Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minem

31 Mei 2024   20:06 Diperbarui: 31 Mei 2024   20:40 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minem
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sore itu Minem diantar oleh ayahnya ke rumah juragan yang ada di kota kecil, jauh dari desa asal. Dari rumahnya di Dusun Pagerwojo, sebuah potret desa pegunungan, menuju kota kecil itu ditempuh dengan perjalanan sepeda kayuh sekitar dua atau tiga jam. Entah berapa kilometer, Minem tidak paham. Yang dia tahu, setelah lulus SD, dia hendak belajar bekerja menjadi pembantu rumah tangga. 

Daripada di desa hanya lontang lantung, paling-paling mencari kayu bakar di hutan jati. Apesnya lagi kalau disuruh nikah muda.
Di rumah juragan itu, juga ada Yu Tun, yang berasal dari tetangga desa Minem. Nama aslinya Karyatun, tetapi berhasil membeli ijazah SD salah seorang teman yang lulus untuk melanjutkan sekolah ke SMP swasta. Nama teman yang lulus itu Muntinah. Jadilah mulai saat itu Yu Tun berubah nama menjadi Muntinah. Dengan nama Muntinah itu dia berhasil lulus SMP dan saat itu sedang melanjutkan di SPG swasta. Sebuah sekolah yang mencetak calon guru SD kala itu. Apalagi sudah kelas dua pula dia.

 Muntinah yang selanjutnya disapa Yu Mun ini tentu saja sudah lima tahun berada di rumah juragan. Dipercaya menangani beberapa karyawan yang indekos sambil bersekolah di sore hari. Nyonya sering ke luar kota, bahkan ke luar pulau untuk berdagang. Karena itu, Yu Mun inilah tangan kanan yang berkuasa mengelola segala sesuatu sehubungan dengan kerumahtanggaan.

Pekerjaan utama Yu Mun adalah memasak, melayani karyawan indekos, termasuk juragan kakung yang sering ditinggal oleh istri. Juragan kakung berusia hampir lima puluhan tahun, pensiun dini dari sebuah kantor dengan alasan kesehatan.

"Oh, Minem ingin bekerja saja atau bekerja sambil bersekolah seperti Muntinah?" tanya juragan putri.

"Bekerja saja, Ndoro Putri!" jawab Minem kalem.

"Jangan panggil Ndoro, panggil saja Ibu, ya. Kalau Bapak, terserah kamu mau panggil apa," kata juragan putri santai.

"Baik, Ibu. Minem mohon diajari bekerja saja. Sebagai pembantu tidak apa-apa," lanjutnya.

"Minem sudah bisa masak, mencuci, dan setrika?"

"Belum, Ibu!"

"Baiklah. Nanti biar diajari sama Muntinah, ya! Sore ini saya berangkat ke Bali, soalnya."

"Mun ... Muntinah!" panggilnya cukup lantang.

"Inggih, Ibu. Wonten menopo?" Mun datang tergopoh-gopoh ke ruang tamu.

"Ini, buatlah minum dan sajikan camilan untuk Minem dan ayahnya. Selanjutnya, tolong Minem kamu ajari segala aktivitas untuk membantumu. Ajaklah bekerja langsung sambil kamu ajari sehingga bisa membantumu!"

"Siap, Ibu!" jawab Mun sangat santun di hadapan tamunya.

"Kamu yang sabar, ya Nduk. Namanya belajar itu harus telaten!" nasihat sang juragan.

"Inggih, Ibu," Minem tertunduk.

***

Kebetulan sebagai anak desa, Minem kurang suka tidur di kasur. Dia  memilih tidur di lantai beralaskan tikar rotan di bawah tempat tidur besi kuno yang ada di kamar itu. Tinggi tempat tidur satu meter sehingga Minem bisa leluasa di kolongnya. Bahkan, duduk pun kepalanya tidak terantuk. Itu karena tubuh Minem memang tidak tinggi. Seperti lulusan SD pada umumnya.

