Belajar Bersepeda Motor Â
Saat itu aku masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, tepatnya tahun 1972. Saat itu aku memiliki seorang saudara jauh yang sering datang ke rumah. Saudara tersebut aku panggil dengan sapaan Om Eddy. Perkiraanku berusia sekitar 25 tahunan.
Wajah Om ini sangat tampan. Senyum manis dihiasi lesung pipi membuat siapa pun terpesona. Apalagi dia juga sudah mapan, bekerja sebagai guru SD, dan memiliki sepeda motor bebek tahun 1970 berwarna merah.
Om ternyata naksir salah seorang teman sekelasku, Sri Kusrini. Temanku yang cantik ini  salah satu dari tiga bersaudara, putri seorang kepala desa. Jarak antara rumah dengan rumah teman baikku itu sekitar lima kilometer. Â
Seperti biasa, ketika datang ke rumah, si Om selalu meminta diantar ke rumah teman itu dengan berbagai alasan. Dimintanya aku beralasan meminjam bukulah, menanyakan tugaslah, belajar kelompoklah. Ada saja alasannya.
Aku pun sering malas mengantarnya, selain malu juga karena tugasku banyak. Akan tetapi, Om tidak kekurangan akal. Dia berterus terang kepada kakek nenek agar bisa mengajakku pergi ke rumah teman tersebut.
Aku tahu bahwa Om memiliki maksud tersembunyi. Ada udang di balik rempeyek! Agar aku menurut, iming-iming Om pun ternyata berhasil memikatku.
"Ayolah. Nanti kuajari kau naik sepeda motor!" Â dalihnya.
Nah, siapa yang tidak terpikat? Sepeda motor itu pun cantik di mataku. Maka, aku setuju.
Setidaknya dua hari sekali Om datang. Selepas mengajar di salah satu SD, selalu Om singgah di rumah kami. Sekitar pukul 14.00 ketika kami sudah makan siang, Om pun mengajak berangkat.
Diajarinya aku teori mengendarai sepeda motor, tentu saja manual! Pelajaran dimulai  dari tugas tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, dan kaki kiri. Tangan kanan berurusan dengan besar kecil gas, tangan kiri dengan rem depan. Kaki kanan dengan tuas starter dan kopling, sedangkan kaki kiri dengan pedal rem. Saat itu belum double starter, tetapi masih starter injak di kaki kanan.
Setelah mengerti, barulah diminta naik menduduki jok depan, sementara Om duduk di jok belakang. Beruntung kakiku sampai saat menjejak tanah sehingga sepeda motor pun tidak mudah roboh ketika aku duduk di sadel jok depan.
Nah, sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa mengendarai sepeda motor itu. Tibalah saat harus mencoba sendiri. Om mengajak ke arah jalan sepi. Saat itu belum ada jalan kampung beraspal.