhenti sesaat. Oh, apakah aku benar-benar menderita penyakit tersebut?
Ingatanku melayang pada beberapa tahun yang silam, saat aku masih kuliah hukum. Dosen pidanaku pernah menyebut bahwa penyakit ini termasuk penyakit langka, dan biasanya diderita oleh seseorang dengan masa lalu yang amat buruk. Dan itu merupakan salah satu pemicu tindak pidana, yang seringkali dilakukan secara tidak sadar. Sehingga apabila seorang pelaku kriminal menderita penyakit ini, dia bisa terbebas dari jerat hukum. Namun secara otomatis dia akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Aku ingat Billy Milligan, yang menderita penyakit ini dan harus menghabiskan nyaris seumur hidupnya di rumah sakit jiwa berpengamanan ekstra ketat, yang mungkin lebih tepat disebut penjara. Hatiku nelangsa membayangkannya. Tanpa terasa setitik hangat menggumpal di ujung mataku.
“Ada apa, Anna? Ada yang ingin kamu katakan kepada saya?” dr. Jalal bertanya sambil mengelus pundakku dengan halus.
“Dok, apakah aku memang benar-benar gila?” tanyaku di sela-sela sengguk.
dr. Jalal menggeleng.
“Lalu, mengapa aku bisa berada di sini?”
“Itu pertanyaan yang amat bagus, Anna, dan itu menandakan bahwa kamu masih waras. Hanya saja ada beberapa waktumu tercuri oleh kepribadian yang lain, yang menjadikan dirimu tak bisa menjadi dirimu yang sebenarnya.”
“Maksud dokter, aku benar-benar menderita MPD?” tanyaku dengan agak memburu.
“Ternyata kamu lebih cerdas dari dugaanku, Anna. Kamu amat waspada dengan lingkungan yang asing bagimu, sampai-sampai kamu mengumpulkan semua data dengan segala keterbatasanmu saat ini. Kamu pasti telah melirik berkas saya, bukan begitu?”
Aku mengangguk.
“Itu diagnosa awal ketika kamu diserahkan ke rumah sakit ini.”
“Diserahkan? Oleh siapa?” tanyaku penasaran
“Seseorang yang menjadi wali sekaligus pengampumu, dia tak ingin disebut namanya.”
Wali? Pengampuku? Siapa? Tanpa sadar aku bertanya-tanya sendiri.
“Ketika kamu datang ke sini pertama kali, kamu terlihat gugup sambil memegang buku yang sampulnya sudah agak lusuh. Dan ketika saya tanya, kamu mengatakan bahwa namamu adalah Rheinara Yuki. Namun saya lihat nama resmi yang tercatat di KTPmu adalah Anna Kalashnikov. Membuat saya agak bingung karena jelas-jelas kamu adalah orang Indonesia asli, tapi entah mengapa namamu bisa berbau Rusia. Apa memang orang tuamu ingin kamu menjadi orang Rusia atau bagaimana saya tidak tahu.”
dr. Jalal menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
“Tak ada keluhan apapun dari orang yang mengaku bertanggung jawab atas dirimu, Anna. Dia hanya bilang, kamu harus mendapatkan perawatan terbaik, dan kalau bisa ada sesi terapi setiap hari. Dia akan membayar berapapun harga yang kami minta. Dan dia tidak mengatakan apapun tentang sakitmu. Dia hanya bilang, kamu bukanlah kamu yang sebenarnya.”
Aku semakin bingung. Siapakah orang yang telah mengirimku kemari? Walaupun dengan permintaan VIP untukku, tapi ini rumah sakit jiwa. Dan itu berarti dia menganggapku sakit jiwa!
“Lalu, setelah berapa lama dokter tahu aku menderita MPD?”
“Hari itu juga. Kamu tertidur sejenak. Dan saya pergi untuk mengambil catatan yang tertinggal di ruangan saya. Ketika saya kembali ke kamarmu, kamu telah bangun dan berubah menjadi Nugie. Kamu benar-benar berubah drastis dari sosok Rhein yang saya lihat pertama kali.
Kembali dr. Jalal menghela napas.
