Harga Sebuah Cium Tangan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
 Anak  yatim piatu bernama Jaelani itu semula diasuh seorang blantik sapi dari Tempursari, Lumajang. Tugasnya sebagai perumput, yang bertanggung jawab atas ketersediaan pakan sapi yang sedang parkir, belum laku terjual, dan harus diurusnya di rumah sang blantik. Rumah tempat Jaelani selama ini ikut berteduh dan memperoleh jatah makan sehari dua kali. Sayangnya, sejak istri sang blantik meninggal karena sakit, Jaelani seolah tak terurus lagi.
Bukan karena sengaja, ia bertemu seseorang dari kota. Melihat kondisi Jaelani yang tampak kelaparan, orang baik itu mentraktirnya makan siang di sebuah kedai. Seharian Jaelani sengaja melarikan diri dari rumah sang blantik, berkeinginan mencari kehidupan lain. Kehidupan yang jauh berbeda dengan yang dilakoninya selama ini.
"Jenengmu sopo, Le? Umurmu piro? Omahmu ngendi?" tanya orang tersebut beruntun membuatnya gelagepan.
Sambil mengunyah perlahan nasi jagung dan urap-urap kesukaan pada salah satu bedak terlaris di pasar itu, Jaelani menjawab lengkap dan detail sebagaimana pertanyaan yang diajukan. Namun, ia menggunakan bahasa Indonesia.
"Saya ... Jaelani, Pak. Usia sepuluh tahun, yatim piatu. Semula diajak Pak Matori blantik sapi, tetapi saya ingin menjadi diri sendiri. Ingin menjelajahi tempat-tempat yang belum saya kunjungi," urainya tenang.
"Oooh, begitu. Maumu apa? Kalau misalnya ikut saya, mau?" tanya orang yang baru dikenal tersebut.
"Asal Bapak membawa saya menjadi orang baik dan bermartabat, saya siap. Jika Bapak hanya mau memanfaatkan tenaga dan jasa saya, lebih baik saya hidup bebas," jawabnya.
"Hmm, begitu, ya?" gumamnya.
"Cukup perhitungan juga ini anak!" ulas batin Pak Hormat. "Pintar, dia!"
"Saya ingin menjadi orang baik-baik, Pak. Kata almarhumah Simbok, saya harus jadi orang baik yang  bermanfaat bagi sesama. Bukan orang jahat yang jadi penjahat! Karena penjahat pasti dilaknat Allah!" tuturnya berkaca-kaca.