Tengah malam itu, Minem kaget luar biasa. Dia terbangun karena mendengar suara-suara derak aneh di ranjang tepat di atas kepalanya itu. Awalnya terdengar tawa  Yu Mun  kegelian. Sejenak kemudian, suara-suara aneh yang tak pernah didengarnya. Kadang seperti suara lenguh sapi saat hendak disembelih diseling desah bersahutan. Suara tertahan itu berulang-ulang, kadang dengan keluh dan rintihan. Kadang mirip erang harimau seperti yang biasa didengar dari hutan sekitar rumahnya. Minem makin takut. Ditutuplah mata dan telinga dengan bantal. Bahkan, sempat berpikir jangan-jangan itu suara makhluk halus, hantu, atau kuntilanak.

"Apakah aku bermimpi? Atau kamar ini angker?" pikir Minem.

Ya, karena terbangun dari tidur, nyawanya belum sepenuhnya lengkap. Tidur pertama kali di luar rumahnya sendiri. Biasanya tidur di amben gladak, kini harus di lantai semen yang cukup dingin.

"Sssstt ..., jangan berisik! Kalau berhasil, kukasih uang. Besok kau bisa beli kalung emas! Mau, 'kan?" bisik seseorang.

"Suara orang?" batin Minem menelengkan telinga.

Karena  rasa takut, dia kembali bergelung dengan memejam mata.

Namun, ranjang di atas kepalanya kembali bergoyang kian kencang dan makin berderit-derit. Minem takut sekali. Takut kalau-kalau tempat tidur itu ambles dan menimpa dirinya. Akan tetapi, dia tidak berani mengucapkan sesuatu apalagi menggerakkan badan. Gemetar panas dingin.

Berbagai bunyi aneh Minem dengar dalam gemetar. Desah napas memburu dan entah suara-suara berisik aneh apa lagi. Semua  terdengar samar, tidak cukup jelas. Minem masih gemetaran mematung sambil berkerubut sarung milik sang ayah yang sengaja ditinggalkan dengan maksud agar Minem kerasan tinggal di rumah itu.

***  

Akhirnya, pagi itu Minem terbangun dengan kurang fresh. Maklumlah, masih adaptasi. Dia segera bebersih diri. Selanjutnya  segera mengikuti Yu Mun beraktivitas. Juragan putri sudah berangkat sejak kemarin sore sehingga segala sesuatu diselesaikan oleh Yu Mun.
Sesekali Minem melihat Yu Mun meringis seolah kesakitan sambil memegangi area perut. Jalan pun agak canggung seperti pengantin sunat alias anak lelaki baru disunat.

"Yu Mun kenapa? Sakit?"

"Nggak, Nem. Ini ngeri-ngeri sedap saja, kok!" jawabnya mengulum senyum.

"Oh, iya, Nem! Untuk  sementara, kamu nggak usah membersihkan kamar juragan, ya! Biar aku aja!" lanjutnya.

"Nggih, Yu. Tolong ajari pekerjaan yang aku belum bisa," pintanya.

"Beres, Nem. Pokoknya, ikuti saja arahanku. Seminggu lagi kamu pasti bisa, kok. Kalau juragan putri pulang, kamu sudah bisa aku andalkan, ya! Kamu sanggup, kan?"

"Nggih, Yu."

"Nah, kamu berani nggak tidur di kamar sendirian?"

"Nggak berani, Yu!" tolaknya.

Minem takut kalau mendengar bunyi-bunyian aneh lagi. Pikirnya, jangan-jangan hantu yang semalam datang itu akan menyergapnya pula.

"Ya, udah, nggak apa-apa! Kutemani!"

"Emang, Yu Mun mau tidur di mana?" selidik Minem polos.

Yu Mun kembali tersenyum, "Kadang tidur sendirian itu nggak enak, Nem. Lebih enak kalau ditemani!"

"Iya, sih," jawab Minem.

Sebenarnya, dia sambil berpikir, "Siapa ya ... yang menemani tidur Yu Mun semalam? Apakah anak indekos? Atau siapa?"

