Mohon tunggu...
Ninik Karalo
Ninik Karalo Mohon Tunggu... Guru - Pendidik berhati mulia

Fashion Designer, penikmat pantai, penjelajah aksara-aksara diksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Foto Usang

4 Juni 2020   08:00 Diperbarui: 21 Agustus 2020   13:45 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Foto usang

Rumah mungil di sebuah kota kecil di tepian pantai tampak sangat apik. Sebatang pohon rindang menghiasi halaman depan menambah indahnya panorama pantai. 

Bunga-bunga yang ditata asri di emperannya membuat enak dipandang. Di sudutnya ada bangku kayu yang sudah pupus berwarna agak kecoklatan. 

Terbuat papan yang tersusun rapi dengan empat penyanggah. Dulu ia berdiri tegak dengan kaki yang kokoh. Kini rapuh dan kesepian. Itu bangku.

Ya, bangku kosong. Kosong persis seperti rumah mungil yang pernah ditinggal penghuninya. Kosong seperti hati perempuan yang tengah gundah gulana saat menatap hambar sekelilingnya. Ditatapnya bangku kosong itu dari tempat ia berdiri. Hanya beberapa langkah.  

Rara, nama yang cantik. Tak bisa dipungkiri, hidungnya amboy. Sorot matanya wauww...! Bibirnya merah bak buah delima merekah. Umur Rara saat itu masih baru menyonsong angka enam belas. 

Tepatnya lima belas tahun sebelas bulan. Angka yang belum cukup matang untuk ukuran seorang gadis yang terpaksa mandiri. 

Bahkan memaksakan diri mampu berdiri di kaki sendiri kala itu. Padahal semestinya Rara belum pantas menjadi tulang punggung keluarganya. Ia merenung sambil berdiri mematung.

 Mestinya saat ini ia telah duduk di bangku kuliah sebagaimana temen-teman sebayanya. Namun ia harus menerima tantangan sebagai seorang penjahit rumahan agar bisa membiayai sekolahnya sendiri dan menopang hidup keluarganya. 

Ia belajar secara otodidak dari sang mama. Ia juga harus membiayai empat orang adiknya yang masih duduk di bangku sekolah.

Terukir amat sangat dalam di relung hati Rara masa-masa ketika Margy sahabatnya mengungkapkan keinginannya untuk kuliah jauh di luar kota kecil yang dicintainya. 

Ingin rasanya ia mengumbar mimpinya di depan sahabatnya. Menguras semua dari dalam rasa yang membara. Menepis segala anggapan sebagian orang tentang tak bakal anak semisal Rara untuk melanjutkan studi. 

Jangankan kuliah, sekolah saja harus banting tulang sendiri. Rasa tahu diri itu selalu menggerogoti sukma. 

Ia sadar dirinya bukan apa-apa bila dibanding dengan sahabatnya Margy atau Selly yang memiliki keluarga yang hampir setiap keinginannya terpenuhi

"Ra, kuncinya?" Seorang perempuan paruh baya  membuyarkan lamunannya.

Gemerincing seikat kunci menggantung dalam jemarinya. Diulurkan tangannya ke arah perempuan yang disayanginya. 

Lalu langkahnya mengayun menuju ke arah bangku kosong. Dipandanginya sebelum meletakkan bokongnya di atas deretan kayu yang tertata rapi, walau sedikit usang. Seketika ia teringat masa sekolah. 

Dulu. Di bangku kosong inilah Rara acap kali menghabiskan waktumya bersama teman-temannya. 

Entah mengapa selalu saja ada kasak-kusuk agar bangku itu  tak akan  pernah lengang. Aksi bikin kolak kek, mau aksi bernyanyi ala vokal grup dengan gaya masing-masing kek, beradu argumen saat belajar kelompok atau sekadar kumpul-kumpul buat ngerumpi.  Waaauww...!

Sungguh masa-masa indah yang mustahil mudah terlupakan. Kocak, lucu, sedih membaur menjadi satu koleksi yang menggelikan. Terkadang mengiris perih. 

