"Baiklah. Nanti biar diajari sama Muntinah, ya! Sore ini saya berangkat ke Bali, soalnya."
"Mun ... Muntinah!" panggilnya cukup lantang.
"Inggih, Ibu. Wonten menopo?" Mun datang tergopoh-gopoh ke ruang tamu.
"Ini, buatlah minum dan sajikan camilan untuk Minem dan ayahnya. Selanjutnya, tolong Minem kamu ajari segala aktivitas untuk membantumu. Ajaklah bekerja langsung sambil kamu ajari sehingga bisa membantumu!"
"Siap, Ibu!" jawab Mun sangat santun di hadapan tamunya.
"Kamu yang sabar, ya Nduk. Namanya belajar itu harus telaten!" nasihat sang juragan.
"Inggih, Ibu," Minem tertunduk.
***
Kebetulan sebagai anak desa, Minem kurang suka tidur di kasur. Dia  memilih tidur di lantai beralaskan tikar rotan di bawah tempat tidur besi kuno yang ada di kamar itu. Tinggi tempat tidur satu meter sehingga Minem bisa leluasa di kolongnya. Bahkan, duduk pun kepalanya tidak terantuk. Itu karena tubuh Minem memang tidak tinggi. Seperti lulusan SD pada umumnya.
Tengah malam itu, Minem kaget luar biasa. Dia terbangun karena mendengar suara-suara derak aneh di ranjang tepat di atas kepalanya itu. Awalnya terdengar tawa  Yu Mun  kegelian. Sejenak kemudian, suara-suara aneh yang tak pernah didengarnya. Kadang seperti suara lenguh sapi saat hendak disembelih diseling desah bersahutan. Suara tertahan itu berulang-ulang, kadang dengan keluh dan rintihan. Kadang mirip erang harimau seperti yang biasa didengar dari hutan sekitar rumahnya. Minem makin takut. Ditutuplah mata dan telinga dengan bantal. Bahkan, sempat berpikir jangan-jangan itu suara makhluk halus, hantu, atau kuntilanak.
"Apakah aku bermimpi? Atau kamar ini angker?" pikir Minem.