***  

Siang itu sekitar pukul dua, waktunya orang tidur atau istirahat siang. Suasana rumah sangat sepi. Apalagi hari Minggu karyawan yang indekos di samping rumah rupanya juga tidak berada di tempat.

Minem bingung hendak mengerjakan apa. Bengong. Sementara, Yu Mun dicari-cari juga tidak ada. Karena itu, Minem berkesempatan melihat-lihat ruangan di dalam rumah besar sang juragan. Tiba-tiba, Minem mendengar kembali suara-suara aneh seperti yang semalam. Akan tetapi, arahnya bukan dari kamar yang digunakannya tidur berdua dengan Yu Mun, melainkan di kamar dalam. Kamar juragan, sepertinya.

Minem mengendap-endap menuju kamar yang kebetulan pintunya sedikit terbuka. Hanya ada kelambu yang melambai, bergoyang-goyang ditiup angin. Kelambu yang terbuat dari kain tipis, transparan, dan berbunga-bunga sangat indah.

Minem penasaran. "Bunyi-bunyi apaan, sih?" pikirnya.

Dikuaklah dengan hati-hati kelambu tipis itu. Diintipnya baik-baik ada apa di dalam kamar yang mencurigakan itu.

"Astaga!" serunya langsung menutup mulut sendiri secara spontan.

"Mengapa mereka berdua bergulat tanpa selembar kain penutup raga? Mengapa juragan memperlakukan Yu Mun dengan kasar hingga menjerit-jerit begitu? Mengapa? Apakah ini penyiksaan fisik?" batinnya dengan mulut ternganga.

Berjuta pertanyaan bergelayut di kepala anak desa ingusan yang belum paham dunia orang dewasa itu. Maklum anak udik lulusan SD kemarin sore! Belum terpapar internet seperti anak zaman now!

Ketika Minem masih mematung di ambang pintu, tetiba dia dengar tawa dari dalam kamar. Ya, mereka berdua tertawa-tawa. Dengan napas masih ngos-ngosan keduanya kembali bergumul.

Kembali Minem terkaget-kaget.  "Loh, mereka kok seperti senang, ya? Padahal tadi ... merintih-rintih? Aneh!"

Raut muka Minem keheranan. Dengan seribu tanya di kepala, berjingkatlah dia segera meninggalkan kamar maksiat itu menuju kamar yang disediakan untuk dirinya bersama Yu Mun.

Minem menduga-duga, mereka berdua sedang melakukan hal yang dilarang oleh agama. Dia juga yakin juragan putri tidak pernah menduga kalau si suami melakukan hal buruk itu kepada Yu Mun. Istri yang sering bepergian itu seolah membuka peluang bagi kedua orang itu untuk menyeleweng. Sementara, Yu Mun pun begitu pandai berpura-pura.

Mereka berdua telah berkhianat. Sekalipun  Minem tahu, tidak ada niatan di hati untuk membocorkan rahasia besar yang sudah disaksikan sendiri di depan mata. Minem tahu, itu bukan urusannya. Bahkan, Minem yang semula tidak tahu-menahu urusan ranjang, menjadi tahu sejelas itu. Dia merasa adegan panas dan tidak pantas itu tidak perlu diobral kepada siapa pun. Malu.

Menyesal dia telah menyaksikan perbuatan nista tersebut, tetapi apa mau dikata. Itu juga bukan disengaja. Kebetulan. Ya, kebetulan, tetapi bukan sesuatu yang bisa dibenarkan.

***

Benar kata Yu Mun, seminggu kemudian Minem sudah bisa melaksanakan tugas kerumahtanggaan. Dia sangat bangga karena kini bisa mencuci dengan baik, menyeterika sampai licin. Bahkan, pekerjaannya mendapat pujian dari beberapa karyawan yang indekos di rumah sebelah. Minem pun memperoleh tips dari mereka yang bajunya disetrikakan.

Minem sangat senang. Tugas utamanya mencuci dan menyeterika ternyata menghasilkan uang sehingga bisa dia tabung.