Terbayang gelagat  Selly si mata sipit berwajah oriental. Tak ada garis keturunan darah China secuil pun. Rada pendiam namun condong agak sedikit angkuh.

Masih terngiang kata-kata Margy, "Selly beruntung! Ada khabar suaminya dosen di salah satu perguruan ternama di kota tempat ia kuliah." Kalimat itu masih melekat di telinga Rara. 

Margy sendiri saat ini berdomisili di Ibu kota. Ketika Margy meluangkan waktunya semasa liburan  sekaligus menyisihkan  kesempatan memboyong sang buah hatinya dari perkawinannya dengan seorang karyawan perusahaan tambang minyak beberapa  tahun silam, ia pernah bertandang ke tempat Rara. 

Ia sudah menjadi orang sukses. Bagaimana saat ini ya? Sahabat yang kata sebagian orang adalah teman dikala suka dan duka terpancar di diri Margy. 

Pendiam selagi bercokol masalah yang terkadang nongol tanpa di undang. Berbanding terbalik jika satu ketika moodnya hinggap. 

Jika terbaca oleh pikirannya bahwa Rara atau Selly sedang menyimpan kegalauan, maka menjelmalah gadis hitam manis itu menjadi seorang komedian yang kocaknya minta ampun. 

Hayalan Rara berkelana menyusuri pantai, menepi di tepian pantai dekat rumah kecil nan apik itu.  

Rara sudah berdiri di ruang tamu, namun ia masih sempat berpikir tentang bangku itu.

"Bangku ini menyimpan sejuta kenangan yang tak mungkin pupus walau ditelan waktu," bisiknya. 

"Bahkan benih-benih cinta pertamaku bersama Pras pun bersemi di bangku ini," bathinnya. Ia tersenyum-senyum sendiri kala mengenang semua. 

Rara tergelitik! Ada tawa kecil keluar dari kerongkongannya. Terdengar sengau.

"Nih...., fotonya sudah mama temukan, agak kusam lagi!" ucap perempuan paruh baya itu.   

Mata Rara mencari-cari cara yang bisa untuk menggantungnya kembali. Nah, ini dia! Sebuah paku telah cukup lama tertancap di sana.

*

Mentari mulai memerah di ufuk barat. Sambil meneguk teh hangat dan lemet buatan ibu tetangga, Rara memelintir daun pembungkus kue gurih ala tradisional itu. 

Kunyahannya perlahan menyusup masuk ke tenggorokan. Rara memandangi bingkai foto usang yang baru saja digantungnya di ruang tamu. 

Di bawahnya ada sofa renta yang mudah melorot saking tuanya. Jika dihitung-hitung umurnya sebaya denganku, pikir Rara. Di samping sofa ada pas dengan bunga yang sudah tak terangkai indah seperti dulu sebelum ditinggal.

Kembali matanya tertuju ke bingkai foto usang itu. Pandangannya berhenti pada seseorang, Pras... ya, Pras, lelaki yang masih berkelana dalam ilusinya. 

Padahal di kanan kirinya ada sahabat-sahabatnya yang lain yang lebih gaya dan lucu. Margy dengan gaya agak membungkuk. Jemari lentiknya menyentuh paha kanan. 

Kakinya menginjak bangku sembari mengumbar senyum yang menawan ciri khasnya. 

Bukan Margy kalau tak mengumbar senyum merekahnya. Sebelahnya lagi ada si sipit Selly berdiri bercekak pinggang. 

Sorot mata sipitnya memandang mesra ke arah lelaki itu. Lelaki yang dulu pernah menyerempet di hati Rara. 

Ia sendiri duduk tepat di sisi lelaki itu. Dirabanya wajah-wajah dibalik bingkai dengan jari-jemarinya. 

Ada gerutu kecil menggelinding di hatinya. Ada dedauanan di kepala mereka berjuntai perih.

Daun yang selalu siap menjadi penonton gelagat mereka. Bangku yang selalu menjadi kenangan mereka.

