"Tapi ... aku ingin kamu sekolah! Untuk jadi orang bermartabat, harus berpendidikan! Maka dari itu, aku butuh tenaga dan jasamu. Sementara ... kau bilang tadi, enggak mau orang memanfaatkan tenaga dan jasamu. Bagaimana bisa begitu?" sahut orang baru itu.
"Harus ada imbal baliknya, Le! Namanya simbiosis mutualisme! Take and gave! Kamu harus bekerja untuk saya supaya saya bisa membiayai sekolah kamu! Bagaimana? Apa kamu bersedia?" tegas Pak Hormat Sianturi sosok yang baru dikenalnya itu.
"Bapak menggunakan bahasa sulit. Susah dipahami!" komplainnya.
"Laaa, makanya ... kamu harus bersekolah supaya paham istilah asing begitu! Kalau ikut saya, kamu harus berjuang untuk menaklukkan kebodohan, kemiskinan, dan kemalasan! Bagaimana?" lanjutnya.
"Jadi, kalau sekolah ... saya bisa jadi orang bermartabat?"
"Ya, senyampang kamu berusaha dengan giat dan berjuang dengan gigih!"
"Baiklah, Pak! Saya pikir, itu tawaran bagus!"
***
Sebenarnya, Pak Hormat Sianturi tidak sengaja menemukan Jaelani di Pasar Turen kala itu. Tujuan beliau hanyalah mencari kenalan yang lama tidak dijumpainya. Rumah kawan itu berada di seputaran pasar.
Sebagai seorang dosen salah sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Kota Malang, ia yang masih membujang itu membutuhkan banyak relasi. Sircle pertemanan yang sangat dibutuhkan sebagai salah sebuah sarana refreshing, healing, dan pengisi waktu luang dalam kesendirian. Nah, di situlah Pak Hormat Sianturi menemukan Jaelani, bocah bertubuh atletis itu.
Sejak saat itu, Jaelani dianggap sebagai adik yang diberi tugas dan arahan untuk bisa maju dan berkembang, terutama di bidang pendidikan. Setiap malam, Jaelani memperoleh pembekalan secara home schooling persiapan mengikuti ujian nasional kesetaraan ujian tingkat SD, sistem paket kejar.