“Tadinya saya pikir kamu bercanda. Namun ketika saya tegaskan melalui pandangan mata, mimik, gestur juga suara, saya tidak menemukan kepura-puraan di sana. Sesaat saya merasakan ada sedikit perasaan ngeri, inikah yang dinamakan MPD yang sebenarnya, yang selama ini keterangannya hanya ada sebagai teks kedokteran, tanpa satupun kasus yang pernah terdeteksi di Indonesia?”
“Kemudian keesokan harinya kamu berubah lagi, Anna, menjadi sosok Nina yang cerewet,” lanjut dr. Jalal. “Dan ini juga benar-benar amat bertolak belakang dengan sosok Rhein juga Nugie yang saya temui sebelumnya. Lalu sore harinya pasca tidur siang, kamu kembali berubah menjadi sosok yang lainnya lagi, yaitu Ran.”
“Benarkah aku seperti itu, dok?” aku bertanya dengan penuh keraguan.
“Jika kamu masih tidak percaya, saya selalu merekam setiap sesi terapi yang kita lakukan melalui recorder, atau kamu bisa melihat versi visualnya melalui rekaman CCTV rumah sakit ini. Kalau kamu mau, saya bisa memutarnya untukmu.”
Aku ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya rasa ingin tahu memaksaku untuk mengangguk.
dr. Jalal mengeluarkan rekaman dari tas kerjanya.
“Ini adalah rekaman percakapan seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 14 Nopember 2015, pukul 10:43:27. Saat itu saya memintamu untuk menceritakan seluruh pengalaman yang kamu alami hari itu.”
Ketika pemutar rekaman itu mulai bekerja, aku mendengar suara...seperti suaraku. Tapi lebih berat dan serius... Oh, bukankah itu suara Nugie?
“Baru saja saya bertemu Rhein. Setelah lama menghilang, sebenarnya saya merindukan dia. Tapi sepertinya dia tak membutuhkan saya lagi…”
“Oh, dok, kepalaku sakit. Apakah itu suaraku? Tapi mengapa aku lebih mengenalinya sebagai suara Gie?”
“Karena memang saat itu Nugie yang muncul.”
Aku masih terlalu bingung, belum bisa percaya sepenuhnya. Kisah itu begitu nyata dalam benakku.
Benarkah mereka hanya tokoh dalam kepalaku? Lalu selama ini, aku?
“Dok, bolehkah aku sendiri dulu saat ini?”
dr. Jalal tersenyum arif.
“Tentu saja boleh,” dr. Jalal kembali tersenyum. “Aku akan pergi. Semoga kau lebih siap untuk sesi terapi besok.”
Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku semakin kacau, dan tak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan.
Setelah makan malam, aku mencoba membaringkan diri dan melepaskan segala beban pikiran. Aku benar-benar hanya ingin beristirahat.
***
Esoknya, aku bangun dengan pikiran yang lebih segar. Tinggal menunggu Dokter Jalal sore nanti. Kali ini aku sudah siap untuk sesi terapi.
Setelah lama menunggu, akhirnya beliau datang juga.
“Bagaimana kabarmu hari ini, Anna?”
“Baik, dok.” Aku tersenyum
“Aku bawakan buku kesayanganmu, yang kau bawa saat pertama kali datang ke rumah sakit ini.”
dr. Jalal menyodorkan buku yang sampulnya sudah agak lusuh.
Melihat buku itu, tubuhku langsung bergetar. Tulang-tulangku serasa dilolosi dari tubuh. Kilasan masa lalu langsung menyambar-nyambar di depan wajahku. Aku menangis dalam diam. Buku itu jatuh...
"Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman"
***
Untuk membaca karya peserta lain dalam Fikber, silahkan menuju akun Fiksiana Community.
Mari bergabung di group FB Fiksiana Community.
Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman
- Bulan Mati di Hati Rheinara
- Pesan Cinta dari Masa Lalu
- Benang Merah
- Derita Cinta Membara
- Hujan dan Cemburu
- Dua mata angin
- Nugha
- Antara Khayalan dan Kenyataan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H