Dering telepon genggam berbunyi menepis lamunan Rara.

"Ra, ini aku... " Rara terdiam. 

Tubuhnya sedikit beringsut. Keningnya mengerut. Masalahnya... suara di seberang sana sangat  tak asing di gendang kupingnya. Begitu dekat. 

Namun semakin ia merasa dekat semakin sulit baginya untuk mengingat siapa sebetulnya yang empunya suara itu.

"I..y..ya..aku di sini," ucapnya seraya menggagap.

Ya ampun! Itu kan suara Pras.Ya, Prasman. Dari mana dia tahu nomor teleponku? Sewaktu Rara masih di SMA kelas satu, mereka sudah menjalin cinta monyet. 

Hingga ia kelas tiga Prasman sudah jadi anak kuliahan di Fakultas Pertanian. Rara mencoba meningat-ingat lagi. Sekarang ia betul-betul yakin. Ini pasti Pras!

"Ada  apa lagi, Pras? Basa-basi apa lagi yang akan kau ciptakan? Aku capek!"

"Ra, jangan ditutup...please, Ra..kumohon! Aku sekarang ada di kota ini! Kita bicara baik-baik," suara Pras memohon. 

Dari mana juga Pras tahu kalau aku sedang pulang.

"Untuk apa? Untuk memperkenalkan istrimu?" sela Rara.

Pembicaraan terputus. Sengaja diputuskan Rara. Ia merasa tak mungkin melakukan pertemuan itu. Akan terasa lebih sakit jika ia mengiyakan kehendak Pras untuk bicara baik-baik. Untuk apa? 

Untuk meminta maaf agar terjalin kembali hubungan yang pernah kandas gara-gara penghianatan yang telah lelaki itu lakukan. 

Untuk menjelaskan bahwa ia tak mencintai istrinya dan menikah hanya karena kecelakaan? 

Mengajak bicara baik-baik agar menerimanya kembali untuk membangun kebahagian di atas penderitaan orang lain seperti yang perneh dilakukannya dulu? 

Dan sekarang ia akan mengulangi lagi penghianatan itu... dan itu dilakukannya denganku dibalik kesetiaan istrinya? Itu tak mungkin.. 

"Inposible, Pras!" Ringis Rara membathin. 

Rasanya sulit meluruskan benang basah. Aku sudah berusaha melupakan semua yang telah terjadi. 

Tahun-tahun berlalu, aku juga sudah mengubur dalam-dalam kisah parah itu. Aku telah menutup lembaran gemilang di antara kita, Pras. 

Ucapan itu hanya menggelora dalam sukma nan lara.

Gelora cinta yang dulu mekar kini terkulum bisu. 

Pasangan yang dulu dipuja karena kesetiaan Pras ketika masih menjadi kakak kelas hingga sudah menjadi mahasiswa pantas diacungkan jempol. 

Setiap liburan semester Pras mesti meluangkan waktunya buat Rara untuk melepas kerinduan dua insan yang mabuk asmara namun masih tetap berjalan di jalur serta koridor yang benar. 

Dengan norma religi yang kental. Dogma-dogma yang diterapkan oleh orang tua mereka begitu tertanam. Tak salah jika hubungan Rara sang bintang kelas dan Pras si Ketos tetap anteng-anteng saja. Betul-betul serasi.

Masih terlintas dalam ingatan Rara empat tahun yang lalu. Ketika hari begitu cerah. Senin tepat pukul 09.00. 

Kebanggaan Rara tak terlukiskan dengan untaian kata kala itu. Pras sudah menjadi asisten dosen di kampusnya. 

Sambil menantikan SK pengangkatannya. Pesta pinangan atas dirinya segera digelar. Tak banyak yang hadir. Hanya kerabat dekat. 

Margy menelpon untuk mengucapkan selamat dengan gaya serunya. 

Selly tak berada di kota kecil itu karena  sedang melanjutkan kuliahnya. Khabarnya sekampus dengan Pras. Adik tingkat. Rara belum sempat menanyakan keadaannya.

