“Aliiiiin!”
Dua lelaki tegap berseragam putih langsung menyergapku, memegang kedua lenganku dan menarik ke tempat tidur. Salah satu dari mereka berteriak, “Lena, cepat berikan obatnya! Dia sudah siap!”
Sial, aku tak bisa bergerak. Mereka mengikat kakiku ke dipan dan memegangi lenganku dengan amat kuat. Aku tetap tak mau menyerah. Sekuat tenaga aku meronta. Aku tak mau minum obat tanpa pernah tahu apa sebabnya.
Tapi akhirnya mereka yang menang. Obat tersebut masuk ke tenggorokanku dengan amat paksa, membuatku merasa diperlakukan seperti binatang. Hatiku sakit.
Perlahan tubuhku menjadi tenang. Mungkin ini reaksi obat, dan aku pikir, aku sudah melewati siksaan utama. Namun sepertinya aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, karena ternyata masih ada satu tahap lagi yang harus kulalui, yaitu makan. Mereka memaksaku lagi. Aku benci itu.
***
Aku terbangun saat hembusan angin dini hari masuk melalui jendela. Kupandangi ruangan serba putih ini, ada tempat tidur dan meja kecil berlaci di sampingnya. Di seberang ruangan sepasang kursi santai berpadu dengan meja di tengahnya. Semuanya serba putih, kecuali baju yang kukenakan, berwarna abu-abu muda.
Aku bangkit dari tempat tidur. Kulangkahkan kaki menuju jendela yang berterali besi. Dahiku berkerut. Mengapa jendela ini berterali? Seperti di penjara saja!
Semakin heran lagi saat aku memandang keluar jendela. Agak jauh di depan kamarku, terlihat seorang perempuan sibuk menyisir rambut tapi kemudian langsung mengacak-acaknya. Menyisir lagi, mengacak-acak lagi. Terus seperti itu sampai akhirnya ia menangis sendiri. Sementara pada sudut yang lainnya, seorang pemuda berusia dua puluhan tengah asyik menggambar entah apa di bukunya.
Seperti tak puas, dia robek kertasnya, kemudian menggambar lagi dengan sangat serius, untuk kemudian kembali merobeknya. Berulang-ulang begitu, tanpa pernah terlihat lelah bahkan tanpa peduli sekitarnya. Dan di kamar yang sebelahnya, seorang lelaki paruh baya tampak marah-marah entah pada siapa, karena jelas-jelas dia sendirian.