Enam bulan telah berlalu. Tetiba, Yu Mun pamit hendak pulang kampung. Alasannya orang tua sakit, jadi mau merawat mereka. Dia berjanji kalau sudah sembuh akan kembali. Sekolahnya pun berhenti dulu sampai tahun depan mengulang, katanya.
Juragan putri sangat kaget dengan berita mendadak itu. Namun, beliau bersyukur, masih ada Minem yang sudah bisa diandalkan sebagai pengganti. Jadi, tidak mempermasalahkan kepulangan Yu Mun.

Rencananya, Yu Mun akan pulang besok pagi karena pengurusan administrasi di sekolah sudah beres. Status terminal dulu, katanya. Namun, juragan putri harus ke luar kota sore itu dan meminta Yu Mun menunda kepulangan sampai beliau datang.

***
Malam itu, setelah packing semua barang miliknya, Yu Mun meninggalkan kamar dengan mengendap-endap. Meninggalkan Minem yang sebenarnya tidak bisa tidur.

Minem tanggap. Dia mengikuti ke mana Yu Mun pergi. Ternyata, menuju kamar juragan. Karena gegabah, Yu Mun lupa. Dia tidak mengunci pintu kamar itu. Dengan demikian, Minem bebas melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka.

"Jangan digugurkan. Dosa. Dia tidak bersalah. Biarkan dia lahir. Aku tanggung jawab. Akan kunikahi dan kubiayai semua kebutuhanmu," suara juragan kakung.

Yu Mun terisak-isak sambil memukul-mukul dada bidang sang juragan. Tetiba, juragan kakung memperlakukan Yu Mun dengan mesra dan tampak hati-hati. Benar. Karena posisi berdiri,  tampak jelas perut dan dua bukit di dada Yu Mun  tegang menggunung.

 "Bertahun-tahun aku ingin punya anak, Mun. Kini aku berhasil jadi calon ayah. Apa kau tega merusak harapanku?"

"Aku takut," suara parau Yu Mun di sela tangis.

"Besok pagi kita pulang. Kita nikah siri!" tegasnya. "Beri aku waktu untuk berbahagia sebagai calon ayah, Mun!" rengek sang juragan seperti anak kecil  menjatuhkan diri, menggelendot di kaki Yu Mun.

"Ya, Allah!" di luar kamar Minem ikut menangis tanpa diketahui dua insan yang sedang dirundung galau itu.

Kejadian aib yang secara ajaib telah diikutinya slide demi slide!

***  

Malam itu, Yu Mun tidak kembali ke kamar, tetapi tetap berada di kamar juragan. Sementara, Minem kembali tak dapat tidur. Dia masih teringat dan terbayang apa yang tadi dilihat. Silhuet  juragan kakung sedang memesrai perut   sang sahabat yang mulai tampak membukit. Kenangan yang selalu datang membayang setiap kala.

Pemandangan yang sebenarnya memalukan sekaligus memilukan. Betapa besar damba sang juragan akan hadirnya seorang anak tampak di sana. Ngeri dan ngilu Minem rasa di sekujur raga. Kalau sudah begini, siapa bisa disalahkan?

Keesokan harinya, Yu Mun jadi pulang diantar juragan kakung. Minem tahu bahwa mereka akan menikah siri, tetapi dia tidak peduli. Tidak pernah dikatakan kepada siapa pun perihal kedua insan, pembantu dan juragan itu berulah. Biarlah semesta berkisah dengan caranya sendiri.

Minem telah menjadi saksi mata, bahkan saksi hidup dari sebuah slice of live yang dipaparkan di depan netra. Namun, dia diam. Bungkam! Entah sampai kapan. Hampir sama dengan namanya, Minem yang harus mingkem, alias diam membungkam!

==***==

Notes
 kakung : laki-laki
Ndoro Putri : Tuan Putri
"Inggih, Ibu. Wonten menopo?  : Iya, Ibu. Ada  apa?
Nduk : sapaan untuk anak perempuan
amben gladak : dipan bambu/kayu tanpa kasur
ambles: turun, jatuh, misalnya tanah atau ranjang.
mingkem : menutup mulut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun