Rupanya Jaelani cukup cerdas. Meskipun  masih sepuluh tahun lebih sedikit, ia bisa menyerap materi pelajaran tingkat sekolah dasar yang disajikan selama beberapa bulan saja. Demikian halnya materi sekolah tingkat lanjutan pertama. Karena itu, hanya dalam kurun waktu tiga tahun, Pak Hormat Sianturi siap mengantar Jaelani untuk mengikui ujian tingkat sekolah lanjutan pertama. Masih paket kejar dengan mengandalkan home schooling.
"Kamu ingin  melanjutkan sekolah ke mana selulus SMP ini, Jae?"
"Saya tidak bisa memilih dan menentukan dengan bijak, Pak. Saya rasa ... saya sangat membutuhkan pertolongan Bapak untuk menentukannya!" sambut Jaelani santun.
"Kamu masih siap menjadi tenaga cleaning service di kampuskah?" tanya Pak Hormat Sianturi lembut.
"Kenapa tidak, Pak? Pekerjaan itu bukan pekerjaan hina. Halal dan sangat dibutuhkan jasanya. Coba tidak ada petugas cleaning service! Pasti kampus akan kotor, kumuh, dan menjadi sumber penyakit, bukan? Bukankah jasa cleaning service patut diperhitungkan sebagai garda depan kebersihan yang kata ustaz sebagai sebagian iman itu?" tukasnya kalem.
"Ya, ya ... beruntung masih ada kamu dengan pemikiran hebat begitu. Nah, tidak malukah kamu dengan mahasiswi yang sempat kau temui di kampus?"
"Kenapa harus malu, Pak! Harusnya saya menegakkan muka dan membusungkan dada kalau boleh. Sebab, kami petugas cleaning service ini melayani agar seluruh civitas akademika tetap dalam kondisi sehat karena tidak ada polusi udara, kan?"
"Hmm ... okelah! Paham! Tak sia-sia aku membawamu kemari, Jae!" senyum Pak Hormat mengembang.
***
"Hai! Rempah-rempah!" sapa Anton sebelum  jam pertama dimulai.
Pagi itu sekolah masih lumayan sepi. Masih beberapa siswa yang hadir. Hanya Anton, Ulin, dan Jaelani yang tampak berada di sekitar ruang kelas.