Acara pinangan baru saja akan dimulai sontak seorang bapak berdiri di depan pintu.

"Tunggu!" katanya dengan wajah geram. "Tak sepantasnya acara ini dilanjutkan. Istrimu akan melahirkan, Pras! Sekarang dia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit." lanjut si bapak dengan gemeretak giginya menahan marah. 

Hadirin terperangah. Suasana jadi ramai dengan  bisik-bisik yang juga dibumbui tatapan sinis terasa menusuk jantung Rara. 

Aliran darahnya berdesir, terasa tubuhnya melayang, pandangannya gelap. Rara tak tahu apa-apa lagi.

*

Rara sedang merapikan rak buku yang berdebu. Sarang laba-laba menambah pemandangan dalam ruang yang dulu digunakan untuk belajar, semakin semrawut. 

Dulu, jika sudah membaca makan pun lupa. Sontak suara perempuan yang telah menghadirkannya ke dunia fana ini  memanggil dari  arah depan.

"Ra, ada tamu!" serunya.

"Siapa, Ma?" sahut Rara sambil membawa langkahnya ke ruang tamu. 

Belum sempat terjawab oleh mamanya... Haah? Selly? Rara membuang napas yang tertahan, saking terkejutnya bercampur bahagia. 

Tapi ada lelaki yang masih berdiri di balik pintu... oh my God! Jantung berdegup kencang. 

Ketenangannya terasa terbang ke dunia lain. Dua rasa berkecamuk! Mana bisa ia tenang...kerinduan yang begitu berkobar selama masa usainya SMA sulit terbendung. 

Dua sahabat kentalnya kini  berada di hadapannya. Di sudut lain ada rona kebencian menyumpal. 

Kecurigaan nyaris melingkari seluruh isi otak Rara. Tapi, ia harus tegar! Pekiknya meledak. 

Ruang sepi menjelma menjadi ramai. Pelukan kerinduan dua sahabat yang lama berpisah menghiasi ruang itu. Ada air mata di antara keduanya.

"Ra, apa khabar?" seru Selly menggebu-gebu.

"Aku baik-baik saja," sambil menggamit lengan selly tanpa menghiraukan kehadiran seseorang yang lain.

"Yuk, kita duduk-duduk di bangku itu," menunjuk dengan memonyongkan bibirnya ke arah bangku. 

Rara mulai salah tingkah. Jadi, Sellykah perempuan dibalik penghianatan itu? Jadi? 

Pandangan mesra Selly di foto itu? Jadi? Dosen yang dimaksud adalah...? Dan...seribu kata jadi terangkai panjang bak gurindam 12. 

Gumpalan amarah yang membara mengintip di dada Rara. Dari arah pintu muncul seorang pria ganteng mengendong seorang anak perempuan kecil.

"Ini anakku," sambil menyentuh bahu si anak. 

Pria itu sudah berdiri di dekat Pras. Pras pun berdiri berjejer, dekat tempat Selly berdiri.

"Dan ini..., dua Pria penyelamatku," menunjuk ke dua pria-pria ganteng itu.

Rara hanya terbengong!

"Disaat aku melahirkan tanpa pengakuan dari ayah si jabang bayi, Praslah yang menjadi penyelamatku," jelas Selly.

Telinga Rara panas, namun keseimbangan masih melingkupi dirinya. Rara menyimak dengan cermat.

"Aku terpaksa! Setelah anakku hadir ke dunia, Pras menandatangani surat pernyataan. Pras langsung menuju ke rumahmu. Tapi kau tak ditemukannya lagi di sana. Kata tetanggamu, kalian sudah meninggalkan kota ini menjelang siang sesudah peristiwa pinangan itu." Selly sibuk menatap Rara. Menulusuri keberadaannya.

"Dan ini," sambung Selly. 

Matanya menatap mesra ke wajah ganteng pria di samping Pras."Aku sempat depresi berat. Hidup tanpa suami, punya anak tanpa ayah. Aku malu! Kuliahku berantakan. Pras sangat marah. Aku kacau balau, Ra! Aku pernah ketemu Margy. Untuk menutupi aibku, kuceritakan suami bayanganku seorang dosen. Hingga suatu saat, beberapa bulan lalu datang suami bayangan itu. Dosen bayangan itu benar-benar  melamarku. Dialah penyelamatku yang ke dua. Aku hampir gila, Ra!" kata Selly meyakinkanku dengan nada tinggi dan mata berkaca-kaca.

"Jadi, aku telah salah sangka. Aku menduga Pras telah berkhianat." ujar Rara sedikit tersedak. 

Ah! Iitu juga salah Selly. Tapi Selly terpaksa, bisik Rara.

Dipandanginya Pras. Angin pantai diam-diam menerobos masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Tirainya melambai-lambai seperti mengucapkan salam damai. 

Selembar kertas putih terbang melayang. Tercecer dari balik buku 

Album milik Prasman yang sengaja dibawanya sebagai alat bukti. Putri kecil Selly turun dari gendongan. Mengejar benda terbang itu. 

Disodorkannya kepada Selly, ibunya.

"Ra, bukankah ini foto aku, Margy, kamu dan Pras?" Selly menarik napas. Lalu membuangnya dengan suara lirih," Hhh... bangku yang menyimpan sejuta kenangan. Ya! Di foto itu!"ucapnya. 

Senyumnya dikulum. Matanya melintasi dinding.  Pras pun meraihnya.  Ia sedikit grogi memandangi dinding. 

"Dan juga sejuta harapan, maaf, kamu juga menyimpan foto yang sama." Suara berat Pras mengiris hati Rara. 

"Ra, ternyata kita sama-sama masih menyimpannya, kan? Selly sengaja datang untuk menjelaskan semua. Suaminya rela menemani aku, Selly dan Putri ke sini demi kita!" Pras meyakinkan Rara. 

Rara diam. Direngkuhnya perempuan itu.

"Hmmm... kamu sengaja ya menyelipkan foto itu. Pake bawa-bawa album segala lagi. Pak dosen mau memberikan kuliah, ya?" kata Rara mencoba bercanda di sela rasa haru biru di dada.

"Bisa ya bisa tidak. Mmm... jaga-jaga di saat darurat. Aku khawatir kau tak mau menerimaku lagi, mungkin ini bisa menjadi benda keramat buat menghipnotis kekasihku yang pemarah ini!" kilah lelaki yang sedang kaku itu. 

Ada gejolak rindu dan amarah bercampur menjadi satu. Rara memukul-mukul lengan lelaki itu. Pukulan sayang yang teraduk rindu.  

Selly hanya mampu menatap kedua sejoli itu tak dapat membendung haru serta rasa bersalah yang dipendamnya bertahun-tahun. 

Ia pun mendekat, memeluk kedua sahabatnya. Hasratnya tak sekadar mengeratkan tali cinta mereka, namun  ingin persahabatan yang dulu kental segera dikukuhkan lagi menjadi sebuah ikatan persaudaraan.

"Aku ingin kamu hadir di pesta perkawinanku, Sell...!" kata Rara melonggarkan pelukan.

"Tanpa pinangan? " tanya Selly heran bercampur rasa girang.

"Kamu sudah meminangku atas nama Pras," kata bijak Rara meluncur terbata-bata menahan isaknya yang nyaris meruah.

"Yess..!" Mengangkat kepal serta menjatuhkan sikutnya sambil bersorak kegirangan. 

Ia seperti menang lotre. "Telepon Margy, yuuk.." Saking girangnya merogoh saku meraih telepon genggamnya. 

Semua tertawa. Mama Rara tiba-tiba menyusup masuk.

"Restui kami, Ma!" Rara merengkuh sang mama erat. Seerat rindunya terhadap Pras. 

Rindu yang lama tersimpan dalam foto usang. Sang Mama hanya mampu mengangguk. 

Anggukan bahagia. Kebahagiaan seorang  ibu adalah ketika melihat anaknya bahagia. Selesai ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun